Kamis, 25 April 2024

Menelusuri Harta Bawah Laut Bawean (5)

Berita Terkait

Minggu (7/5/2017), matahari belum begitu tinggi pagi itu. Namun, seluruh tim sudah terlihat sibuk mengemasi peralatan selam. Tampaknya, dua perahu yang mengantar kami menunggu di dermaga perikanan Bawean sejak pukul 07.00. Padahal, keberangkatan seharusnya dimulai pukul 09.00.

Pemilik perahu sengaja datang lebih cepat untuk menebus kesalahan hari sebelumnya. Penyelaman pertama sempat terlambat 40 menit karena ada kesalahan komunikasi.

Setelah menghabiskan sarapan tumis cumi-cumi, kami berangkat menuju dermaga.

”Kami sudah dari tadi ini,” canda Syaifuddin, nakhoda perahu, saat menyambut kedatangan para peneliti.

Cuaca pagi itu cukup cerah. Tidak ada hujan seperti hari pertama penyelaman. Namun, di sisi selatan, awan mulai bergerak menutupi pulau. Begitu perahu berangkat ke barat, awan itu seperti mengejar perahu kami.

Saat melewati Tanjung Alang-Alang, ombak yang tadinya tenang mulai meninggi. Tingginya hampir 2 meter. Angin bertiup kencang. Hujan pun mulai datang. Penumpang mengenakan baju pelampung.

Perahu yang saya tumpangi awalnya berada di depan. Begitu ombak datang, perahu sepanjang 10 meter itu seakan jalan ditempat. Perjalanan dilakukan dengan melawan arus. Perahu yang ditumpangi Ketua Tim Penelitian Arkeologi Maritim Bawean Hery Priswanto mulai menyalip.

Masing-masing perahu disokong dua mesin diesel. Namun, perahu yang ditumpangi Hery punya tenaga lebih besar. Tiap-tiap mesin itu bertenaga 30 PK. Sedangkan salah satu mesin kapal yang saya tumpangi hanya bertenaga 15 PK.

Ujung perahu naik turun. Udin meminta penumpang tidak bergerombol di bawah naungan perahu. Beban perahu harus merata. Bila tidak begitu, perahu bisa terguling.

”Jangan berkumpul di sini,” teriaknya melawan suara bising mesin yang mencoba melawan arus.

Iling Khairil Anwar (kanan) berusaha menyeimbangkan posisi tubuh di dalam perahu. (Guslan Gumilang/Jawa Pos/JawaPos.com)

Udin, sapaan sang nakhoda, lantas menceritakan bahwa belum lama ini terjadi kecelakaan laut. Perahu yang ditumpangi wisatawan terguling. Pasangan suami istri yang baru menikah tenggelam. Dia tidak mau peristiwa itu terjadi pada tim peneliti. Baju pelampung yang kami pakai sepenuhnya tidak menjamin keselamatan.

”Saat itu wisatawannya meninggal. Nelayannya selamat. Ya, kan kami sejak kecil mahir berenang,” candanya melumerkan suasana yang sempat tegang.

Tiga puluh menit berlalu. Perahu yang ditumpangi Hery semakin tidak terkejar. Kami tetap saja berusaha melawan arus hingga perahu di depan terlihat sudah menghentikan mesinnya. Tampaknya, titik yang kami tuju sudah dekat. Tak jauh dari Tanjung Ga’ang.

Ahmad Surya Ramadhan, salah seorang penyelam, duduk di samping Udin. Sedari tadi dia memandangi layar GPS. Terdapat simbol kapal tenggelam berwarna hitam di layar berukuran 8 inci itu. Kendali perahu diambil alih Madha. Udin mulai menurunkan gas mesin.

Arkeolog Fauzi Hendrawan sudah bersiap di depan kapal. Dia memegang pemberat batu marmer yang terhubung dengan buoy atau bola pelampung.

”Yooo, Jik! Lempar!” teriak Madha.

Byurr. Bola itu terbenam separo. Itu tanda batu pemberat tidak menyentuh dasar laut. Tali yang mengikat buoy dan pemberat kurang panjang. Butuh tali sepanjang lebih dari 30 meter untuk menjangkau dasar laut.

Madha lalu mencari tali sambungan di bawah kursi perahu yang didudukinya. Lemparan kedua dilakukan. Kali ini gagal lagi. Tali yang mengikat terlilit. Buoy harus diambil dengan susah payah. Kru kapal beberapa dua kali meleset saat hendak menarik pelampung itu. Sebab, pelampung diambil saat perahu masih berjalan. Saat itu beberapa penumpang perahu mencoba bersama-sama menggapai bola tersebut. Namun, perahu justru hampir terbalik.

”Jangan ke kanan semua. Biar satu orang yang ambil,” ujar Udin.

Percobaan ketiga dilakukan. Kali ini teknik menangkap bola dilakukan dengan tali laso bak koboi. Sekali lempar, bola tertangkap. Lemparan buoy baru berhasil setelah tali tampar disambung.

Kondisi perairan lebih gelap. Pada penyelaman sebelumnya, air laut terlihat hijau cerah. Sebab, kedalaman laut hanya 7 meter. Matahari dengan mudah merangsek ke dasar laut.

Madha menjelaskan, koordinat perahu yang tenggelam sudah tercatat dalam sejumlah peta. Di antaranya, peta Pusat Hidro-Oseanografi TNI-AL, Garmin Bluechart Pacific, dan aplikasi Navionics.

Selain itu, penyelaman kapal dibantu data Dictionary of Disasters at Sea during the Age of Steam. Buku itu memuat data kapal uap yang tenggelam di seluruh dunia. Tercatat, ada empat kapal yang tenggelam di perairan Bawean. Seluruhnya tenggelam saat Indonesia belum merdeka.

Keberadaan kapal karam itu diduga punya kaitan kuat dengan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Itu adalah perusahaan pelayaran yang berpusat di Amsterdam, Belanda. Perusahaan tersebut memiliki kantor di Batavia atau Jakarta.

Mencari Penghuni Dasar Laut (Grafis: Erie Dini/Jawa Pos/JawaPos.com)

Satu-satunya kapal yang teridentifikasi hanya SS Bengal. Namun, penyelaman untuk kapal itu baru dilakukan keesokan hari. Kapal tersebut tenggelam di timur Bawean. Letaknya tak jauh dari Gili Noko.

Sedangkan kapal Janbi Maru tenggelam karena dihantam torpedo kapal selam Amerika Serikat pada 18 Juli 1944. Peperangan di Laut Jawa memanas saat itu. Kala itu Jepang menguasai Indonesia.

Terdapat kapal lain yang terkena torpedo. Kapal selam Jepang menembak kapal uap Langkoeas milik Belanda pada 2 Januari 1942. Lambung kapal tersebut dengan cepat terisi air begitu terhantam torpedo. Akibatnya, perjalanan dari Jawa ke Mesir gagal dilakukan kapal itu.

Dalam kepanikan, kru kapal berusaha menyelamatkan diri. Mereka memanfaatkan sekoci kapal yang ada. Dikabarkan, tidak ada korban dalam kejadian tersebut. Namun, kapal itu hanyut ke dasar lautan.

Belum jelas titik kapal tersebut tenggelam. Boleh jadi kapal itulah yang sedang dicari para peneliti. Sebab, diduga kapal tersebut tenggelam di laut dalam. Bila tenggelam di perairan dangkal, pasti kapal itu sudah ditemukan penambang besi tua.

Kapal kargo Leeds City juga tercatat tenggelam di perairan Bawean. Kapal itu kandas setelah membentur gugusan karang sejauh 10 mil dari Bawean. Kapal tersebut berangkat dari Cilacap ke Yokohama, Jepang. Tidak diketahui nasib kru kapal yang tenggelam pada 19 September 1925 itu.

Penyelaman hari itu dilakukan dengan pengamanan ketat. Beberapa penyelam gagal mencapai dasar laut. Banyak rintangan yang dihadapi hari itu. (*/c11/dos)

Update