Rabu, 24 April 2024

Menunggu Langkah Konkret Hatanto – Rudi

Berita Terkait

Pertemuan tertutup Kepala Badan Pengusahaan Batam Hatanto Reksodiputro dan Walikota Batam M. Rudi bisa dimaknai sebagai langkah awal perbaikan hubungan kedua institusi tersebut.

Tidak jelas apa yang dibahas dalam pertemuan itu, namun penulis berkeyakinan kedua tokoh mulai sadar untuk memulai langkah besar dalam mencari solusi terhadap kemerosotan ekonomi yang terjadi sejak setahun terakhir.

Sangat wajar jika publik berharap banyak akan adanya perubahan mengingat perseteruan kedua instansi yang memanas dalam beberapa bulan ini semakin bergeser dari substansi utama yaitu bagaimana mencari solusi atas masalah ekonomi yang melanda Batam. Bahkan kondisi kemerosotan ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu dan mengaitkannya dengan kinerja pimpinan BP Batam yang baru.

Baik Pemko dan BP Batam adalah dua lembaga yang harusnya berperan penuh dalam membawa perubahan dan menjawab tantangan pembangunan kawasan pada masa kini dan akan datang. Tanpa ada gebrakan dan langkah strategis yang berarti rasanya pesimis bisa melihat perubahan pada masa depan.

Masyarakat Batam sepatutnya bersyukur Pemko dan BP Batam ibarat dua mesin dalam satu kapal yang bisa membawa laju pertumbuhan kawasan perdagangan bebas Batam. Bukannya dua nakhoda yang justru membuat haluan kapal tidak jelas tujuan.

Opsi mana yang dipilih, dua nakhoda atau dua mesin? Penulis tentu berharap opsi pertama. Dengan dua mesin, mestinya kapal Batam bisa melaju kencang. Krisis global harusnya tidak terlalu berdampak buruk bagi ekonomi Batam jika kedua mesin ini mampu mengantisipasi potensi masalah sejak dini.

Tapi perang wacana di media massa akhir-akhir ini justru menggambarkan kedua institusi itu seperti dua nahkoda yang bertahan dengan ego sektoral masing-masing. Jelas ini sangat tidak strategis dalam konteks kerjasama pengembangan dan pembangunan kawasan.

Melalui tulisan ini, penulis berharap konflik dan perseteruan segera diakhiri, berhenti mencari kambing hitam dan menggugat keberadaan salah satu pihak. Silaturahmi pimpinan BP Batam ke Walikota beberapa hari lalu harus dijadikan momentum untuk menatap masa depan pembangunan Batam yang lebih terencana dan terstruktur.

Lantas, langkah apa yang harus dilakukan kedua pihak untuk menghadapi kondisi kemerosotan ekonomi yang semakin parah ini? Ada dua solusi yang bisa dijadikan pedoman bagi kedua pihak.

Pertama, BP-Pemko membentuk komite bersama (joint committee) yang menyusun rencana strategis pembangunan kawasan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Tim ini yang akan menyusun strategi dan kebijakan sesuai dengan level kewenangan masing-masing institusi.

Dimulai dengan melakukan pemetaan masalah saat ini dan masa datang di semua sektor industri dan perdagangan, sosial dan kemasyarakatan. Membuat prediksi perubahan lingkungan bisnis eksternal dan internal kawasan, pertumbuhan penduduk, arus migrasi, ketersediaan infrastruktur, lahan, dan sarana prasarana pendukung lainnya.

Untuk komite bersama, Pemko bisa mengutus tim Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan BP menugaskan tim Deputi Perencanaan untuk mulai membahas arah pembangunan Batam dalam 5-10-20 tahun mendatang.

Sudah saatnya Batam memiliki milestone dengan visi misi yang jelas dan target yang terukur. Mau dikemanakan arah pembangunan pulau ini pada masa datang, semua tergantung pada BP-Pemko yang menyusun rumusan strategis dengan mempertimbangkan sumberdaya dan kemampuan yang dimiliki saat ini.

BP-Pemko bisa sharing budget and resources allocation khususnya dalam pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana pendukung lain. Semua bisa dikompromikan dalam perumusan perencanaan pembangunan tahunan sehingga setiap rupiah uang rakyat yang digelontorkan bisa bermanfaat dan tepat sasaran.

Kedua, BP – Pemko membentuk gugus tugas (joint task force) untuk memetakan masalah saat ini dan mencarikan solusi jangka pendek dan menengah terhadap kemerosotan ekonomi Batam di semua sektor.

Bahwa masalah Batam saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang berada di bawah 2%, dari sisi penawaran, jelas perlambatan ini disebabkan penurunan kinerja industri dan pertambangan, dan dari sisi permintaan dipicu investasi yang anjlok, belanja pemerintah yang tidak mencapai target dan penurunan net ekspor.

Untuk sektor industri pengolahan khususnya galangan kapal dan industri penunjang migas merupakan sektor yang paling parah terkena dampak krisis global. Melemahnya harga minyak mentah dari US$100 per barel pada 2014 menjadi di bawah US$30 per barel sejak kuartal pertama 2016 memaksa perusahaan migas untuk memangkas biaya eksplorasi dan produksi hingga 25% sejak 2015 lalu.

Pengurangan biaya eksplorasi dan produksi ini terus terjadi dalam tiga tahun terakhir dan terbesar sepanjang sejarah industri migas. Perusahaan jasa pengeboran dan industri penunjang terpaksa menghadapi masa-masa kelam dalam beberapa tahun ke depan.

Akibatnya puluhan perusahaan galangan kapal dan industri penunjang migas di Batam berhenti beroperasi dan merumahkan ribuan karyawan. Efek lanjutan dari kondisi ini adalah daya beli masyarakat turut melemah dan permintaan terhadap barang konsumsi juga menurun.

Prediksi harga minyak saat ini dikisaran US$50 per barel memaksa perusahaan migas untuk mengkalkulasi biaya eksplorasi lebih efisien dengan perkiraan biaya U$35 – US$40 per barel, dengan demikian perusahaan bisa mendapatkan harga yang lebih ekonomis. Namun demikian, beberapa studi belum berani memberi gambaran optimis terhadap masa depan industri ini.

Berbeda dengan galangan kapal, data Lloyd’s List Intelligence Outlook 2016 untuk order kapal baru diperkirakan tumbuh secara global pada angka 3,5% per tahun dalam lima tahun ke depan. Bahkan di beberapa pasar terjadi kelebihan suplai.

Saat ini, total orderbook berlebih hingga 267 juta DWT,  di China mendapat 43% atau 115 juta DWT, Korea Selatan 63 juta DWT, Jepang 50 juta DWT, dan Eropa 7 juta DWT. Sementara itu jumlah kapal yang dipesan dalam kurun waktu 2017-2020 diperkirakan meningkat mulai dari 2.000 unit kapal hingga 3.000 unit per tahun.

Mengacu pada data tersebut, masih ada peluang bagi industri galangan kapal lokal untuk bersaing merebut pasar global yang selama ini masih dikuasai tiga negara kuat Asia yaitu China, Korsel, dan Jepang.

Peran tim gugus tugas ini nantinya bersama dengan Batam Shipyard and Offshore Organization (BSOA) untuk mencari insentif atau stimulus yang bisa membuat industri galangan Batam lebih kompetitif dibandingkan pesaing global lain.

Untuk industri elektronik, juga menghadapi masalah yang kurang lebih sama yaitu kemerosotan utilitas dan tidak adanya investasi baru. Tim gugus tugas perlu memetakan kebutuhan insentif sektor elektronik agar lebih berdaya saing dengan menggesa pembahasan konsep inland-FTA bagi produk elektronik tertentu yang bisa masuk ke pasar domestik.

Pembahasan konsep ini juga harus hati-hati agar tidak resisten dengan produk sejenis yang sudah berkembang di pasar lokal. Namun, ini bisa menjadi solusi bagi penguatan dan peningkatan utilitas industri manufaktur elektronik di tengah minimnya investasi baru.

Untuk sektor properti, tim juga bisa memetakan perkembangan bisnis properti saat ini di tengah isu kenaikan tarif UWT. BP-Pemko perlu membuat sinkronisasi perencanaan pengembangan wilayah pemukiman baru dengan strategi perusahaan pengembang yang tergabung dalam REI.

BP perlu mempertegas mana wilayah yang wajib dibangun bangun tinggi seperti apartemen atau condotel, office building, pertokoan, mall/pusat perbelanjaan, dan sarana pendukung lain seperti sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah.

Kita bisa belajar dari Singapura yang sejak dini sudah mempersiapkan kawasan baru yang akan dikembangkan pada 2030 mendatang ketika satu kawasan sudah jenuh dan penuh sehingga perlu disebar ke kawasan pengembangan baru.

Dengan demikian tidak ada lagi saling tuding ketiadaan lahan untuk bangun sekolah, tempat pembuangan sampah, dan pembangunan sarana infrastruktur dasar lain karena BP-Pemko sudah merencanakan kebutuhannya sejak awal.

Termasuk juga bagaimana kedua instansi berpikir agar ke depan geliat pembangunan properti bisa sejalan dengan sistem drainase yang terintegrasi sehingga banjir di beberapa titik bisa direduksi secara bertahap, serta masalah-masalah sosial kemasyarakatan lain yang berpotensi mengganggu upaya pencapaian target pembangunan kawasan.

BP-Pemko juga harus mengalihkan fokus pada investasi sektor pariwisata yang cukup potensial dan belum optimal dikembangkan. Kota ini masih kekurangan objek wisata karena investor belum tertarik untuk masuk ke sektor ini, sehingga perlu ada stimulan atau insentif yang menarik.

Beberapa insentif jangka pendek yang bisa diformulasikan bagi peningkatan daya saing industri adalah

1) memberikan pembebasan tarif UWT bagi galangan kapal, fabrikasi, industri pendukung migas, elektronik dan pariwisata dengan nilai investasi tertentu selama beberapa tahun,

2) membebaskan segala jenis biaya pengurusan perizinan di BP dan Pemko,

3) memastikan tidak ada biaya siluman di pelabuhan dan jasa logistik,

4) tidak menerapkan aturan pengupahan yang memberatkan (dikecualikan bagi sektor industri yang terkena dampak krisis global),

5) memberikan kepastian hukum dan aturan, dan insentif lain yang bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha.

Dalam jangka menengah dan panjang, BP-Pemko bisa mempersiapkan sarana infrastruktur seperti jalan-jalan koridor yang menghubungkan kawasan industri dengan pelabuhan, peningkatan kapasitas pelabuhan utama Batu Ampar, dan menyusun/mengusulkan formulasi insentif fiskal yang menjadi ranah pemerintah pusat agar berdampak bagi penguatan iklim investasi di daerah.

Terakhir, tanpa melupakan peran Pemerintah Provinsi Kepri dan Kementerian Koordinator Perekonomian dalam skema quadro helix (Ampuan Situmeang, Batam Pos 07/2017), bahwa kedua institusi tersebut juga harus ikut berperan serta dengan BP-Pemko dalam akselerasi pembangunan kawasan.

Semua pihak harus bergandengan tangan dalam setiap lini pembangunan pulau ini. Semua kebijakan harus dirumuskan dan dibahas bersama-sama, tidak ada lagi dikotomi, BP hanya mengerjakan ini, Pemko hanya mengerjakan itu. Tidak ada lagi pernyataan BP adalah perpanjangan tangan pusat, Pemko representasi daerah, sehingga keduanya tidak bisa berbaur dan bersinergi.

Ingat, BP dan Pemko adalah agent of development, keberadaan dua institusi itu harus bermanfaat bagi akselerasi pembangunan, tidak hanya fokus pada peningkatan revenue melalui penaikan tarif lahan, bandara, pelabuhan, retribusi dan pajak daerah lain.
Sekarang saatnya untuk membuang pemikiran sempit itu demi Batam masa depan. Kecuali jika BP-Pemko selamanya berpikiran sempit, penulis tak tau lagi nak cakap apa!

 


Oleh Suyono Saputro
Dosen Fak. Ekonomi – Universitas Internasional Batam/Kandidat Doktor Strategic Management Universitas Trisakti

Update