Momentum percepatan kinerja pariwisata tahun ini harus terus kita jaga. Dengan pertumbuhan pariwisata yang paling pesat di Asia Tenggara setelah Vietnam, kita semakin optimis dapat mencapai target 15 juta wisman tahun ini. Berbagai jurus dan strategi yang kita lakukan telah membuahkan hasil yang cukup signifikan.
Tak terkecuali progress pengembangan 10 destinasi prioritas juga semakin kita kebut. Rabu (19/7) kemarin, bertempat di kompleks Candi Prambanan kita telah meluncurkan Badan Otorita Borobudur (BOB), setelah sebelumnya kita membentuk Badan Otorita Toba.
Badan Otorita ini mempunyai 2 fungsi utama yaitu fungsi otoritatif dan fungsi koordinatif. Badan Otorita bertugas melakukan koordinasi, sinkronisasi, fasilitasi serta melakukan perencanaan, pengembangan, pembangunan, dan pengendalian di Kawasan Pariwisata Borobudur. Badan ini yang akan mengorkestrasi strategi 3A (Atraksi, Akses dan Amenitas) sebagai jurus ampuh pengembangan destinasi wisata.
Single Destination, Multi Management
Kelemahan pengelolaan Borobudur selama ini adalah, single destination, multi management. Ada zona 1 yang dikelola Kebudayaan (Kemendikbud), zona 2 dikelola BUMN, zona 3 yang dikelola Pemda dengan ribuan pedagang, dan Kemenpar menginginkan zona 1, 2, dan 3.
Borobudur sebagai UNESCO World Heritage Site, adalah sebuah Mahakarya Budaya Dunia yang lebih agung daripada Angkor Wat hanya mendatangkan sekitar 250 ribu wisman.
Sementara Angkor Wat mendatangkan 2,5 juta wisman atau 10 kali lipatnya. Untuk diketahui bahwa pengelolaan Angkor Wat dilakukan oleh satu manajemen atau Single Management.
Demikian juga dengan Georgetown di Penang, Malaysia, mendatangkan sekitar 750 ribu wisman, atau tiga kali lipat dari jumlah wisman yang ada di Borobudur, dan Georgetown juga dikelola hanya oleh satu manajemen.
Oleh karenanya, agar Borobudur dapat mendatangkan jauh lebih banyak wisman, maka pengelolaannya pun harus dilakukan oleh single management. Dengan demikian, diyakini target 2 juta wisman untuk Borobudur pada tahun 2019 akan relatif mudah dicapai.
BOB hadir dengan kawasan otoritatif dan kawasan koordinatif. Zona otorita yang akan dikelola seluas sekitar 300 Ha, yang jaraknya sekitar 10 Km dari Borobudur, sehingga dalam pengembangan destinasi baru, tidak akan langsung menyentuh zona 1, 2 dan 3. Hal ini akan mengurangi potensi konflik yang selama ini mungkin terjadi di ketiga zona tersebut.
Sedangkan zona koordinatif, meliputi 4 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yaitu Borobudur-Jogja, Dieng, Semarang-Karimunjawa dan Solo-Sangiran, dan akan dikelola sebagai single destination dalam satu konsep Integrated Tourism Masterplan.
Dengan kata lain, 2 provinsi yaitu DIY dan Jawa Tengah atau lebih populer dengan sebutan Joglosemar akan diposisikan sebagai satu destinasi, karena pada industri pariwisata sebenarnya batas-batas geografis atau administrasi pemerintahan kurang relevan untuk dijadikan acuan dalam pengembangan destinasi pariwisata.
Jangankan hanya batas-batas administrasi pemerintahan tingkat kota atau provinsi, ASEAN saja sudah membuat program ASEAN as a Single Destination, karena menyadari bahwa saat ini tidak hanya persaingan antar negara tetapi sudah terjadi persaingan antar kawasan regional.
Minimalisasi Konflik
Tugas BOP salah satunya adalah mengkoordinasikan pengelolaan pariwisata dengan lembaga-lembaga pengelola yang sudah ada sebelumnya dan pelibatan masyarakat. Pengelolaan dalam satu manajemen atau “Single Destination, Single Management” melalui badan otorita khusus tiap destinasi dapat meminimalkan potensi konflik.
Misalnya apa yang terjadi di Danau Toba sebelum dibentuk Badan Otorita. Berbicara mengenai pengembangan kawasan Danau Toba, tak bisa lepas dari 7 kabupaten yang mengelilinginya. Ada 7 Bupati yang berkepentingan untuk membangun daerahnya. Ada satu mata rantai aktivitas, dimana ada fungsi kewenangan dan regulasi. Harus ada koordinasi di antara semua pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah 7 kabupaten tadi. Tentu sangat sulit satu destinasi dikelola oleh tujuh bupati atau dengan kata lain, single destination, multi management. Bisakah kita membayangkan ada satu perusahaan dipimpin oleh tujuh CEO?
Beruntung bahwa 7 bupati disekitar Danau Toba saat ini bersatu padu untuk membangun Danau Toba yang hanya satu itu. Diyakini bahwa apabila destinasi Danau Toba sukses sebagai destinasi pariwisata kelas dunia, maka dampaknya akan sangat positif bagi 7 kabupaten tersebut. Kekompakan 7 bupati ini dituangkan dalam satu ikrar, “Bersatu untuk Danau Toba”, yang ditandatangani oleh ketujuh bupati tersebut. Hasilnya sudah dapat dirasakan antara lain, jumlah penumpang di Bandara Silangit yang tadinya hanya sekitar 20.000 per tahun, sekarang sudah menembus angka 200.000 per tahun, okupansi hotel rata-rata sudah diatas 70%, restoran-restoran sudah kembali bergairah.
Saat ini sedang disusun sebuah masterplan yang terpadu yang disebut Integrated Tourism Masterplan, yang akan menjadi panduan arah visi pengembangan Danau Toba ke depan. Keterkaitan dan keterhubungan antar daerah harus selaras. Dengan demikian maka visi Danau Toba menjadi destinasi super volcano geopark kelas dunia dengan target kunjungan 1 juta wisman dengan devisa 16 Triliun rupiah pada tahun 2019 akan lebih mudah dicapai.
Menutup CEO Message ini, saya mengingatkan lagi bahwa diperlukan komitmen penuh para CEO untuk solid dan bersinergi satu sama lain agar kita bisa bekerja semakin cepat. Seperti yang selalu saya singgung, bahwa 50% sukses pariwisata daerah itu berasal dari CEO Commitment. Keseriusan, keberpihakan, dan kejelasan pimpinan daerahnya dalam mengurus pariwisata.
Salam Pesona Indonesia!!!
Oleh Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc.
*)Menteri Pariwisata Republik Indonesia.