batampos.co.id – ”Mereka (militer, Red) memukuli kami, menembaki kami, dan memburu orang-orang kami sampai mati.”
Begitulah kisah Hamida Begum, satu pengungsi Rohingya yang telah meninggalkan Myanmar.
”Banyak orang terbunuh, banyak wanita diperkosa dan terbunuh, kami sangat miskin, suami saya adalah buruh harian,” katanya.
”Kami biasa makan dua kali sehari, tapi kami kehilangan segalanya setelah perang dimulai,” katanya, mengacu pada pecahnya konflik pada Jumat (25/8) lalu ketika militan Rohingya melakukan serangan terkoordinasi ke pos-pos perbatasan militer dan menewaskan 12 petugas keamanan.
Sebagai tanggapan, militer pun mengintensifkan “operasi pembersihan” yang mendorong ribuan orang pergi dari rumah mereka. Pejabat pemerintah mengatakan pada Kamis (31/8) bahwa setidaknya 399 orang telah tewas dalam pertempuran sejak Jumat lalu. Kata mereka, dari jumlah itu, 370 adalah “teroris.” Namun, aktivis mengatakan militer telah membunuh wanita, anak-anak dan orang-orang yang tidak bersalah.
Kedua belah pihak saling menyalahkan atas pembakaran rumah. Pemerintah mengatakan militan Rohingya telah membakar lebih dari 2.300 rumah. Rohingya mengatakan bahwa militerlah yang telah menyerang rumah mereka.
Begum mengklaim bahwa keluarganya disiksa oleh militer dan kaki tangan mereka. Keluarga lainnya dibunuh setelah gagal membayar uang tebusan kepada tentara tersebut.
”Kami harus melarikan diri untuk menyelamatkan hidup kami, mereka tidak membiarkan kami bergerak bebas. Kami kehilangan segalanya. Mereka memungut orang dari rumah dan meminta uang tebusan mereka. Banyak dari (orang-orang itu) ditembak mati.”
Seorang pengungsi lain yang diwawancarai mengatakan bahwa militer memerintahkan mereka untuk tinggal di dalam rumah mereka. Dia mengatakan militer datang ke desanya dan membunuh lima orang, termasuk anaknya.
“Mereka disiksa sampai mati. Rumah kami terbakar Kami kehilangan semuanya disana,” katanya.
“Bagaimana kita bisa bertahan Saya tidak punya uang. Setelah melihat pembantaian itu, saya menempuh perjalanan jauh ke perbatasan Bangladesh, saya meninggalkan rumah saya empat hari yang lalu, kemana saya akan pergi? Anak saya dibunuh.”
Diperkirakan 200.000 sampai 500.000 pengungsi Rohingya telah menjalani kehidupan yang tidak bersahabat di Banglades. Kamp-kamp pun kumuh dan penuh sesak.
Tahun lalu, sebanyak 85.000 orang Rohingya melintasi perbatasan menyusul serentetan kekerasan serupa.
”Penganiayaan terhadap orang-orang ini telah berlangsung selama beberapa dekade,” kata Sally Smith, Direktur Eksekutif Nexus Fund, sebuah LSM yang berkomitmen untuk mencegah kekejaman terhadap masyarakat.
“Dalam beberapa hari terakhir, apa yang terjadi pada Rohingya sangat mirip dengan apa yang terjadi pada Oktober lalu,” kata Smith kepada CNN.
“Hal itu menyebabkan respon yang sangat tidak proporsional oleh militer Myanmar terhadap warga sipil. Mereka membunuh, memperkosa, bahkan menembaki senapan mesin pada pria, wanita, dan anak-anak yang tidak berdosa saat mereka berlari menuju perbatasan untuk melarikan diri ke Bangladesh. (tia/CNN/JPC)