Jumat, 19 April 2024

Alasan BP Batam Keukeuh Jalankan Perka Lahan

Berita Terkait

Warga memanfaatkan tanah kosong di Sagulung untuk belajar menyetir mobil. F. Dalil Harahap/Batam Pos

batampos.co.id – Meski ditentang banyak pihak, Badan Pengusahaan (BP) Batam akan tetap menjalankan Perka Nomor 10 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Administrasi Lahan. BP Batam berdalih, Perka tersebut penting untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Baik pengusaha, perbankan, maupun BP Batam sendiri.

Kepala BP Batam, Hatanto Reksodipoetro, mengatakan seharusnya pengusaha dan pihak-pihak lainnya tak meributkan keberadaan Perka tersebut. Khususnya pasal yang mengharuskan pengusaha membayar garansi bank sebesar 10 persen dari total investasi, dan pasal yang mewajibkan pengusaha meminta izin BP Batam saat akan mengagunkan sertifikat lahannya ke bank.

“Saya ini mewakili pemerintah. Pemerintah punya tanah di Batam, kemudian disewakan, lalu diagunkan tanpa kami tahu, ya tak pantas,” ujar Hatanto di Hotel Harris Batamcentre, Batam, Kamis (12/10).

Menurut pria berkacamata ini, meminta izin BP Batam sebelum menjaminkan sertifikat ke bank merupakan hal yang normal. “Contohnya saya punya tanah dari orang tua dan saya butuh uang. Kemudian saya sewakan ke tetangga. Lalu tanpa sepengetahuan saya, tetangga malah agunkan ke bank. “Kan gak bisa seperti itu,” ujarya.

Dia kemudian menjelaskan latar belakang munculnya pasal tersebut. Menurut dia, selama ini sering terjadi kasus ketika pihak yang menjaminkan sertifikat tanahnya ke bank tidak bisa membayar cicilannya.

Kondisi ini bisa terjadi jika pihak yang mengagunkan tanah mengalami kesulitan ekonomi. Misalnya usahanya bangkrut. Jika cicilan tidak dibayar, maka tanah yang dijadikan jaminan akan disita pemerintah atau pengadilan. Padahal status lahan di Batam merupakan lahan pemerintah yang hak pengelolaannya dipegang BP Batam.

“Nah tanah siapa itu, kan tanah pemerintah, apa bisa (ditarik bank atau pengadilan)?” ungkapnya.

Meski begitu, kata dia, tidak ada sanksi bagi siapapun jika tidak punya izin tersebut. Ia juga menegaskan bahwa Perka 10 ini punya aturan dasarnya yakni di PP Nomor 40 Tahun 1996 dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 630.1-3430 tanggal 17 September 1998.

Sedangkan mengenai deposit 10 persen sebelum membangun proyek atau yang lebih dikenal dengan nama Jaminan Pelaksanaan Pembangunan (JPP), Hatanto menjelaskan bahwa aturan itu dibuat karena ada 7.700 hektar lahan yang tidak dibangun.

Dia mengakui, selama ini JPP-nya hanya 2,5 persen dari nilai Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Di mana nilai UWTO sendiri hanya 10 persen dari nilai pasaran lahan.

Jika BP Batam tetap menerapkan tarif JPP sebesar 2,5 persen dari UWTO, maka dikhawatirkan pengusaha tidak akan segera membangun lahannya. Seperti yang terjadi saat ini. Banyak lahan dibiarkan ‘tertidur’.

“Pasti akan ditunggu saja sampai ada yang beli di harga pasar. Toh JPP-nya selama ini tidak pernah dicairkan karena nilainya kecil,” ujarnya.

Hatanto juga menegaskan, aturan ini tidak mengharuskan investor membayar dalam bentuk uang tunai. Tetapi bisa dibayar dalam bentuk garansi bank. “Kalau perusahaannya bonafit, tidak ada masalah pastinya untuk dapat fasilitas garansi bank,” ungkapnya.

Dan dengan kebijakan seperti ini, maka konsentrasi penguasaan lahan oleh segelintir orang juga dapat dikontrol dan sudah sesuai nawacita Presiden Jokowi. Dengan aturan ini pula, kata dia, BP Batam akan bisa memilah mana investor sungguhan, dan mana yang hanya ingin menjadi spekulan lahan.

“Untuk industri tentunya JPP ini dihitung dari nilai tanah dan bangunannya. Nilai mesin-mesin tidak dihitung,” jelasnya.

Sebelumnya, kalangan pengusaha hingga notaris meminta agar Perka Nomor 10 tersebut segera direvisi. Mereka menilai ada beberapa aturan yang memberatkan. Khususnya terkait izin untuk mengagunkan sertifikat dan kewajiban membayar uang jaminan sebesar 10 persen dari nilai investasi. Bahkan anggota DPR dan DPD ikut menentang Perka yang terbit pada Juni lalu itu. (leo)

Update