Kamis, 28 Maret 2024

Antara UMK dan Upah Sundulan

Berita Terkait

ilustrasi
foto: iman wachyudi / batampos

batampos.co.id – Polemik penetapan besaran upah minimum kota (UMK) selalu menyeruak jelang akhir tahun. Pengusaha dan buruh selalu silang pendapat. Tak jarang disertai aksi unjuk rasa. Bahkan, besaran upah yang ditetapkan gubernur, perdebatannya sering berakhir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Apalagi setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang penetapan upah tak lagi didasarkan pada survei kebutuhan hidup layak (KHL), tapi berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Pengusaha menilai PP78/2015 sangat tepat karena pengusaha bisa membuat proyeksi bisnis lebih cepat dan pasti setiap tahunnya. Sementara bagi buruh, PP ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, karena mengesampingkan peran serikat buruh dan Dewan Pengupahan.

Sekadar diketahui, UMK sebenarnya hanyalah jaring pengaman. UMK yang diributkan setiap akhir tahun itu hanya ditujukan untuk pekerja nol tahun atau kurang dari satu tahun. Jumlah pekerja nol tahun ini, jauh lebih kecil dari pekerja di atas satu tahun.

Di Batam contohnya, Manager Admin and General Affair PT Batamindo Investment Cakrawala, Tjaw Hioeng, menyebutkan pihak Batamindo mencatat ada 9.917 pekerja yang direkrut sepanjang Januari hingga September 2017. Rinciannya, Januari ada 733 orang, Februari 1.111 orang, Maret 1.311 orang, April 1.416 orang, Mei 1.072 orang, Juni 1.185 orang, Juli 719 orang, dan September 782 orang.

Pada Januari 2018 mendatang dari 9.917 pekerja baru tersebut, yang masuk kategori nol tahun akan berkurang 733 orang. Begitu seterusnya. Artinya, yang nol tahun akan menjadi pekerja di atas 1 tahun dan seterusnya.

Jika dilihat lebih luas lagi, jumlah tenaga kerja di Batam selama ini tercatat sekitar 260 ribu orang. Jika dikurangi jumlah pekerja yang kena PHK akibat industri galangan kapal mati suri dalam dua tahun terakhir ini, berkurang sekitar 200 ribu pekerja. Maka, tersisa pekerja lama sekitar 60 ribu. Sementara lowongan kerja yang tersedia rata-rata setiap tahunnya hanya 14 ribu. Artinya, jumlah pekerja baru atau nol tahun masih lebih kecil dari pekerja di atas satu tahun.

Namun, selama ini yang selalu diributkan hanyalah upah pekerja nol tahun, sementara pekerja yang jumlahnya jauh lebih banyak terkesan diabaikan hak-haknya. Bahkan upah sundulan yang dibahas atau tidak setiap tahunnya wajib dibayarkan ke pekerja di atas satu tahun, banyak diabaikan pengusaha. Apalagi soal struktur dan skala upah.

Buktinya, banyak pekerja di atas satu tahun yang upahnya sama dengan pekerja nol tahun. Tetap UMK. Bahkan tak sedikit pekerja yang lebih dari lima tahun masih kontrak. Bahkan banyak juga yang permanen namun gajinya hanya selisih sedikit dengan pekerja nol tahun.

Bukan hanya itu, tak sedikit juga pekerja yang lulusan S1 gajinya kalah atau sama dengan pekerja tamatan SMA sederajat. Lebih menyakitkan, S1 gajinya kalah dengan pekerja tamatan SMA yang nol tahun. Contohnya pekerja kontrak yang bekerja sebagai office boy ada yang gajinya sama dengan pekerja S1 yang mengerjakan pekerjaan utama di perusahaan.

Kondisi ini terjadi akibat perusahaan tidak membuat struktur dan skala upah bagi pekerjanya secara jujur dan adil. Kalaupun dilakukan, tidak sepenuhnya. Padahal di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah jelas di ataur. Hanya saja, tidak tegas dijabarkan aturan turunannya.

Nah, pada 21 Maret 2017 lalu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 1 Tahun 2017 tentang struktur dan skala upah. Dengan regulasi ini, maka skala upah saat ini ditentukan oleh pengelompokan jabatan berdasarkan nilai atau bobot jabatan.

“Struktur dan skala upah wajib disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi,” ujar Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Adriani, di Gedung Badan Pengusahaan (BP) Batam, belum lama ini.

Permenaker ini diterbitkan sebagai pendamping dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

”Menimbang dari dua undang-undang tersebut, maka pemerintah perlu menetapkan peraturan tentang struktur dan skala upah itu,” tegasnya lagi.

Upah yang harus ditetapkan skalanya adalah upah pokok yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Dalam tahapannya, penentuan struktur dan skala upah dapat menggunakan tiga tahapan, yakni analisa jabatan, evaluasi jabatan, dan penentuan struktur dan skala upah.

Analisa jabatan merupakan proses memperoleh dan mengolah data jabatan menjadi informasi jabatan yang dituangkan dalam bentuk uraian jabatan. Kemudian evaluasi jabatan merupakan proses penilaian dan pemeringkatan jabatan. Terakhir penentuan struktur dan skala upah dilakukan oleh pengusaha setalah dua tahapan tersebut selesai.

Permenaker ini wajib dilaksanakan karena bersifat memberikan kepastian hukum kepada para pekerja. Bahkan Permenaker itu wajib diterapkan dan diberitahukan oleh pihak perusahaan kepada pekejanya paling lambat 23 Oktober 2017 ini. (leo/nur)

Update