Jumat, 19 April 2024

Pelanggan Datang dari Malaysia dan Singapura

Berita Terkait

Pak Mok mematangkan otak-otak yang dibuatnya. Pak Mok merupakan generasi kedua, yang meneruskan usaha otak-otak pertama di Kampung Sei Enam Laut. F. Slamet/Batam Pos.

batampos.co.id – Bagi wisatawan yang berpelesir ke Kijang belum lengkap rasanya jika
belum menikmati otak-otak khas Sei Enam Laut di Kelurahan Sei Enam, Kecamatan Kijang, Bintan. Betapa tidak rasa kuliner satu ini memang tiada dua jika dibandingkan otak-otak yang ditemukan di daerah lain di Bintan. Cuma di sini bisa menikmati sensasi makan otak-otak dengan cita rasa bumbu yang sangat berasa, dari bahan olahan ikan tenggiri, sotong sampai tulang ikan.

Kampung yang telah ditetapkan pemerintah menjadi kampung budaya dan kuliner otak-otak Sei Enam ini terletak di wilayah pesisir Kelurahan Sei Enam. Jaraknya sekitar 10 menit dari Kota Kijang. Sabtu, dua pekan lalu, Batam Pos menyusuri jalan di perkampungan tersebut. Hampir di semua pekarangan rumah warga ada plang bertuliskan tersedia
otak-otak ikan, sotong dan tulang.

Tidak heran apabila pemerintah kemudian menetapkan kampung ini sebagai kampung otak-otak, karena di sini, hampir satu per tiga kepala keluarga bekerja sebagai penjual
otak – otak.

Pagi itu, Batam Pos mencari rumah ketua RT. Idris namanya, atau biasa disapa Pak Itam. Saat ditemui dan diminta bantuannya untuk menemukan keluarga pertama yang membuat otak-otak di kampung itu, Idris menyambutnya dengan ramah dan bersedia mengantarkannya. Dia menemani wartawan koran ini menemui seorang pria yang merupakan generasi kedua pembuat otak-otak di kampung itu.

Adalah Jamil, laki-laki paruh bayah yang akrab disapa Pak Mok sedang duduk di kedainya. Sama dengan rumah kebanyakan, di kampung itu, di depan rumah Pak Mok juga ada tulisan tersedia otak-otak Pak Mok. Ia merupakan generasi kedua atau penerus usaha otak-otak yang diwariskan orangtuanya, alm Garib dan almh Piah. “Bikin otak-otak sudah turun temurun dari mamak, orang tua kami yang pertama buat otak-otak,” kata
Pak Mok yang ditemui di rumahnya, Sabtu (14/10) lalu.

Pak Mok mengatakan, dirinya belajar saat membantu ibunya membuat otak-otak. Sebenarnya, ibunya bukan saja membuat otak-otak, tapi juga beragam jenis kue. Modal itu, Pak Mok memberanikan membuka kedai dan kedainya sudah berdiri puluhan tahun. Setelah jualannya laris manis, ia kemudian menurunkan ilmu membuat otak-otak ke anak saudaranya dan sekarang sudah ada belasan warga di sana yang berjualan otak-otak.

Pak Mok mengatakan, pelanggannya bukan hanya warga Kijang, dan Tanjungpinang. Tapi dari Tanjunguban, Batam, dan daerah lain di Kepri. Bahkan, ada pelangganya dari Malaysia dan Singapura. Bagaimana warga Malaysia dan Singapura bisa menjadi pelangga setia Pak Mok? “Biasanya mereka ada sanak saudara di Tanjungpinang atau Batam, jadi pas ke sini
mereka rasa, cocok. Lalu, kalau mereka ke sini selalu pesan, untuk dijadikan buah tangan ke negaranya,” kata Pak Mok.

Pak Mok bukan membanggakan otak-otaknya, tapi menurut orang yang sudah membeli otak-otaknya, rasanya beda dari otak-otak di daerah lainnya. “Mereka bilang enak. Kalau sudah enak, pasti mereka pulang akan bawa cerita,” katanya.

Bahkan, turis pernah singgah dan makan otak-otak di kedianya. “Pernah ada rombongan yang mampir ke sini, mereka bule. Katanya, good,” ucapnya tertawa.

Lalu apa keisitmewaan dari otak-otak Pak Mok di Sei Enam, ia menuturkan, sebenarnya tidak ada yang istimewa. Hanya, dia selalu memilih ikan yang segar dan bumbu yang turun temurun. Soal ikan, ia membelinya ke pasar atau langsung ke nelayan, untuk memastikan ikan tersebut benar-benar layak dibuat otak-otak. Pilihannya adalah ikan Tenggiri.

Hanya, harga ikan di masanya dulu dengan sekarang jauh berbeda. Dulu, tenggiri dihargai Rp 18 ribu sekilo, sekarang bisa mencapai Rp 45 ribu sekilo. “Macam mana lagi, tak mungkin kita mau naikkan harga otak-otak ini dari seribu menjadi dua ribu. Ya, biarlah asal ada untung sedikit,” katanya.

Mengenai bumbu, ia sedikit membuka rahasianya. Ia mengatakan, bumbu yang dicampur dengan ikan adalah cabai kering, bawang putih merah dan santan, lalu ada serai. Hanya, diakuinya membuat bumbu seperti membuat gulai, karena itu perlu kesabaran. Setelah bumbu matang, baru dicampur dengan ikan yang sudah digiling halus, lalu dicampur tepung kanji. “Alhamdulillah sudah dibantu dari pihak Pertamina, mesin giling ikan,
jadi tak perlu pakai lesung lagi,” katanya.

Dikatakannya juga, otak-otak di masa sekarang tidak senikmat buatan orang tua dahulu. Jika dulu orangtua mencampurkannya dengan ampas kelapa dan menghaluskan ikan dengan lesung, tapi sekarang banyak pembuat otak-otak tidak lagi melakukannya. Menurutnya, campuran ampas kepala akan membuat otak-otak berasa gurih. “Kalau ikannya ditumbuh lebih sedap, tapi saya sudah tak ada tenaga lagi kalau mau pakai
lesung,” kata dia.

Pak Mok juga mengatakan, sama seperti usaha lainnya, usaha otak otak ada pasang surut. Otak otak biasanya akan ramai dipesan saat malam tahun baru atau akhir pekan. Menjelang malam tahun baru, ia mengaku bisa menghabiskan ikan sampai 300 kilo. “Wah kadang kami tidak sanggup mengerjakannya,” katanya.

Dalam sebulan, ia mengaku, jika sepi dirinya bisa meraup keuntungan sekitar Rp 2 juta, namun jika ramai bisa mencapai Rp 5 juta. Hanya ia berharap, pemerintah terus membantu permodalan dan pemasaran sehingga kampung otak-otak yang sudah ada
terus dilestarikan.

Sementara itu, Hasanudin, warga di sana mengakui kelezatan otak-otak Pak Mok. Ia mengatakan, sejak kecil, keluarga Pak Mok memang terkenal dengan kulinernya. “Ibunya Pak Mok ini pembuat kue. Dulu, ingat saya, kalau ibunya lagi masak, belum lagi diangkat di wajah, kue itu sudah habis,” katanya. Hanya, diakuinya sekarang banyak usaha otak-otak yang tumbuh selain dari punya Pak Mok. “Sekarang sainggannya banyak, tak
seperti dulu,” katanya,

Ketua RT setempat, Idris mengaku, di kampungnya telah ditetapkan sebagai kampung budaya dan kuliner otak-otak. Setidaknya ada 14 warganya yang berjualan otak-otak. Ia berharap, kampung ini terus dikenal dengan otak-otaknya. (cr21)

Update