Kamis, 28 Maret 2024

Tata Ulang Keuangan Keluarga

Berita Terkait

Ilustrasi

SPESIALIS Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Awal Bros (RSAB) Batam, dr Ratna Istiastuti, membenarkan krisis ekonomi seperti sekarang ini memang berpotensi menimbulkan berbagai penyakit dan tindakan negatif. Untuk itu, keluarga perlu menyusun ulang perencanaan keuangannya secara baik. Terutama dalam menyeimbangkan pemasukan dengan pengeluaran.

Selain itu, membuat inovasi pekerjaan, menerima dan bersedia menyesuaikan kondisi yang sedang terjadi dengan membuat beberapa cara penghematan.

“Penting sekali membuat skala prioritas kebutuhan dengan menyesuaikan income,” kata Ratna, beberapa saat setelah mendarat di Batam usai berkunjung ke negeri Paman Sam, AS, akhir pekan lalu.

Jika tidak melakukan itu, bisa berdampak terhadap kesehatan. Muncul gangguan kecemasan berlebihan dan depresi. Ujung-ujungnya bisa menimbulkan penyakit jantung (hipertensi, serangan jantung, dll); gangguan pernafasan (asma); gangguan pada kulit (gatal gatal yang tidak ada faktor pencetusnya, neurodermatitis, dll).

Selain itu, bisa menimbulkan penyakit metabolik yang lain seperti diabetes; gangguan Pencernaan (rasa sakit di ulu hati, kembung atau biasa di sebut maag, diare psikogenik); Gangguan psikosomatis (sering merasa ada suatu penyakit tapi sudah di buktikan secara medis normal) contohnya pusing dan nyeri tengkuk; gangguan terhadap hubungan sosial dalam masyarakat; dan masih banyak lagi.

 

Ciri-ciri Gangguan sosial dalam masyarakat ini terlihat seseorang mulai segan ketemu dengan orang-orang di sekitarnya, merasa minder atau tidak percaya diri, merasa tidak berguna, bahkan kadang kadang bisa menyebabkan gangguan sulit tidur.

Gangguan depresi ini sebenarnya bisa diobati. Jika dialami lebih dari dua pekan namun mampu mengatasi sendiri dengan mekanisme coping mature, maka bisa selesai dengan sendirinya. Namun bila tidak, maka disarankan konsultasi dengan tenaga ahli (Psikiater atau Psikolog).

Lesunya ekonomi juga tak dinafikan dr Ratna bisa memicu perceraian hingga bunuh diri. Jika ini terjadi, pertanda seseorang sudah sampai pada depresi berat karena ketidakmampuan menyikapi suatu kondisi berat yang dialaminya.

“Butuh supportif dari lingkungan terdekat dan juga pendekatan dari pihak pihak terkait untuk mencegah hal itu terjadi. Termasuk di lingkungan kerja,” katanya.

Dokter Ratna juga memberikan masukan. Selain menata kembali keuangan keluarga di era krisis dan pentingnya dukungan dari lingkungan terdekat, sebaiknya masing-masing personal juga membekali diri dengan keterampilan di bidang lainnya, menunjukkan kemampuan kinerja yang tinggi, jangan mudah mengeluh, dan selalu berfikir inovatif
dan kreatif.

Soal keberadaan psikolog atau psikiater di tempat kerja, Ratna menilai jauh lebih baik jika perusahaan mampu. Di beberapa negara maju sudah melakukan, salah satunya Jepang. Bahkan, di Jepang, beberapa perusahaan memberikan waktu untuk tidur siang pada karyawannya agar tetap terjaga kebugarannya.

Namun jika tidak mampu, perusahaan bisa bekejasama dengan psikiater atau Psikolog. Khusus di Kepri, masih terbatas tenaga ahli psikiater, khususnya di Batam. Namun tetap bisa dikonsultasikan berjenjang lewat dokter umum di sarana kesehatan milik pemerintah maupun swasta. Bisa juga langsung berkonsultasi di tempat pelayanan yang mempunyai tenaga ahli tersebut.

Hal senada dikatakan psikolog Mahmud Syaltut Usfa. Ia mengatakan kondisi ekonomi yang menurun memang rentan mempengaruhi kesehatan seseorang.

Namun masalah kesehatan itu, pemicu utamanya muncul justru karena krisis eksistensi akibat tingginya tekanan hidup. Krisis eksistensi ini justru yang paling berat dari kacamata psikologis.

“Bayangkan gaya hidup yang dulunya mewah, tiba-tiba harus jatuh ke titik terbawah karena pendapatan yang tak sama lagi. Akhirnya stres. Itu pasti. Apalagi masyarakat Batam ini sangat konsumtif,” ujar Syaltut, Jumat (3/11) malam pekan lalu.

Krisis eksistensi, menurut pria yang juga bekerja sebagai Komisioner KPPAD (Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah) Kepri, bisa berakibat fatal. Orang yang mengalaminya kelihatan ada dan sehat, tapi jiwanya tidak ada akibat melemahnya semangat karena kehilangan kebiasaan.

Melemahnya semangat, mengakibatkan fungsi otak menurun dan berujung pada munculnya stres. Jika fatal bisa mengakibatkan kegilaan atau penyakit serius lainnya.

“Kalau sudah begini apa yang harus dilakukan? Ya jalani hidup itu harus realistis, harus bisa menurunkan gaya hidup di saat susah begini,” sara Syaltut.

Tak hanya itu, pasti muncul masalah baru, rumah tangga berantakan, perceraian, dan tak sanggup menahan beban, akhirnya bunuh diri.

Ia menyebutkan, menghadapi masalah seperti ini, harus disikapi dengan bijak dan pemikiran yang benar-benar menerima perubahan keadaan itu sendiri.

Dalam lingkup di tempat kerja, Syaltut mengatakan karyawan juga rentan stres. Apalagi jika penghasilan mereka dipangkas atau tidak ada kenaikan upah karena kondisi perusahaan juga lagi kesulitan finansial. Sementara kebutuhan hidup terus meroket. (cha/nur)

Update