Jumat, 29 Maret 2024

Sekantong Asa untuk Para Pejuang Thalasemia

Berita Terkait

Sudirman merapikan rambut putrinya, Rizka Ramadhani, 8, usai menjalani transfusi darah di RSUD Embung Fatimah Batam, Kamis (28/12). Rizka divonis menderita thalasemia sejak masih berumur 9 bulan. F. Suparman/Batam Pos

batampos.co.id – Senyum Rizka Ramadhani seketika mengembang. Gadis cilik berusia 8 tahun itu tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat perawat di RSUD Embung Fatimah Kota Batam mengatakan proses transfusi darahnya sudah selesai, Kamis (28/12/2017). Ia boleh pulang.

Segera Rizka melompat dari ranjang pasien. Langkah kakinya kemudian menuju toilet di kamar 36 ruang Anyelir RSUD Embung Fatimah. Rasa gerah setelah 4 jam menjalani transfusi darah membuatnya ingin lekas mandi.

Tiga menit berselang, Rizka keluar dari kamar mandi. Senyumnya masih tetap tersungging dari bibir mungilnya. Pun saat ditanya soal cita-citanya, Rizka diam sesaat sambil terus tersenyum, sebelum akhirnya menjawab.

“Ingin jadi dokter,” ujarnya dengan suara pelan.

Siswi kelas 2 SDN 24 Kecamatan Galang, Batam, ini mengaku tetap semangat belajar meski mengidap penyakit kelainan darah atau thalasemia. Putri sulung pasangan Sudirman dan Riana ini ingin sekali menjadi dokter. Keinginan itu makin kuat setelah ia sering berinteraksi dengan dokter dan suster lantaran rutin menjalani perawatan di RSUD Embung Fatimah sejak beberapa tahun belakangan.

“Supaya bisa mengobati banyak orang,” Rizka melanjutkan.

Siang itu, Rizka baru saja menjalani transfusi darah di RSUD Embung Fatimah Kota Batam. Ia sudah tak ingat lagi, hari itu transfusi darah yang keberapa. Sebab ia sudah melakoni hal ini sejak usianya belum genap setahun.

Ya, Rizka divonis menderita thalasemia sejak ia masih berusia sembilan bulan. Sejak saat itu, ia sudah menjadi pejuang thalasemia dengan rutin melakukan transfusi darah setiap satu setengah bulan sekali. Durasi transfusi beragam. Kadang hanya satu jam, kadang bisa sampai empat jam.

“Tadi agak lama. Karena HB-nya rendah, jadi menghabiskan dua kantong darah,” kata ayah Rizka, Sudirman.

Sudirman menceritakan, awal mula putrinya itu dinyatakan menderita thalasemia. Waktu masih berusia tujuh bulan, Rizka sering rewel dan gampang sakit. Kondisi ini berlangsung sampai Rizka berusia sembilan bulan.

Saat memasuki usia sembilan bulan itu, kondisi fisik Rizka terlihat kian lemah. Selain itu, wajah Rizka kecil sering terlihat pucat.

Tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada putrinya, Sudirman membawanya ke dokter. Dan alangkah kagetnya ia, karena saat itu dokter memastikan Rizka mengalami penyakit thalasemia.

“Orang tua mana yang tidak sedih. Apalagi dokter bilang penyakit ini tidak ada obatnya. Artinya anak saya akan sakit seumur hidupnya,” kata Sudirman sambil menahan agar air matanya tak jatuh.

Namun Sudirman mengaku tak putus asa. Meski hanya kerja serabutan, ia bertekad akan terus mendampingi putri sulungnya itu berobat. Meski kata sembuh adalah hal yang nyaris mustahil bagi seorang penderita thalasemia seperti Rizka, ia mengaku tidak akan pernah menyerah.

“Kami ingin melihat dia tetap terlihat sehat,” katanya.

Sejauh ini, kata Sudirman, tidak ada keluhan serius yang disampaikan putrinya itu. Secara fisik, Rizka juga terlihat sehat. Pertumbuhan fisiknya juga terbilang normal jika dibandingkan dengan teman sebayanya.

Hanya, Rizka kerap merasa mudah capek. Sehingga ia tak banyak berinteraksi atau bermain dengan teman di sekitar tempat tinggalnya. Begitu juga di sekolah. Rizka tidak banyak mengikuti agenda sekolah di luar kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.

“Dia juga cenderung pemalu dan takut sama orang,” kata Sudirman.

Di usianya yang masih sangat belia, kata Sudirman, Rizka sudah mulai memahami kondisinya itu. Bahkan Rizka pernah mengatakan jika ia akan terus berjuang melawan penyakitnya itu. Meskipun, tak jarang Rizka harus pasrah ketika kondisi fisiknya terasa lemah.

“Seperti hari ini. Dia tak sanggup ngapa-ngapain dan minta diantar ke rumah sakit untuk transfusi darah,” kata Sudirman yang hari itu sendirian mendampingi putrinya di RSUD Embung Fatimah Kota Batam.

Rizka bukan satu-satunya pasien thalasemia di RSUD Embung Fatimah Kota Batam. Selain dia, ada 31 pasien lainnya yang rutin menjalani transfusi darah secara berkala. Semua pasien itu masih anak-anak. Usianya antara 2 hingga 16 tahun.

“Selain dari Batam, ada pasien dari Kabupaten Anambas,” kata dokter spesialis anak RSUD Embung Fatimah Kota Batam, dr Retno Murti Laila, SpA, Kamis (28/12).

Retno mengatakan, thalasemia merupakan penyakit kelainan darah. Sifatnya genetik atau penyakit yang diturunkan.

Tubuh penderita penyakit ini tidak memproduksi cukup hemoglobin sehingga mengakibatkan jumlah hemoglobin di dalam tubuh sedikit. Padahal, hemoglobin dalam tubuh memiliki fungsi yang teramat penting. Hemoglobin merupakan protein pembentuk sel darah merah yang berguna untuk mengikat oksigen dan mendistribusikannya ke seluruh tubuh.

Sehingga jika tubuh kekurangan hemoglobin, maka sel darah merah tidak bisa berfungsi dengan baik. Karena sedikitnya sel darah merah di dalam tubuh, maka oksigen yang diantarkan ke seluruh tubuh termasuk ke otak juga tidak maksimal.

Akibatnya, penderita thalasemia akan mudah lelah, sering sesak napas, dan mengalami anemia ringan hingga berat.
“Kalau tidak cepat ditangani, bisa mengakibatkan kerusakan fungsi organ dan menyebabkan kematian,” kata Retno.

Meski bersifat genetik, kata Retno, thalasemia bisa dicegah sejak dini. Misalnya dengan menghindari pernikahan antarpembawa sifat thalasemia.

“Caranya dengan melakukan tes darah atau pemeriksaan laboratorium skrining thalasemia bagi pasangan sebelum melangsungkan pernikahan,” kata dokter kelahiran Semarang, Jawa Tengah ini.

Selain memeriksa darah pasangan pra-nikah, pencegahan juga bisa dilakukan dengan rutin memeriksakan kehamilan. Sebab potensi thalasemia pada anak bisa dideteksi sejak dalam kandungan.

Sementara untuk anak-anak yang dilahirkan oleh orangtua pembawa sifat thalasemia, juga bisa dilakukan pencegahan dengan secepatnya melakukan perawatan. Meskipun secara teknis, penyakit thalasemia tidak bisa disembuhkan.

“Solusinya hanya melalui transfusi darah. Dan itu bisa berlangsung seumur hidup si pasien, karena memang penyakit ini belum ada obatnya,” kata dia.

Melihat beratnya risiko penyakit ini, Retno mengajak semua pihak untuk peduli dengan para penderita thalasemia. Dokter yang juga menjabat sebagai Seksi Pengabdian Masyarakat di Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Batam ini mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar sosialisasi program penjaringan orang tua asuh bagi penderita thalasemia.

Nantinya, IDAI akan menggelar gathering para penderita thalasemia sekaligus mengadakan acara donor darah. Selama acara donor darah itu pihaknya akan mencocokkan golongan darah penderita thalasemia dengan donor. Dan kemudian menawarkan kepada donor untuk menjadi orang tua asuh bagi penderita thalasemia. Targetnya, lima hingga 10 orang tua asuh bagi setiap pasien.

“Nantinya, di antara fungsi orang tua asuh ini sebagai donor tetap,” katanya.

Menurut Retno, sejauh ini pengetahuan masyarakat terhadap penyakit thalasemia masih sangat minim. Sehingga kepedulian kepada penderita penyakit ini juga masih begitu rendah.

Di antara sedikit kepedulian itu datang dari PT Astra International-Daihatsu Sales Operation (AI-DSO). Daihatsu bahkan telah mencanangkan gerakan Daihatsu Peduli Thalasemia ini sebagai gerakan atau program nasional mereka.

“Khususnya di Pulau Jawa, program ini sudah berlangsung cukup lama,” kata Manager HR & GA PT Astra International-Daihatsu Sales Operation Kepri, Yusmarlin, Rabu (27/12) lalu.

Pria yang karib disapa Pak Yus ini mengatakan, beberapa program peduli thalasemia ini antara lain kegiatan donor darah. Tahun ini, pihaknya sudah menggelar aksi donor darah untuk penderita thalasemia pada 26 September 2017.

Suasana aksi donor darah di gedung Daihatsu Sales Operation Batam, Selasa (26/9) lalu. Donor darah ini merupakan aksi dalam program Daihatsu Peduli Thalasemia. F. DSO untuk Batam Pos

Bertempat di Gedung Daihatsu Batam, kegiatan ini diikuti pula oleh sejumlah karyawan dari beberapa perusahaan Astra Grup yang ada di Batam. Yakni ACC, Astragraphia, dan Trac (Astra Rent Car) serta customer Daihatsu Batam yang bersedia mendonorkan darahnya

“Saat itu kami mengumpulkan 53 kantong darah. Sebenarnya yang daftar 84, tapi 31 failed karena alasan kesehatan,” katanya.

Selanjutnya, darah yang terkumpul itu akan disalurkan kepada para penderita thalasemia, atau Daihastu menyebutnya Pejuang Thalasemia, melalui Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Kota Batam.

Namun menurut Yus, semangat yang ingin ditebar dalam aksi donor darah ini bukan semata-mata ingin menyumbangkan darah kepada para penderita thalasemia. Melainkan pesan moral supaya penderita thalasemia tetap semangat menjalani hidupnya. Supaya asa mereka tetap terjaga meski hidup dengan penyakit yang belum ada obatnya.

“Sehingga sekantong darah itu bisa bermakna sejuta harapan atau asa bagi para penderita thalasemia,” kata Yus.

Pesan moral lainnya, kata Yus, supaya makin banyak masyarakat yang tergerak untuk peduli terhadap thalasemia. Baik kepada penderitanya secara langsung, maupun kepada proses edukasi dan pencegahannya supaya jumlah penderita penyakit kelainan darah ini tidak terus bertambah.

Sementara di tingkat nasional, kepedulian Astra Daihatsu terhadap penyakit ini ditunjukkan dengan sejumlah kegiatan lain. Selain aksi donor darah, ada juga program bantuan screening thalasemia, program fun day bersama keluarga thalasemia, program rumah singgah keluarga thalasemia, program UKM thalasemia, camp thalasemia, taman bacaan thalasemia, program donasi, dan program sosialisasi Aku Mengerti Thalasemia.

Kepedulian Daihatsu terhadap para pejuang thalasemia ini muncul karena jumlah penderita thalasemia di Indonesia setiap tahun terus meningkat. Karena itulah, AI-DSO sejak tahun 2011 memberikan perhatian khusus kepada para penderita penyakit kelainan darah ini sebagai salah satu bentuk corporate social responsibility (CSR) perseroan.

“Kita harus peduli karena hingga saat ini belum ada obat yang mampu menyembuhkan penyakit ini,” kata Yus.

Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, setiap tahun Astra International-Daihatsu Sales Operation (AI-DSO) pusat bekerja sama dengan Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI) melalui program bantuan screening thalasemia melakukan pemeriksaan darah gratis terhadap 1.000 orang. “Harapan Kami, semakin banyak masyarakat Indonesia yang semakin mengetahui mengenai thalasemia dan pada akhirnya mampu mengurangi jumlah kasusnya,” kata dia.

Khusus di Batam, jumlah kasus thalasemia sudah cukup menghkawatirkan. Menurut data Perhimpunam Orangtua Penderita Thalassemia Indonesia (POPTI) Batam, jumlah penderita thalasemia di Batam saat ini mencapai 34 orang. Namun jumlah yang sebenarnya diduga lebih banyak dari data yang ada.

“Karena kemungkinan masih banyak yang belum divonis dokter. Atau sudah positif thalasemia tetapi belum bergabung dengan POPTI,” kata Ketua POPTI Batam, Nini Shahruni, Jumat (29/12).

Nini mengaku sangat mengapresiasi perhatian Astra Daihatsu terhadap para pejuang thalasemia. Sayangnya, program Daihatsu Peduli Thalasemia ini belum sepenuhnya merata di seluruh Indonesia. Misalnya untuk program rumah singgah keluarga thalasemia, program UKM thalasemia, camp thalasemia, taman bacaan thalasemia, program donasi, dan program sosialisasi Aku Mengerti Thalasemia belum menyentuh para pejuang thalasemia di Batam.

Begitu juga dengan program screening. Sejauh ini kuota screening yang diberikan melalui Yayasan Thalasemia Indonesia (YTI) masih sangat terbatas karena harus dibagi untuk seluruh Indonesia. Padahal, kata Nini, screening thalasemia ini merupakan tahapan yang penting dalam rangka pencegahan thalasemia.

“Tapi kami tidak bisa melaksanakan secara massal karena biayanya mahal. Bisa sampai Rp 4 juta per orang,” kata Nini.

Karenanya, Nini berharap ke depannya akan semakin banyak pihak -baik swasta maupun dari pemerintah- yang mengikuti langkah peduli thalasemia seperti Astra Daihatsu. Sehingga perhatian dan kepedulian terhadap para pejuang thalasemia akan semakin besar pula.

Perhatian itu bisa beragam bentuknya. Mulai dari pendampingan, menjadi orang tua asuh, hingga beasiswa. “Karena anggota kami ini rata-rata dari keluarga miskin,” katanya.

Selain itu, kata Nini, penderita thalasemia umumnya merupakan anak-anak. Seperti di Batam sendiri, 34 penderita thalasemia berusia 2 sampai 21 tahun.

Sehingga selain pencegahan, semua pihak harus sama-sama menunjukkan kepedulian terhadap para pejuang thalasemia ini. Agar mereka tetap semangat menjalani hidup, bersosialisasi, belajar, dan mewujudkan cita-cita mereka.

“Sebab seperti anak-anak lainnya, mereka adalah generasi bangsa yang memiliki segudang cita-cita. Adalah tugas kita bersama untuk memastikan asa mereka tetap menyala dan terjaga,” ujar Nini. (Suparman)

Update