Jumat, 26 April 2024

Ujaran Kebencian dan Hoax yang Makin Merajalela Sulit Hilang karena Jadi Uang

Berita Terkait

ilustrasi

batampos.co.id – Teknologi informasi membawa efek samping. Kemudahan penyebaran berita ternyata membuat berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian ikut merajalela. Bak penyakit menular yang menjadi epidemi.

BABY Asel dianggap istimewa. Dia adalah bayi pertama di Wina, Austria, yang lahir pada 1 Januari 2018 pukul 00.47. Beberapa media lokal memberitakannya. Bukannya ucapan selamat, justru lontaran ujaran kebencian yang didapat orang tua Asel. Mulai harapan agar keluarga tersebut dideportasi hingga agar Asel mati saja.

”Ini adalah dimensi baru dari kebencian di dunia maya. Yaitu, menyasar bayi baru lahir yang tidak berdosa,” ujar Klaus Schwertner dari lembaga amal Caritas di Wina.

Penyebab kebencian tersebut satu. Ibu Asel mengenakan jilbab yang menandakan bahwa dia seorang muslim. Xenophobia dan sentimen antimuslim di Austria dan negara-negara Eropa lainnya memang terus merangkak naik sejak arus pengungsi mengalir ke benua biru tersebut.

Sebagian besar pengungsi berasal Syria, Iraq, dan Afghanistan. Tingginya serangan militan Islamic State (IS) alias ISIS ikut memperkuat kebencian itu. Peningkatan ujaran kebencian juga berbanding lurus dengan kasus kejahatan atas dasar kebencian. Mereka yang tidak puas hanya dengan mencaci secara online memilih melakukan penyerangan di dunia nyata.

Demi menangkal ujaran kebencian itu, United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) dan Uni Eropa (UE) menggelar simposium di Kairo 13 Desember lalu. Simposium tersebut dihadiri berbagai perwakilan lembaga internasional, jurnalis, akademisi, dan berbagai tokoh lainnya.

Kepala UNAOC Nassir Abdulaziz Al Nasser mengungkapkan bahwa simpati para pengungsi sama tingginya dengan tingkat xenophobia yang diarahkan ke mereka.

”Media sosial menjadi platform yang terbuka lebar untuk ujaran kebencian serta memfasilitasi penyebaran ide dan narasi negatif dengan cepat di dunia maya,” tegasnya.

Maraknya penggunaan media sosial memang membuat orang dengan mudah meluapkan kebenciannya di dunia maya. Berbeda dengan di dunia nyata yang masih ada rasa malu atau segan, di dunia maya orang bebas menjadi ”orang lain”. Menjadi pribadi yang berbeda. Alter ego. Sosok yang tersembunyi.

Negara-negara anggota UE serta perusahaan sosial media berusaha keras agar ujaran kebencian bisa ditekan. Berbagai alat baru digunakan Twitter, Facebook, WhatsApp, dan berbagai aplikasi media sosial lainnya untuk menekan ujaran kebencian.

Pada 1 Januari, UU anti ujaran kebencian juga mulai diterapkan di Jerman. Media sosial diminta memblokir akun-akun yang menyebarkan kebencian. Data tentang akun yang diblokir atau unggahan yang dihapus akan dirilis setelah UU itu berjalan selama enam bulan.

Namun, sebelum UU itu diterapkan, The Guardian melansir bahwa per bulan Facebook sudah menghapus 15 ribu konten yang dinilai melanggar aturan.

Dalam hitungan hari, akun milik Wakil Ketua Partai Alternative for Germany (AfD) Von Storch langsung menjadi korban penutupan. Anggota parlemen yang seharusnya menjadi contoh masyarakat itu malah melontarkan ujaran kebencian kepada umat Islam hanya gara-gara kepolisian Kota Koeln menulis ucapan selamat tahun baru dengan berbagai bahasa. Termasuk bahasa Arab.

Di akun Twitter-nya, Storch menyebut pria muslim adalah barbar yang senang memerkosa ramai-ramai. Akun Twitter dan Facebook-nya akhirnya diblokir.

Ujaran kebencian memang sulit dihentikan. Sebab, partai-partai dengan paham ekstrem, politikus, dan para pendukungnya getol menggunakan medsos untuk menyebarkan pesan-pesan berbau rasisme dan intoleransi. Storch hanyalah salah satu contoh kecil.

Tak semua senang dengan usaha Jerman meloloskan UU anti ujaran kebencian itu. Beberapa menganggap UU hal tersebut sebagai alat untuk membungkam oposisi. Mereka tidak bisa lagi nyinyir ke pemerintah dan jajarannya. Akun Twitter majalah satire The Titanic yang memarodikan pernyataan Storch ikut diblokir.

”Perusahaan swasta berbasis di AS memiliki kuasa untuk memutuskan batas-batas kebebasan pers dan opini di Jerman,” ujar Pemimpin Asosiasi Jurnalis Jerman (DVJ) Frank Ueberall menanggapi pemblokiran akun The Titanic.

Kanada yang menjadi surga para imigran dan pengungsi mengalami hal serupa. Perusahaan marketing media Cision mengungkapkan bahwa terdapat kenaikan ujaran kebencian dan intoleransi 600 persen pada November 2015–November 2016.

Tagar #banmuslims, #whitegenocide, dan #whitepower kerap dipakai di media sosial. Hingga saat ini pemerintah Kanada belum memiliki rencana untuk menerapkan UU yang sama dengan Jerman.

Ibarat virus yang telanjur menyebar luas, ujaran kebencian dan berita bohong alias hoax susah dihilangkan. Sebab, banyak pihak yang meraih keuntungan dengan menyebarkan unggahan-unggahan berbau negatif itu.

CEO AppNexus Brian O’Kelley mengakui, ujaran kebencian dan hoax menyebar dengan begitu cepat beberapa bulan belakangan ini. Akun-akun yang bertujuan menggali keuntungan memanfaatkan kebencian yang menguar di masyarakat untuk menghasilkan uang.

Setiap kali ada orang yang membuka akun tersebut, si pemilik akan mendapatkan penghasilan dari iklan yang menyertai unggahannya. Headline berita di situs abal-abal bakal dibuat sangat dramatis.

”Penelitian menunjukkan bahwa konten yang paling sering diklik dan dibagikan adalah yang menggerakkan emosi pembaca,” terang O’Kelley seperti dilansir Forbes. (sha/c10/dos)

Update