batampos.co.id – Industri di Batam punya potensi besar untuk terus tumbuh. Asalkan pemerintah mau membenahi berbagai peraturan yang tumpang tindih, terutama regulasi terkait ketentuan impor bahan baku industri.
Wakil Ketua Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri Tjaw Hoeing mengatakan, di antara regulasi yang menghambat sektor industri adalah banyaknya turan tentang impor barang modal, bahan baku, dan bahan penolong untuk industri ke Batam. Padahal saat ini Batam berstatus sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free trade zone/FTZ).
“Harusnya (impor bahan baku) itu dibebaskan,” kata Tjaw Hoeing, Rabu (10/1).
Pria yang akrab disapa Ayung ini mengatakan, saat ini juga banyak aturan dan regulasi yang tumpang tindih dan kontraproduktif. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 36 Tahun 2000 pasal 1 sudah jelas disebutkan, kawasan FTZ diberikan kebebasan atau pengecualian untuk impor bahan baku industri.
“Selama digunakan untuk aktivitas produksi dan tidak diperjualbelikan. Tetapi kenyataannya berbeda dengan adanya beberapa peraturan lainnya,” katanya.
Ayung mengatakan, ada beberapa peraturan yang kemudian tidak sejalan dengan Perppu tersebut. Misalnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125 Tahun 2015 tentang Impor Produk Kehutanan. Lalu Permendag 125 Tahun 2015 tentang Impor Garam Industri.
Lalu ada Permendag Nomor 84 Tahun 2015 mengenai Impor Barang Berbasis Sistem Pendinginan dan Permendag Nomor 127 Tahun 2015 Tentang Impor Barang Modal yang Memerlukan Laporan Survei di Negara Asal dan Pemeriksaan Fisik.
Dari sejumlah peraturan tersebut, timbul dua permasalahan pokok bagi industri di Batam. Yakni pengusaha yang akan mengimpor bahan baku industri tertentu harus mengurus izin dan rekomendasi dari kementerian terkait. Selain memakan waktu, proses perizinan ini juga memakan biaya tambahan.
Dalam hal ini industri akan dirugikan dari segi waktu dan biaya. Misalnya impor bahan baku berupa garam industri. Pengusaha harus mengurus izin dan rekomendasinya ke kementerian terkait di Jakarta.
“Makanya kami berharap sebaiknya kewenangan itu dilimpahkan ke Badan Pengusahaan (BP) Batam saja,” kata Ayung.
Persoalan kedua adalah terkait laporan survei setiap pengiriman barang yang dikeluarkan oleh pihak terkait di Jakarta juga membutuhkan waktu lama.
“Bisa sampai dua minggu dan biayanya cukup mahal. Tanpa laporan survei, barang tidak bisa masuk ke Batam,” paparnya.
Ia meminta agar pemerintah pusat bisa menciptakan kepastian berusaha dan iklim investasi yang menarik serta kondusif seharusnya hal-hal seperti harus dikecualikan.
Namun begitu, Ayung menyebut ada beberapa aturan yang sudah sejalan dengan semangat FTZ Batam. Misalnya Permendag Nomor 82 Tahun 2001 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunannya.
“Permendag itu sudah cukup mengakomodasi yakni ada di pasal 21 sudah berikan pengecualian di Kawasan Perdagangan Bebas serta penimbunan berikat,” jelasnya.
Pembenahan secara regulasi mutlak diperlukan mengingat berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), kinerjka neraca perdagangan Kepri berdasarkan aktivitas ekspor impor masih mencatatkan surplus, namun cenderung menurun.
“Apabila diurai lebih dalam, terlihat bahwa surplusnya lebih banyak disumbang dari sektor migas yang kontribusinya mulai shifting dengan sektor non-migas,” kata Kepala BI Perwakilan Kepri, Gusti Raizal Eka Putra.
Dari sisi domestik, kinerja ekspor impor dari tahun 2011 hingga 2012 menunjukkan peningkatan, namun sejak tahun 2012 mengalami penurunan sampai tahun 2014. Dan bahkan mengalami defisit sejak tahun 2015.
Sebelumnya, Kepala BP Batam Lukita Dinarsyah Tuwo mengatakan, pihaknya akan terus memperkuat status FTZ di Batam sebelum beralih menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Penguatan status FTZ Batam ini salah satunya dengan menambah fasilitas dan kemudahan di kawasan FTZ Batam. Di antaranya dengan memberlakukan tata niaga sesuai dengan status Batam sebagai kawasan perdagangan bebas.
“Karena industri di sini hasilnya diekspor,” ungkap Lukita, Senin (8/1) lalu.
Selain itu, BP Batam akan mengevaluasi sejumlah aturan yang selama ini dinilai menghambat pelaksanaan FTZ di Batam.
Menurut Lukita, karakteristik FTZ seharusnya mempermudah kegiatan ekspor impor. Makanya segala peraturan dari pemerintah pusat yang dianggap kurang efisien diupayakan untuk segera diambil-alih atau dilimpahkan ke BP Batam saja.
Salah satu contoh kebijakan yang harus segera diterapkan di Batam untuk memperkuat FTZ adalah kebijakan Free Trade Agreement (FTA). Hingga saat ini dari dua peraturan yang mesti direvisi untuk mewujudkan FTA, dan baru satu yang diubah yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 47/2012 menjadi PMK 120/2017 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang di Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam.
“FTA kalau tak salah ada di Kemenkeu lewat PMK. Kami menunggu saja undangannya. Kalau perlu kami yang akan ambil inisiatif kapan Batam bisa masuk ke FTA,” tegas Lukita.
Dan satu lagi kebijakan yang dianggap tidak relevan diberlakukan di Batam adalah pemberlakuan daftar barang yang masuk larangan terbatas (lartas). Lukita menganggap kebijakan ini tidak cocok diberlakukan di Batam dan sudah seharusnya dihapus. (leo)