Kamis, 28 Maret 2024

Kasus e-KTP Kian Panas

Setya Novanto Ajukan Diri sebagai Justice Collaborator

Berita Terkait

batampos.co.id – Skandal korupsi e-KTP diprediksi akan semakin memanas. Ini setelah terdakwa kasus tersebut, Setya Novanto, mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika dikabulkan, JC itu membuka peluang Novanto untuk menyeret tokoh-tokoh besar lain.

Penasihat hukum (PH) Novanto, Firman Wijaya, membenarkan kliennya telah mengajukan diri sebagai JC dalam kasus e-KTP. Hanya, tidak jelas pihak mana yang akan diungkap oleh Novanto bila JC itu dikabulkan pimpinan KPK.

”Intinya kami mencari keadilan, nanti bergantung beliau (Novanto, red) siapa yang mau diungkap,” ujar Firman, Kamis (11/1).

Firman menerangkan, pengajuan diri sebagai JC ini mengisyaratkan ada pihak lain yang perannya lebih besar dalam kasus korupsi e-KTP. Namun sekali lagi Firman enggan membeber lebih lanjut.

Terpisah, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pihaknya sudah menerima surat permintaan JC yang diajukan Novanto. Namun, lembaganya tidak langsung menyetujuinya. KPK akan melihat apa yang akan diungkap dalam kasus tersebut. Jika ingin mendapat status JC tentu dia harus mengungkap sesuatu yang lebih besar.

Menurut dia, orang yang ingin mendapatkan JC juga harus konsisten dalam memberikan keterangan. Baik di luar maupun saat dalam persidangan. Jangan sampai di luar menyatakan akan membuka kertelibataan pihak lain, tapi ketika di dalam persidangan tidak mau membuka. “Akan kami kaji dan teliti terlebih dahulu,” ucapnya di komplek parlemen, Senayan kemarin.

Sementara Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, jika seseorang dikabulkan sebagai JC konsep normanya secara umum akan dikurangi ancaman hukumannya. Seperti diketahui, Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek e-KTP.

Setya Novanto didakwa pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Pasal 2 pasal 3 ini ancaman hukumannya seumur hidup jadi sangat tinggi. Saya kira kalau dikabulkan JC contohnya Andi Agustinus kemarin dituntut 8 tahun penjara. Itu mungkin jadi pertimbangan juga mengajukan JC,” kata Febri.

Samarkan Transaksi Lewat Money Changer

Sementara sidang lanjutan Setya Novanto yang digelar kemarin mengurai benang kusut aliran uang 7,3 juta dolar AS yang diduga diterima mantan ketua umum Partai Golkar tersebut. Jaksa menghadirkan empat orang saksi yang ditengarai terlibat langsung dalam transaksi uang korupsi e-KTP itu.

Mereka adalah manager marketing PT Inti Valuta Money Changer Panglima Polim Riswan alias Iwan Barala, komisaris PT Berkah Langgeng Abadi Juli Hira, pegawai PT Berkah Langgeng Abadi Nunuy Kurniasih, dan karyawan PT Sharp Indonesia Muda Ihsan Harahap. Melalui mereka, penyamaran transaksi sebagian uang diduga korupsi e-KTP (dari total 7,3 juta dolar AS) terungkap.

Misal yang disampaikan Iwan. Dia mengaku pernah melakukan transaksi jual beli dolar dengan keponakan Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo pada rentang waktu Januari-Februari 2012 silam. Jumlanya 2,62 juta dolar AS. Transaksi yang dilakukan menggunakan modus barter dolar melalui money changer milik Juli Hira di Singapura.

”Dia (Irvanto) cerita ada dolar di luar negeri. Dia (Irvanto) mau tukar tapi dia nggak mau terima rupiah di Indonesia. Dia mau terima dollar di Jakarta. Itu namanya barter. Biasa itu,” ungkap Iwan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (11/1).

Keterangan Iwan itu merupakan fakta baru dalam skandal korupsi e-KTP yang melibatkan Novanto.

Iwan bukan pihak yang melakukan barter dolar secara langsung. Tanpa sepengetahuan Irvanto, dia meminta bantuan Juli Hira yang memiliki perusahaan money changer di Singapura di bawah naungan PT Berkah Langgeng Abadi. ”Saya bilang (ke Juli) nasabah saya ada yang mau tukar dolar,” ujar Iwan yang baru pertama kali bersaksi di pengadilan tersebut.

Sebagaimana diwartakan, berdasar surat dakwaan JPU KPK, rekanan proyek e-KTP, yakni Paulus Tannos, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Johannes Marliem menyepakati bagian fee, yaitu sebesar 3,5 juta dolar AS untuk Novanto. Jatah itu akan direalisasikan oleh Anang selaku Dirut PT Quadra Solution.

Nah, karena waktu itu Anang belum bisa mencairkan uang dari perusahaannya, uang untuk Novanto lantas diambilkan dari bagian pembayaran PT Quadra Solution melalui perusahaan Biomorf Mauritius dan PT Biomorf Lone Indonesia.

Berdasar pemeriksaan saksi kemarin, terungkap bahwa dana sebesar 2,62 juta dolar AS yang menjadi objek barter dolar yang disepakati Iwan dan Irvanto bersumber dari Biomorf Mauritius yang berkantor di negara Mauritius, Afrika. Transaksi uang dilakukan dari negara kepulauan itu ke Singapura lewat salah satu rekening money changer Juli. ”Saya nggak punya jalur ke Singapura,” tutur Iwan.

Meski demikian, Iwan maupun Juli serta Nunuy mengaku tidak tahu menahu bila uang tersebut berkaitan dengan korupsi berjamaah e-KTP. Mereka mengaku, barter dolar yang dilakukan murni kegiatan perdagangan.

Uang-uang itu secara bertahap diserahkan Juli ke Iwan. Berikutnya, Iwan menyerahkan uang tersebut tiga kali secara tunai ke Irvanto melalui orang suruhan. Selain memanfaatkan jasa money changer, Irvanto juga meminta Ikhsan Muda Harahap untuk menjadi kurir pengambilan uang dari Singapura untuk kemudian dibawa ke Jakarta. (tyo/lum/jpg)

Update