Rabu, 24 April 2024

Perselingkuhan dan Ekonomi Penyebab Utama Perceraian

Berita Terkait

ilustrasi

batampos.co.id – Kasus perceraian di Batam tetap tinggi setiap tahunnya. Mirisnya, gugatan cerai itu banyak diajukan pihak istri yang rata-rata masih usia produktif. Tingginya kasus perceraian ini melahirkan ribuan janda muda di Batam, setiap tahunnya.

Ruang tunggu Pengadilan Agama Kelas IB Batam di Sekupang, mulai ramai pukul 09.00 WIB, Kamis (18/1). Mereka duduk di kursi panjang sembari menunggu jadwal sidang perceraian.

Hari itu, ada 21 agenda sidang. Sebelas gugatan perceraian itu diajukan pihak perempuan. Sementara sepuluh lainnya pihak laki-laki. Beberapa sidang baru pertama kali digelar dan lainnya beragendakan sidang putusan.

Dari pengeras suara terdengar suara panggilan. Pasangan yang mengajukan cerai itu kemudian satu per satu memasuki ruang sidang dua. Letaknya di kanan ruang sidang utama. Tidak sampai 30 menit, putusan pengadilan keluar dan mengesahkan perceraian itu. Lahirlah satu janda dan duda.

Salah satu wanita yang terpaksa merasakan duduk di kursi Pengadilan Agama Batam adalah, SN, yang berumur 37. Warga Batuaji ini mengajukan gugatan cerai dengan alasan suaminya sudah tidak memberikan nafkah untuk keluarganya.

“Dia jarang kasih uang, selain itu dia juga sering main tangan,” kata dia.

Tak hanya SN, wanita lainnya JS juga memutuskan bercerai dari suaminya. JS masih sangat muda ketika menikah. Umurnya baru 17 tahun. Ia kini sudah dikaruniai seorang anak, RD, yang baru berusia 1,5 tahun. Namun ia terpaksa menggugat cerai suaminya saat usia perkawinannya baru genap dua tahun.

“Niat saya sudah bulat untuk bercerai,” ujarnya.

JS pun resmi menyandang status janda pada usia 19 tahun. Usia yang masih sangat muda. Penyebab ia menggugat cerai sang suami karena adanya pihak ketiga. “Ini sidang kedua, tapi suami saya tidak datang,” bebernya.

Kasus dua wanita itu hanya sedikit dari banyaknya kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Agama Batam. Sepanjang 2017 lalu, jumlah perkara cerai talak dan cerai gugat yang diterima Pengadilan Agama sebanyak 1.686 perkara. Masing-masing 480 perkara cerai talak dan 1.206 perkara cerai gugat. Cerai talak diajukan pihak suami. Sementara cerai gugat diajukan pihak istri.

Dikutip dari Hukum Online, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, kasus perceraiannya harus tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI.

Sedangkan cerai karena talak dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yang berbunyi, “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.”

Maksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Kantor Pengadilan Agama di Sekupang. F. Dalil Harahap/Batam Pos

Bila melihat jumlah perkara cerai gugat sepanjang 2017, terlihat pihak wanita paling dominan mengajukan perkara cerai. Mencapai 63,3 persen dari seluruh jenis perkara yang diterima Pengadilan Agama Batam. Sementara perkara cerai talak 25,3 persen dari seluruh jenis perkara.

Jenis perkara lainnya yang diterima Pengadilan Agama Batam antara lain dispensasi nikah, izin poligami, pembatalan perkawinan, dan asal usul anak.

“Kasus cerai memang paling banyak diajukan istri. Sebanyak 80 persen istri yang menggugat. Sisanya baru suami,” kata Mukhlis, Hakim PA Batam.

Jumlah perkara yang diputus Pengadilan Agama Batam selama tahun 2017 sebanyak 1.701. Rinciannya, cerai talak 478 perkara dan cerai gugat 1.223 perkara.

Tidak semua perkara itu berakhir dengan perceraian. Ada beberapa jenis putusan dalam perkara cerai. Mulai dari cabut perkara, dikabulkan, tidak diterima, ditolak, gugur, dan dicoret. Namun sebagian besar berakhir dengan putusan dikabulkan atau cerai.

Masih dari data Pengadilan Agama Batam, perkara cerai yang dikabulkan sebanyak 1.413 perkara. Rinciannya, 398 cerai talak dan 1.015 cerai gugat. Artinya, selama 2017 saja, ada 1.413 janda dan 1.413 duda baru di Batam.

Sementara perkara yang dicabut ada 42 perkara cerai talak dan 135 perkara cerai gugat. Jauh lebih sedikit perkawinan yang diselamatkan daripada lahirnya status janda dan duda. Angka ini hanya menurun sedikit dari tahun-tahun sebelumnya.

Tiap tahun, rata-rata Kantor Pengadilan Agama Batam memutus cerai 1.700 pasangan. Jika menilik angka perceraian dalam lima tahun terakhir, kasus perceraian yang terjadi di Batam memang tak jauh dari angka tersebut. Sepanjang tahun 2013 ada 1.676 kasus pengajuan cerai, baik cerai talak maupun gugat.

Lalu tahun 2014, dari 1.768 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, sebanyak 1.243 di antaranya merupakan gugatan pihak istri. Sedangkan 2015 tercatat 1.640 kasus, dan pada 2016 jumlahnya meningkat menjadi 1.910 kasus.

Hakim PA Batam, Mukhlis, mengatakan kasus cerai terutama diajukan pasangan usia produktif, yakni antara 20 tahun-40 tahun. Hanya saja, jumlah atau presentasenya ia tidak tahu persis.

“Kalau berdasarkan BKKBN itu kan usia muda itu ya usia produktif. Masih bisa reproduksi,” jelasnya.

Petugas Pusat Pelayanan Informasi PA Batam, Ahmad Nabawi juga menegaskan demikian. Menurut dia, perkara cerai ini banyak yang terjadi pada usia muda atau produktif. Persentasenya mencapai 40 persen. Baik perkara cerai talak maupun cerai gugat. “Sekitar 40 persen berusia rata-rata 30 tahun,” sebutnya.

Adapun penyebab cerai talak ataupun cerai gugat bermacam-macam. Namun penyebab utamanya faktor ekonomi. Kemudian ada pria idaman lain (PIL) atau wanita idaman lain (WIL). Selebihnya karena adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Alasan cerai ini diungkapkan dalam berkas perkara maupun pada saat sidang.

“Dalam berkas gugatan disebutkan nama penggugat, tergugat, kemudian alasan cerai, dan lain-lain,” ungkapnya.

Pengadilan Agama Batam sendiri memberikan kesempatan kepada pasangan suami-istri ini untuk mempertimbangkan gugatannya. Ada beberapa tahap sebelum putusan cerai. Pengadilan tidak serta-merta mengabulkan permintaan cerai yang diajukan baik oleh si wanita ataupun pria.

Prosedur dan proses berperkara di Pengadilan Agama Batam dimulai dengan pendaftaran berkas perkara. Dalam surat permohonan atau gugatan tertulis tersebut diuraikan alasan-alasan perceraian.

Namun sebelum memasuki proses sidang, ada namanya proses mediasi. Mediasi ini bertujuan mencegah perceraian dan menyatukan kembali melalui beberapa nasihat dan pandangan, terutama bagi mereka yang telah memiliki anak. Kedua pihak diberi kesempatan melakukan mediasi selama 30 hari. Mediator dari Pengadilan Agama akan mengatur jumlah pertemuan.

“Kalau mediasi berhasil, gugatan dicabut. Kalau tidak berhasil ya masuk ke persidangan dan pembacaan materi perkara,” jelas Mukhlis.

ilustrasi

Dalam tahap persidangan, Pengadilan Agama akan memanggil para pihak yang berperkara untuk mendengarkan alasan cerai dan jawaban termohon. Persidangan bisa beberapa kali sebelum sampai pada putusan. Paling lama enam bulan. Setelah itu, majelis hakim menyampaikan keputusannya. Apakah permohonan dikabulkan, tidak diterima, atau ditolak.

Jumlah kasus cerai di PA Batam itu belum termasuk kasus cerai untuk non muslim yang prosesnya ditangani Pengadilan Negeri (PN) Batam. Humas II PN Batam, Taufik Abdul Halim menyebutkan dari data yang dihimpun, pada 2015 ada 100 perkara yang masuk dan diputus 134 perkara.

“Kelebihan 34 perkara itu merupakan perkara yang masuk di akhir 2014 tapi baru divonis di 2015,” ujarnya.

Sedangkan di 2016 dan 2017, terjadi peningkatan. Pada 2016 perkara yang masuk ke PN Batam ada 134 dan telah jatuh vonis 132 perkara. Di 2017, masuk 155 perkara dan sudah vonis 139 perkara.

Peningkatan perkara perceraian ini diakui Taufik juga dipicu kondisi ekonomi yang membuat ketidakharmonisan pasangan. “Penggugat baik dari perempuan atau laki-laki sama banyak. Umumnya karena ekonomi penyebabnya,” jelas Taufik.

Rentang usia diakui Taufik juga rata-rata usia produktif. Berkisar antara 30-45 tahun. “Ada juga yang tua, tapi hanya satu dua saja,” tuturnya.

Taufik juga mengungkapkan pasangan yang mengajukan perceraian di PN Batam umumnya sudah memiliki anak. Sehingga tak jarang permasalahan pasangan tersebut berlanjut ke perebutan hak asuh anak dan perhitungan pembagian harta.

“Jadi perkara yang masuk rata-rata sudah genting. Sangat-sangat susah untuk didamaikan. Walaupun kami sudah memediasi,” paparnya.

Taufik yang juga kerap menyidangkan kasus perceraian di PN Batam mengaku, para penggugat ataupun yang digugat umumnya dari kalangan berpendidikan. Rata-rata tamatan SLTA ke atas.

Proses perceraian di PN Batam diakui Taufik tidak ribet. Persyaratan standar sesuai yang diatur dalam UU Perkawinan dan regulasi turunan lainnya.

“Biaya juga semua sesuai aturan. Misal untuk yang tinggal di Batam bisa dari Rp 400 ribu hingga Rp 800 ribuan,” sebutnya.

Terkait faktor ekonomi, kebanyakan pasangan suami-istri memutuskan bercerai karena sang suami menganggur sehingga si istri merasa tidak dinafkahi. Meski begitu, ada juga yang cerai karena suami berpendapatan rendah. Kebutuhan si istri tidak terpenuhi sehingga mengajukan gugatan cerai.

Psikolog Fetty mengatakan, masalah ekonomi memang kerap menjadi faktor utama penyebab perceraian. Banyaknya tuntutan yang sudah mulai tidak terpenuhi atau berangsur-angsur berkurang dari biasanya menjadi pemicu perceraian.

“Kebutuhan tidak terpenuhi seperti biasanya, sehingga memicu perselisihan, kekerasan dalam rumah tangga dan berujung pada gugatan cerai,” kata Fetty.

Dia menambahkan, lesunya perekonomian di Batam turut mendorong meningkatnya pengajuan gugatan cerai. Banyak pasangan saat ekonomi Batam tumbuh pesat, hidup serba ada. Apapun yang mau dibeli, bisa dibeli dengan mudah karena uang selalu ada.

Begitu ekonomi Batam terpuruk, banyak pasangan yang ekonominya terdampak. Mulai dari usahanya bangkrut, pendapatan berkurangan, hingga kehilangan pekerjaan. Sementara gaya hidup tetap tinggi. Ketidaksiapan menghadapi kondisi ini mendorong pasangan memutuskan bercerai.

Faktor lain seperti orang ketiga juga memang menjadi “penghancur” rumah tangga seseorang. Orang ketiga ini bisa diawali dari istri maupun dari suami. Godaan di luar rumah yang begitu besar, banyak membuat pasangan akirnya mengorbankan bahtera rumah tangganya.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Batam Erizal Abdullah memaparkan, berdasarkan laporan yang ia terima, penyebab perceraian memang sangat beragam dengan faktor ekonomi menjadi penyebab utama.

ilustrasi

Selain itu, kehadiran orang ketiga dalam sebuah rumah tangga, juga kadang dipicu dari kebiasaan chatting di media sosial. Di sana suami atau istri berpotensi bertemu dengan orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya. Bisa jadi diawali chatting biasa, lalu kopi darat, yang berujung hubungan kian akrab.

“CLBK, cinta lama bersemi kembali. Ini harus diwaspadai juga di era digital ini,” ujarnya.

Bukan hanya CLBK, peselingkuhan yang berujung perceraian juga banyak diawali dengan sekadar saling sapa dan kenalan di media sosial. Kemudian saling puji, lalu kopi darat. Apalagi saat ini banyak aplikasi di dunia maya yang memungkinkan bertemu dengan berbagai orang yang ujung-ujungnya mengarah ke perselingkuhan.

“Teknologi memang tak bisa dilawan. Tapi kita yang harus cerdas menggunakan teknologi. Jangan sampai jadi bencana dalam rumah tangga,” katanya.

Sementara itu, psikolog yang juga komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kepri, Mahmud Syaltut, menilai perceraian berdampak buruk pada anak-anak dari pasangan yang bercerai. Anak tak hanya menjadi rebutan untuk hak asuh, juga berdampak pada tumbuh kembang dan psikologi anak.

“Yang pasti kasih sayang dari kedua orangtuanya tak penuh karena keduanya sudah berpisah dan tinggal di salah satu orangtuanya,” kata Syaltut, Jumat (19/1).

Efek yang paling merugikan bagi anak-anak yang orangtuanya bercerai adalah mencari perhatian atau kasih sayang di luar rumah. Tak jarang salah pilih, sehingga terjerumus pada pergaulan negatif.

“Angka anak-anak yang broken home juga termasuk tinggi di Batam, salah satu penyebabnya juga karena perceraian orangtuanya,” ungkap Syaltut.

Ia berharap, orangtua benar-benar memikirkan jauh ke depan nasib anak-anaknya, sebelum mengambil keputusan untuk bercerai. Anak-anak biasanya menjadi perekat rumah tangga, sehingga bisa menjadi penyelamat sebuah rumah tangga yang dilanda prahara.

Segala persoalan yang mengguncang keharmonisan rumah tangga, sebaiknya dicarikan solusi terbaik tanpa mengorbankan anak. Kalaupun keputusan akhir harus bercerai, sebaiknya kedua orangtua tetap memiliki komitmen memberi perhatian penuh pada anak-anak mereka pasca bercerai. Sebab, apapun yang terjadi, seorang anak tetap berhak mendapat kasih sayang dan nafkah dari orangtuanya. (gie/nur)

Update