Jumat, 26 April 2024

Harga Pertamax, Pertamax Turbo, dan Pertamina Dex, Naik, DPR Protes

Berita Terkait

Operator SPBU simpang Kabil mengisi bahan bakar Pertamax ke dalam tanki mobil
Foto: Dalil Harahap/Batam Pos

batampos.co.id – Kenaikan harga bahan bakar minyak non subsidi jenis Pertamax, Pertamax Turbo, dan Pertamina Dex secara diam-diam, Sabtu (24/2) lalu terus menuai kecaman publik, khususnya parlemen Senayan.

Menurut Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, seharusnya Pertamina mengumumkannya melalui melalui media, dan jangan hanya melalui website Pertamina. Hal ini untuk menjamin hak konsumen agar tidak terkesan Pertamina sebagai perusahaan plat merah semena-mena menaikkan harga.

“Meski dalam Perpres 191/2014 kenaikan bahan bakar non subsidi atau JBU sesuai harga pasar, tetap saja Pertamina harus menginformasikan secara luas kepada masyarakat karena itu menyangkut hak konsumen. Sehingga ada transparansi apa dasarnya,” kata Jazuli kepada INDOPOS, Senin (26/2).

Ia menegaskan, setiap kenaikan harga terutama BBM jelas memberatkan masyarakat dan bisa berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat.

“Dan pastinya berpotensi inflasi yang tinggi. Untuk itu, jangan sampai ada kebijakan Pertamina semena-mena atau diam-diam menaikkan harga,” tegasnya.

Dirinya juga meminta pemerintah tidak selalu berserah diri dengan kenaikan harga minyak dunia. Karena itu, katanya, perlu ada terobosan.

“Apa antisipasi Pemerintah, itu yang akan kita tuntut di DPR. Jangan pula hal ini dianggap remeh dan sederhana,” tegas Jazuli.

Apalagi, lanjutnya, ternyata ini adalah kenaikan ketiga kalinya selama 2018 untuk jenis Pertamax, Pertamax Turbo, dan Pertamina Dex. Sehingga Wajar saja jika masyarakat konsumen kaget dan protes.

“Makanya saya usul setiap kenaikan diumumkan melalui media publik agar jelas dan transparan. Jangan setelah ramai baru dijelaskan melalui media,” pungkas Jazuli.

Sementara, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Mulyadi juga turut mengkritik kenaikan Pertama Cs untuk ketiga kalinya itu yang mendadak.

Menurutnya, hal ini seharusnya tidak tepat dilaksanakan di tengah kesulitan ekonomi masyarakat.

“Meski non subsidi, namun konsumennya juga banyak dari kalangan menegah. Apalagi di situasi yang sekarang ini daya beli masyarakat masih rendah,” ucapnya kepada INDOPOS.

Meski begitu, dirinya menjelaskan bahwa ada jalan keluar yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk mencegah kenaikan harga BBM terus berulang cuma karena harus mengikuti harga pasaran dunia.

“Yakni bagaimana ke depan harus ditata ulang polanya. Harus dipisahkan antara perusahaan yang bertugas dalam mengamankan harga BBM dan yang murni dalam bersaing yang selama ini tugas itu dibebankan oleh Pertamina,” ujarnya.

Hal itu, ujar Mulyadi, bisa diatur di dalam revisi UU Migas yang saat ini pembahasannya sedang mandeg.

“Ini Pemerintah terkesan tak mau melanjutkan pembahasan ini. Jangan sampai RUU Migas ini menjadi statusquo,” cetusnya.

Menurutnya, dengan dibebani dua tugas itu, maka membuat Pertamina sulit berkembang dan bersaing dengan perusahaan Migas global.

“Ini kan harga minyak dunia naik. Namun, yang dipaksakan untuk naik pada akhirnya yang non subsidi, karena kalau naikan yang subsidi pasti akan jadi gejolak di masyarakat,” ujarnya.

Namun hal ini menurut Mulyadi, pasti akan membuat Pertamina sulit berkembang terutama bersaing dengan Petronas maupun Shell. Ini karena keuntungannya untuk nutupi subsidi.

“Ibaratnya, uang yang masuk cuma berpindah dari kantong kanan dan keluar kantong kiri,” imbuhnya.

Atas dasar itu, kata politisi Partai Demokrat ini, harus ada perusahaan lain yang fokus dalam menangani subsidi BBM.

“Karena jika berkembang, justru akan membawa keuntungan yang lebih untuk negara,” ujarnya.

Sehingga, lanjutnya, harus ada perusahaan yang tugasnya untuk memikirkan subsidi dengan pemerintah.

Bisa saja perusahaan tersebut di bawah Pertamina atau anak perusahaan Pertamina. Pertamina jangan mencampuradukkan dua tugas ini.

“Pertanggungjawaban keuangan korporasinya harus dipisah. Komisi VII DPR menginginkan Pertamina dapat bersaing dalam skala global,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, Pertamina secara resmi menaikkan harga sejumlah bahan bakar non subsidi naik, Sabtu (24/2).

Tak Harus Izin DPR

Terpisah, Direktur Hilir Migas, Kementerian Energi, Sumber Daya Mineral (ESDM) Harya Adityawarman kepada INDOPOS mengatakan, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) non subsidi ditetapkan oleh badan usaha sendiri, dalam hal ini Pertamina. Kebijakan tersebut diatur dalam pasal 15 peraturan presiden (Prespres) Nomor 191 Tahun 2014, yang bunyinya,’harga eceran BBM umum ditetapkan oleh badan usaha dan dilaporkan kepada Menteri.

“Untuk kenaikan harga BBM non subsidi ditetapkan oleh badan usaha sendiri,” ujar Harya Adityawarman kepada INDOPOS, Senin (26/2).

Kenaikan harga BBM non subsidi, menurutnya tidak harus mengetahui atau menunggu persetujuan dari anggota DPR. Hal tersebut sudah diatur dalam regulasi yang ada.

“Jangankan harus menunggu persetujuan anggota dewan, mengetahui Menteri ESDM saja tidak,” katanya.

Ia mengatakan, dalam regulasi tidak mengatur batasan waktu untuk kenaikan harga BBM non subsidi. Hanya saja, setiap kenaikan BBM non subsidi pemerintah tetap menghimbau agar tidak membebankan konsumen.

“Harus mempertimbangkan harga beli masyarakat. Itu biasanya dibahas dalam diskusi sebelum kenaikan harga BBM non subsidi,” ujarnya.

Menurut dia, kenaikan BBM non subsidi jenis Pertamax oleh PT Pertamina tidak signifikan. Pasalnya, kenaikan harga BBM tersebut masih mempertimbangkan daya beli masyarakat.

“Kita himbau kepada badan usaha untuk memangkas biaya-biaya operasional yang tidak efisien. Jadi kalau ada kenaikan harga tidak terlalu signifikan,” katanya. (dil/nas)

Update