Jumat, 29 Maret 2024

Serba Naik di Situasi Sulit

Berita Terkait

batampos.co.id – Kenaikan sejumlah kebutuhan pada awal tahun membuat masyarakat Batam menjerit di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih. Mulai dari harga kebutuhan pokok, tarif listrik, bahan bakar minyak (BBM), hingga sejumlah pajak daerah.

Rahmatio duduk sembari memainkan ponsel di tokonya, Kamis (1/3) pekan lalu. Ia membunuh rasa jenuhnya dengan membuka beragam informasi di dunia maya karena tak banyak pembeli yang datang ke tokonya.

Pedagang beras di Pasar Fanindo, Sagulung, ini mengaku kesulitan menjual beras belakangan ini. Hal itu, lantaran harga beras yang sangat mahal.

“Akhir-akhir ini sepi pembeli,” ujar Rahmatio. Jemarinya masih bermain di layar sentuh gawai pintarnya.

Pria berusia 42 tahun ini mengungkapkan mahalnya harga beras membuat warga yang biasa membeli beras dalam jumlah banyak (per karung ukuran 25 kg) beralih membeli per kilogram saja. Satu kilogram beras dijual dengan harga Rp 12 ribu hingga Rp 13 ribu.

“Paling banyak warga membeli lima kilo saja,” katanya.

Akibat kenaikan harga tersebut, selain pembelian berkurang, masyarakat beralih membeli beras berkualitas medium ke bawah atau cukup rendah.

“Mau tak mau harus konsumsi. Kalau tak ya kita tak bisa makan nasi,” ujar Misna, warga Sagulung.

Harga beras selama dua bulan belakangan ini memang sangat tinggi. Rahmatio menyebut beras premium satu karung ukuran 25 kilogram dijual Rp 300 ribu ke atas. Sementara harga beras kualitas rendah Rp 200 ribu. Tak ada lagi beras Rp 100 ribu per karung.

“Beras Bulog saja harganya Rp 8.000 per kilonya. Sekarung 25 kg ya Rp 200 ribu juga,” sebutnya.

Kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama beras, mulai dirasakan mencekik warga Batam sejak penghujung tahun 2017 yang berlanjut hingga Maret 2018 saat ini.

Sebelumnya masyarakat sudah harus merogoh kocek dalam-dalam karena kenaikan tarif listrik PLN Batam untuk sektor rumah tangga. Seperti diketahui pada 2017 lalu tarif listrik Batam naik tiga kali. Total akumulasi kenaikan mencapai 45 persen.

Kenaikan tarif PLN Batam itu membuat warga kaget saat membayar tagihan pada akhir Januari dan Februari 2018.

“Naiknya sekitar Rp 100 ribuan di bulan-bulan akhir tahun lalu. Eh, tagihan awal tahun ini naik lagi,” ujar Akut Wibowo, salah satu karyawan di Mukakuning.

Kenaikan tarif listrik PLN Batam ini tak hanya memberatkan masyarakat, juga memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Sehingga, setiap mau membeli sesuatu, masyarakat harus ekstra berhitung.

Tak hanya itu, terhitung dari Januari hingga Februari 2018, pemerintah pusat melalui Pertamina sudah tiga kali menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan terakhir pada 24 Februari lalu.

Kenaikan BBM ini kembali memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan sayuran. Khususnya sembako karena biaya transportasi yang makin mahal seiring naiknya harga BBM.

Mirisnya, Pemerintah Provinsi Kepri menangguk uang dari kenaikan BBM tersebut. BBM jenis Pertalite misalnya, Pemprov Kepri tetap menerapkan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) di angka maksimal, yakni 10 persen. Sehingga dengan harga Pertalite Rp 8.000 per liter, maka Pemprov Kepri mendapatkan uang segar Rp 800 dari setiap liter Pertalite terjual. Begitupun untuk BBM non subsidi lainnya.

Di Indonesia, hanya dua provinsi yang menerapkan PBBKB di angka maksimal, yakni Kepulauan Riau dan Riau. Sehingga BBM Kepri dan Riau menjadi yang termahal di Indonesia. Selebihnya menggunakan angka di bawah 10 persen, sehingga harga BBM jenis Pertalite dan BBM non-subsidi lainnya lebih rendah, di bawah Rp 8.000 per liter.

Kepala Bidang Pendapatan, Badan Pengelola Pajak dan Retrebusi Daerah (BP2RD) Kepri Herman Prasetyo membenarkan kalau Kepri menerapkan PBBKB di angka maksimal. Ketentuan ini tertuang dalam Perda tentang Pajak Daerah.

Herman menyebutkan, dari penerapan PBBKB di angka maksimal itu (10 persen), Pemprov Kepri membukukan pendapatan asli daerah 2017 sebesar Rp 286,98 miliar. Lebih tinggi dari target Rp 264,19 miliar.

Ia menjelaskan, peningkatan pendapatan ini diukur dari tingkat konsumsi masyarakat menggunakan BBM. Semakin tinggi konsumsi BBM, semakin besar pula PAD dari PBBKB yang didapat provinsi.

“Tahun ini kami targetkan Rp 278,40 miliar,” ujar Herman.

Namun pendapatan daerah dari PBBKB ini, kata Herman, ada juga yang dikembalikan ke masing-masing daerah termasuk Batam yang besarnya sudah diatur. Wujudnya dalam bentuk pembangunan infrastruktur. Sehingga PBBKB tidak semata dinikmati provinsi.


***
Di tingkat Kota Batam, masyarakat tak hanya dihadapkan pada kenyataan tarif PLN Batam naik hingga 45 persen dan kenaikan BBM, serta PBBKB yang diterapkan di angka tertinggi 10 persen, sebelumnya masyarakat juga dikejutkan dengan kenaikan tarif uang wajib tahunan otorita (UWTO) Batam. Meski sudah ada revisi, namun tetap naik dan menambah pengeluaran masyarakat Batam. Bahkan masyarakat membayar juga pajak bumi dan bangunan (PBB) di objek yang sama.

Bahkan terhitung Januari 2018, tarif PBB juga naik akibat kebijakan Pemko Batam yang melakukan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan bangunan. NJOP merupakan penentu besaran PBB yang harus dibayarkan. (Selengkapnya lihat grafis).

Kenaikan NJOP tertinggi diterapkan di Nagoya, Kecamatan Lubukbaja. Dari semula tahun 2017 lalu paling tinggi Rp 5,6 juta per meter kini menjadi Rp 6,8 juta permeter.

Kepala Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Kota Batam Raja Azmansyah mengakui, penyesuaian NJOP tahun ini tidak ada yang turun. Artinya semua wilayah di Batam NJOP mengalami kenaikan.

“Di Batam kan tak ada bencana sehingga tidak ada hal yang membuat nilai tanah turun. Malah naik, terutama di daerah-daerah yang Pemko Batam perlebar,” kata dia.

Namun ia mengklaim kenaikan tersebut masih di bawah harga pasar dan bisa dijangkau masyarakat umum. Bahkan menurutnya NJOP di Batam lebih rendah dibanding Kota Medan (Sumatera Utara) dan Pekanbaru, Riau.

“Meksi nilai NJOP naik, namun besaran PBB yang dibayar tak sebesar itu. Ada hitungannya, misal nilai ruko di Nagoya Rp 2 miliar dikalikan 0,12 persen, maka bayar PBB-nya hanya Rp 2 juta,” imbuhnya.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kepri Achmad Makruf Maulana menilai, kenaikan PBB sebagai efek dari meningkatnya NJOP sepintas memang tak terlihat memberatkan masyarakat. Namun jika dicermati lebih jauh, kenaikan NJOP itu tidak hanya terkait dengan PBB, tapi juga otomatis ke harga properti.

Harga properti menurut Makruf otomatis melambung di tengah kondisi ekonomi yang sulit saat ini. Sehingga masyarakat yang akan membeli properti khususnya tempat tinggal makin kesulitan. Pengembang, khususnya rumah tapak juga harus berjuang keras agar properti mereka terjual.

“Mestinya kita fokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana di kota ini banyak tersedia lapangan kerja, banyak proyek masuk, banyak investasi masuk sehingga ekonomi kita bergerak,” ujar Makruf.

***

Tak hanya menaikkan NJOP, Pemerintah Kota (Pemko) Batam memastikan mulai menerapkan kenaikan tarif pajak daerah berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pajak Daerah, sejak Rabu (1/3) lalu.

Merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Batam Nomor 7 tahun 2017 tentang revisi Perda Nomor 5 tahun 2011 tentang Pajak Daerah, tertuang beberapa tarif baru untuk sejumlah komponen pajak. Di antaranya, pajak hiburan yang antara lain pajak diskotek, kelab malam, panti pijat, spa, dan sejenisnya mengalami kenaikan dari 15 persen menjadi 35 persen.

Sementara permainan ketangkasan atau gelanggang permainan yang semula tunggal 15 persen, kini dibagi dua. Khusus ketangkasan dewasa naik menjadi 50 persen sedangkan untuk anak-anak tetap 15 persen. Di dalamnya juga diatur pajak pacuan kuda dan balap kendaraan bermotor yang semula 10 persen naik menjadi 20 persen. Pajak bowling dari 5 persen menjadi 15 persen.

Pajak reklame juga naik. Kenaikan dibagi dalam dua katagori, jika reklame non rokok dan non alkohol naik dari 15 persen jadi 20 persen. Sementara, reklame rokok dan alkohol dari 15 persen jadi 25 persen. Sedangkan pajak parkir dari 20 persen menjadi 25 persen.

Ketua Asosiasi Jasa Hiburan (Ajahib) Kota Batam, Gembira Ginting mengatakan kenaikan pajak hiburan tidak tepat untuk kondisi saat ini. “Kondisi ekonomi di Batam saat ini sangat sepi. Tempat hiburan juga sepi. Di mana-mana sepi. Kalau bebannya ditambah ya tutuplah,” kata dia.

Gembira Ginting benar-benar tak gembira dengan kondisi hiburan malam saat ini. Membayar gaji karyawan saja sulit sehingga banyak yang memilih tutup atau tidak beroperasi.

“Pacific saja sudah tutup. Kondisi sekarang ini sudah sangat berat, eh ditambah lagi bebannya jadi makin berat,” katanya.

Gembira menilai, mestinya Pemko dan DPRD memberi kabar gembira pada pengusaha hiburan dengan mengurangi beban pajak mereka. Paling tidak, tidak menambah beban mereka. Tapi faktanya, disaat industri hiburan di Batam diambang kematian, pajak justru naik.

“Mestinya DPRD dan Pemko Batam mengundang kita sebelum memutuskan menaikkan pajak. Kalau industri hiburan makin banyak tutup pemda malah kehilangan pajak,” katanya.

***

Lalu seberapa besar pengaruh kenaikan pajak daerah dan kenaikan lainnya dengan ekonomi Batam? Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Kepri masih mencermati. Termasuk efek dari kenaikan NJOP dan pajak hiburan.

Namun yang pasti, dari survei yang dilakukan oleh BI, kenaikan harga beras, kenaikan tarif listrik, dan kenaikan harga BBM memang pengaruhnya langsung dirasakan masyarakat. Begitupun dengan efek dominonya.

Itu sebabnya, ia menyarankan perlu ada solusi cepat untuk masalah kebutuhan bahan pokok seperti beras dan bahan kebutuhan pokok lainnya agar tetap tercukupi stoknya dan harganya tidak melambung.

Sebagai bagian dari Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), BI mendukung penuh upaya Pemko Batam menyurati pemerintah pusat agar kuota beras impor Kepri khususnya Batam ditambah. Jika perlu membuka kran impor langsung dengan pintu masuk Batam.

“Impor memang salah satu solusi karena memang harga di daerah asal dan biaya transportasi ke Batam yang mahal membuat pengusaha kesulitan menjual beras sama dengan harga ecerean tertingi (HET), apalagi di bawah HET,” ujar Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Kepri, Gusti Raizal Eka Putera, Rabu (28/2) di Harris Hotel Batam Centre.

Terkait kenaikan NJOP dan pajak daerah, meski masih sedang dicermati efeknya oleh BI, namun Gusti Raizal mengingatkan Pemda untuk tidak menambah beban dunia usaha dan masyarakat.

Ia menyarankan jauh lebih baik Pemda, baik itu Pemko Batam, BP Batam, dan Pemprov Kepri fokus pada upaya pemulihan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Kepri, khususnya Batam. Salah satunya, segera mengesekusi program-program pembangunan yang telah dibuat.

“Sebagus dan sebanyak apapun program yang dibuat kalau tidak ada eksekusi juga percuma,” ujarnya.

Selain itu, ia juga menyarankan Pemko Batam dan Pemprov Kepri untuk sengera mengeksekusi sejumlah proyek yang dibiayai oleh APBD. Dengan kata lain, APBD harus segera dibelanjakan karena sedikit banyaknya juga memberi kontribusi pada pergerakan ekonomi di daerah ini.

“Kalau ekonomi bergerak, ada harapan tumbuh. Kalau ekonomi tumbuh, ya otomatis pendapatan Pemda dari sektor pajak, retribusi, dan lainnya bisa mencapai target. Intinya gerakkan dulu ekonomi daerah ini, itu yang paling penting,” tegasnya.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Batam Rahayudin menambahkan, inflasi di Batam memang turun pada Februari lalu menjadi 0,08 persen (mtm). Sedangkan Tanjungpinang naik menjadi 0,99 persen (mtm).

Pada Januari tercatat Batam mengalami inflasi 0,99 (mtm), sementara Tanjungpinang mengalami inflasi sebesar 0,18 (mtm). Gabungan IHK dua kota ini menunjukkan inflasi sebesar 0,88 persen.

Melihat penurunan inflasi selama Februari, Rahayudin menilai daya beli masyarakat Batam mulai membaik. Nilai uang, lanjutnya, lebih berarti dibanding Januari lalu, sebab nilai uang lebih tinggi pada Februari lalu.

“Iya, daya beli masyarakat mulai bagus,” ujar Rahayudin kepada Batam Pos, Kamis (1/3).

Lalu bagaimana pada bulan-bulan mendatang seiring kenaikan sejumlah pajak, harga BBM, dan tarif listrik? Rahayudin mengatakan kenaikan sejumlah item tersebut belum tentu berdampak pada daya beli masyarakat dan kenaikan inflasi. Sebab kenaikan pajak, seperti pajak hiburan, pajak bumi dan bangunan, belum tentu berandil besar terhadap kenaikan inflasi. (uma/nur/jpg/adi/ian/leo)

Update