Kamis, 25 April 2024

Ditjen Pajak Bisa Hitung Omzet Usaha

Berita Terkait

Warga membeli kebutuhan pokok di Pasar Perumnas, Sagulung, Senin (5/3). | Dalil Harahap/Batam Pos

batampos.co.id – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bisa menghitung peredaran bruto atau omzet wajib pajak yang dinilai tidak menyuguhkan pembukuan secara benar. Beleid baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain Menghitung Peredaran Bruto.

Aturan baru itu memberikan alternatif bagi petugas pajak atau fiskus untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak yang tak kooperatif. Penghitungan omzet tersebut meliputi transaksi tunai dan nontunai, termasuk sumber serta penggunaan dana.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan dalam praktiknya, saat petugas pajak melakukan pemeriksaan, ada wajib pajak (WP) yang tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan. ”Jadi, peredaran brutonya tidak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya,” ujar Yoga kemarin.

Yoga melanjutkan, di samping perhitungan terhadap omzet usaha yang didasarkan pada transaksi tunai dan nontunai, juga dilakukan kalkulasi atas biaya hidup, pertambahan kekayaan bersih, proyeksi nilai ekonomi, dan penghitungan rasio.

Beleid tersebut, lanjut Yoga, diharapkan mampu memberikan kepastian hukum bagi WP dalam menjalankan kepatuhan membayar pajak. Dia menambahkan, metode penghitungan yang digunakan sebenarnya sudah biasa dilakukan aparat pajak. ”Metode yang ada di PMK itu sudah biasa kita gunakan dan kita mengenalnya sebagai metode tidak langsung karena tidak bersumber dari pembukuan WP,” tutur dia.

Pakar perpajakan, Yustinus Prastowo, mengatakan masyarakat tidak perlu resah dengan aturan baru itu. Sebab, penghitungan yang dilakukan pemeriksa pajak tersebut hanya akan diterapkan bagi WP yang tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.

”Dengan kata lain, sepanjang wajib pajak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dan menyerahkan kepada pemeriksa, kewajiban pajaknya tidak akan dihitung dengan cara lain itu,” katanya.

Meski begitu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) itu, juga memberikan catatan terhadap pemerintah. Yakni, perlu diperjelas pengertian ”tidak sepenuhnya” menyelenggarakan pembukuan seperti termaktub pada pasal 1.

”Supaya tidak ditafsirkan berbeda dan menjadi celah bagi pemeriksa untuk memaksakan penggunaan cara lain padahal pembukuan sebenarnya tersedia,” katanya.

Yustinus juga mempertanyakan apakah penghitungan omzet oleh Ditjen Pajak akan menutup hak WP untuk menyanggah saat pemeriksaan.

”Untuk memitigasi risiko, sebaiknya tetap diberi kesempatan bagi WP untuk memberikan penjelasan atau tidak setuju dengan metode yang digunakan,” papar dia.

PMK yang baru tersebut berlaku bagi wajib pajak orang pribadi (WPOP) yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan.

”Tak perlu gusar dan khawatir. Tidak ada pajak baru atau pemungutan yang agresif dan mencari-cari kesalahan,” kata Yustinus. (ken/c11/sof)

Update