Jumat, 29 Maret 2024

Pak Setnov Dituntut 16 Tahun Penjara

Berita Terkait

Pemkab Karimun Adakan Wirid Bulanan

Diskon Dicabut, Tiket Dumai Line Tak Ada Kenaikan

batampos.co.id – Karir politik mantan Ketua DPR Setya Novanto terancam berakhir. Sebab, tuntutan hukuman yang dimintakan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/3) nyaris tidak memberi peluang Novanto kembali ke kancah politik Tanah Air.

Jaksa KPK meminta hakim memvonis Novanto dengan pidana penjara 16 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Novanto juga dituntut membayar uang pengganti sebesar USD 7,435 juta dikurangi Rp 5 miliar (uang yang sudah dikembalikan). Tidak hanya itu, pria 63 tahun tersebut juga dituntut hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik atau dilarang menduduki jabatan publik selama 5 tahun setelah masa pidana penjara dijalani.

“Perbuatan terdakwa (Setnov) tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan korupsi,” kata jaksa KPK Abdul Basir dalam amar tuntutannya. Tuntutan pidana penjara terhadap Novanto terbilang paling berat di antara tiga terdakwa kasus megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) lain. Andi Agustinus alias Andi Narogong, misalnya, dituntut 8 tahun penjara. Sedangkan Irman dituntut 7 tahun dan Sugiharto 5 tahun.

Dalam surat tuntutan setebal 2.415 lembar yang mulai dibacakan pukul 11.30 itu, jaksa KPK hanya menuntut Novanto atas dakwaan kedua atau pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Dengan begitu, tuntutan kemarin hanya menguraikan unsur-unsur di dalam pasal 3 saja. Di awal persidangan, jaksa menggunakan dakwaan alternatif. Selain pasal 3 di dakwaan kedua, jaksa juga menggunakan pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor di dakwaan pertama.

Untuk diketahui, pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta rupiah dan maksimal Rp 1 miliar.

Nah, tuntutan jaksa yang dibacakan selama sekitar 3,5 jam tersebut menguraikan pembuktian unsur-unsur di pasal tersebut. Di bagian pertama, jaksa KPK Ahmad Burhanuddin menyampaikan argumentasi pembuktian unsur ‘setiap orang’. Menurut dia, unsur itu jelas terpenuhi seiring kapasitas Setnov sebagai anggota DPR dan ketua Fraksi Partai Golkar saat kasus e-KTP bergulir pada 2011-2012. “Terdakwa merupakan anggota DPR periode 2009-2014,” ujarnya.

Setelah itu, giliran jaksa KPK Wawan Yunarwanto menguraikan pembuktian unsur perbuatan ‘menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’. Wawan menjelaskan secara rinci terkait bukti-bukti yang mendukung argumentasi itu. Mulai dari bukti adanya pertemuan Novanto dengan pihak Kemendagri dan pihak konsorsium PNRI (pemenang lelang e-KTP), maupun bukti percakapan, keterangan saksi hingga penjelasan para ahli.

Wawan juga menyampaikan argumentasi yang mematahkan sangkalan Novanto terkait keterlibatannya dalam pengaturan proyek e-KTP maupun penerimaan fee sebesar USD 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille seharga USD 135 ribu. Argumentasi yang diuraikan Wawan berupa kesesuaian bukti yang diperoleh selama persidangan bergulir.

“Meski menyangkal, berdasar kesesuaian alat bukti, uang (USD 7,3 juta) tersebut adalah untuk terdakwa,” kata Wawan. Bukti yang dimaksud antara lain berupa keterangan Anang Sugiana Sudihardjo (mantan Dirut PT Quadra Solution, rekanan e-KTP) yang menyebut uang fee e-KTP yang dikirim Johannes Marliem (bos Biomorf) telah didistribusikan ke Made Oka Masagung (rekan Setnov).

Bukti keterangan lain yang mengarah pada pendistribusian uang ke Novanto itu juga disampaikan sejumlah saksi. Yakni, Andi Narogong, Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby dan M. Nur alias Ahmad. Selain itu, jaksa juga memiliki bukti berupa rekaman percakapan Anang dan Marliem. Serta rekaman pemeriksaan Marliem oleh FBI di Amerika Serikat. Ada pula bukti rekaman percakapan Marliem, Andi dan Novanto saat sarapan pagi di rumah Novanto.

Menurut Wawan, alat bukti itu sangat relevan bila dikaitkan dengan transaksi tidak lazim yang dilakukan Made Oka dan keponakan Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo di luar negeri. Mulai, Singapura, Amerika Serikat hingga Mauritius (Afrika). “Dikirimkannya uang ke Irvanto dan Made Oka atas perintah terdakwa,” ujarnya.

Untuk menguatkan indikasi penerimaan yang disalurkan melalui orang lain itu, jaksa kemarin menyertakan bukti berupa putusan pengadilan terhadap perkara mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Dalam perkara itu, penerimaan uang korupsi untuk Andi tidak terima langsung. Melainkan melalui adiknya, Andi Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng.

“Penuntut umum berpendapat, keterangan terdakwa (soal bantahan penerimaan uang) tidak didukung alat bukti apapun dan bertentangan dengan alat bukti lainnya,” ungkapnya. Keterangan Novanto yang bertentangan dengan bukti lain adalah terkait pernyataan bahwa Irvanto merupakan kurir fee e-KTP yang diperintahkan Andi Narogong, “Bila ada keterangan Andi memerintah Irvanto untuk memberikan uang kepada anggota DPR dipastikan diluar uang USD 3,5 juta yang diterima Irvanto,” tegasnya.

Terkait jam tangan yang dikembalikan Novanto kepada Andi Narogong, jaksa menilai pengembalian itu tidak mengurangi nilai manfaat. Sebab, jam tangan itu sudah digunakan Novanto sejak 2012 hingga 2016. Pengembalian pun dilakukan seiring ramainya berita tentang pengusutan kasus e-KTP. Begitu pula soal pengembalian uang Rp 5 miliar yang dianggap jaksa layak dirampas negara.

Selain menguraikan bukti, dalam tuntutan kemarin jaksa KPK juga menyatakan bahwa permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan Novanto pada 10 Januari lalu belum memenuhi syarat kualifikasi. Salah satu hal yang memberatkan pemberian JC itu lantaran Novanto belum mengakui seluruh perbuatannya di dalam persidangan.

Atas uraian dalam tuntutan kemarin, jaksa KPK menilai Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi e-KTP. Bahkan, perbuatan terdakwa dinilai bersifat masif, yakni menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional. “Dampak perbuatan terdakwa masih bisa dirasakan sampai saat ini,” tegas Basir.

Selain itu, hal yang memberatkan tuntutan Novanto adalah karena suami Deisti Astriani Tagor tersebut tidak kooperatif saat proses penyidikan maupun persidangan. Hal itu merujuk pada insiden kaburnya Novanto saat hendak ditangkap KPK pada 15 November tahun lalu. Juga insiden menabrak tiang listrik di kawasan Permata Hijau yang berujung dugaan rekayasa rawat inap di RS Medika Permata Hijau.

“Akibat perbuatan terdakwa, telah menimbulkan kerugian negara yang cukup besar (Rp 2,3 triliun),” tutur jaksa penggemar olahraga bulutangkis tersebut. Meski demikian, jaksa KPK juga mempertimbangkan beberapa hal meringankan bagi Novanto. Di antaranya, belum pernah dihukum dan telah menyesali perbuatannya. “Terdakwa juga bersikap sopan di persidangan,” tambah Basir.

Setelah mendegar jaksa membaca tuntutan, Novanto dan para keluarga yang hadir dalam sidang tersebut tampak lesu. Bahkan, mata istri Novanto, Deisti terlihat berkaca-kaca. Begitu pula para kerabat Deisti yang ikut menyaksikan jalannya persidangan dari awal hingga akhir tersebut. “Kami tetap menghargai apa yang jadi keputusan daripada JPU, dan itu nanti kami akan mengadakan pembelaan (pledoi), baik secara pribadi maupun penasehat hukum,” ujar Novanto dengan suara agak berat.

Penasehat hukum Novanto, Firman Wijaya menambahkan, dalam pertimbangan jaksa, pihaknya tidak melihat alasan yang signifikan bahwa JC kliennya ditolak. Artinya, KPK masih memberi kesempatan kepada Novanto untuk memperbaiki syarat-syarat kualifikasi JC. “Artinya kalau kalau dikatakan ada syarat yang belum dipenuhi berarti ada syarat yang sudah terpenuhi,” terangnya.

Firman mengatakan, dengan belum ditolaknya JC itu, pihaknya berharap masih ada celah agar kliennya mendapat keringanan hukuman dalam vonis sidang yang diketuai hakim Yanto tersebut. Caranya, memenuhi syarat JC yang belum dipenuhi tersebut. “Saya dan tim penasehat hukum sudah berusaha semaksimal mungkin mendorong proses Pak Novanto mengambil pilihan sebagai JC,” imbuh dia.

Firman pun kembali mengkritik jaksa KPK yang belum mengungkap lebih jauh soal keterlibatan pihak lain dalam kasus e-KTP. Pun, sembari menunggu agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) 13 April mendatang, pihaknya berupaya mendorong Novanto memberikan keterangan yang diperlukan KPK untuk mengungkap pihak-pihak lain itu. “Kami tetap mendorong Pak Novanto untuk memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan,” tandasnya.

Sementara itu, tidak sedikit elit Partai Golkar yang menyaksikan sidang tuntutan kemarin. Di antaranya, Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham dan Agung Laksono. Mereka tampak terlihat di deretan kursi pengunjung sidang. “Kalau saudara-saudara kita kena masalah ya harus kita datangi,” tutur Idrus kepada awak media. Meski hadir, Idrus kemarin tidak mengikuti sidang sampai selesai pukul 16.00. (tyo)

Update