Sabtu, 20 April 2024

Nyawa Kerap Jadi Taruhan Aparat Penegak Hukum Saat Bertugas di Wilayah Kepri

Berita Terkait

Aparat penegak hukum yang bekerja di wilayah Batam dan Kepri mendapat tantangan yang tidak ringan saat bekerja. Bahkan tak jarang nyawa harus menjadi taruhannya.

Martin Lahulima tak pernah bisa melupakan peristiwa yang ia alami, Desember 2009 silam. Di tengah Laut China Selatan, di wilayah Natuna, kapal patroli yang ia kemudikan diserang nelayan Thailand. Kapal nyaris terbakar setelah dilempari bom molotov.

“Kejadian itu begitu mencekam,” kata Martin saat ditemui di Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam di Rempang, beberapa waktu lalu.

Martin mengisahkan, saat itu ia dan timnya sedang patroli di wilayah Natuna dengan Kapal Patroli (KP) Hiu milik Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saat itu ia menerima informasi ada kapal nelayan asing berbendera Thailand yang diduga menangkap ikan secara ilegal di laut Natuna. Dengan jaring pukat harimau pula.

Mendapat informasi itu, Martin yang saat itu menjadi kapten kapal mengarahkan haluan kapalnya ke lokasi yang dimaksudkan. Benar saja, ia dan timnya mendapati ada kapal nelayan Thailand sedang menangkap ikan secara ilegal.

Namun saat KP Hiu hendak merapat, tiba-tiba kru kapal nelayan Thailand itu memberi peralawanan. Awalnya mereka melemparkan jaring pukat harimau ke arah kapal. Tujuannya, supaya jaring tersebut nyangkut di baling-baling mesin, sehingga KP Hiu tak bisa melanjutkan pengejaran.

“Tapi jebakan itu berhasil kami hindari dengan baik,” cerita Martin yang kini menjabat Kasi Sarana dan Prasarana Pangkalan PSDKP Batam itu.

Saat KP Hiu semakin dekat dengan kapal nelayan Thailand, kru kapal asing itu kembali melawan. Namun kali ini perlawanannya lebih berbahaya. Mereka melempari KP Hiu dengan bom molotov.

Perlawanan nelayan Thailand itu cukup membuat repot kru KP Hiu. Mereka panik.

“Kami takut kapal terbakar,” kata Martin.

Tak ingin target kabur, kru KP Hiu terpaksa membalas serangan dengan bom serupa. Dan setelah sekitar tiga jam saling serang, kubu nelayan Thailand akhirnya menyerah. Mereka ditangkap dan digiring ke Pangkalan PSDKP Batam.

Kata Martin, peristiwa itu hanya satu dari sekian banyak pengalaman yang ia alami. Sebab selama 15 tahun bekerjadi di PSDKP, dia dan tim setidaknya sudah menangkap 400 kapal nelayan asing.

“Banyak tantangan yang kami hadapi untuk menangkap kapal-kapal itu,” katanya.

Dari pengalamannya, nelayan dari Thailand memang terkenal paling berani melawan aparat dibandingkan nelayan asing lainnya. “Mereka kebanyakan bekas narapidana yang dikirim untuk menangkap ikan,” kata dia.

Pengalaman dramatis juga pernah dialami kolega Martin di PSDKP Batam, Ahmad Dedi Sutiadi. Dedi mengaku memiliki pengalaman tak terlupakan saat ia masih bekerja sebagai Satuan Pengawas (Satwas) PSDKP Bengkulu, tahun 2012 lalu.

Peristiwa bermula dari penangkapan nelayan setempat karena kedapatan menangkap ikan dengan pukat harimau. Jaring tersebut memang dilarang digunakan, terutama untuk zona tertentu. Namun tindakan aparat itu ternyata membuat para nelayan setempat murka.

Tak lama berselang dari penangkapan itu, kantor Satwas PSDKP Bengkulu digeruduk puluhan nelayan. Dengan membawa kayu, pentungan, dan batu, massa mengepung kantor Satwas PSDKP Bengkulu. Dedi bersama tujuh rekannya yang berada di dalam kantor panik. Mereka tak mungkin menghadapi massa yang sedang marah itu. Apalagi, tak satupun di antara mereka yang memiliki senjata.

“Kalau di darat tak ada senjata kami. Cuma petugas di laut saja untuk jaga-jaga. Itupun terbatas jumlahnya,” ujar pria yang kini menjabat sebagai koordinator Satuan Pengawasan PSDKP Natuna itu.

Kabur akhirnya menjadi pilihan terakhir dan stu-satunya untuk menyelamatkan diri dari amukan massa. Namun saat mengetahui Dedi dan ketujuh rekannya kabur, massa justru kian brutal. Alhasil, mereka menjadikan kantor Satwas PSDKP Bengkulu jadi sasaran kemarahan.

Dalam waktu sekejap, kantor Satwas PSDKP Bengkulu rata dengan tanah. Massa yang murka mengamuk dan menghancurkan bangunan beserta isinya.

“Ya itulah pengalaman yang berkesan. Padahal kami kerja untuk kebaikan nelayan juga. Tapi malah dilawan seperti itu,” tutur Dedi.

Martin Lahulima dan Aiptu Masri

Rintangan dan tantangan kerja aparat penegak hukum juga dialami sejumlah anggota kepolisian di Batam. Seperti yang dialami Bripka Mirwan Manulang, anggota Buru Sergap (Buser) Polsek Sagulung. Ia mengaku sudah berkali-kali mendapat perlawanan saat menangani kasus kriminal.

Pengalaman berkesan dan cukup dramatis terakhir dialami Mirwan pada Februari 2018 lalu. Saat hendak membekuk delapan pelaku curanmor antar pulau yang akan kabur ke luar Batam di Jembatan IV Barelang, dia dan tiga rekannya diserang oleh para pelaku dengan senjata tajam.

“Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB itu. Datang kami ke sana, malah diserang pakai pisau. Mereka juga menakut-nakuti kami dengan senjata mainan,” ujar Mirwan.

Saat diserang oleh kelompok kriminal itu, Mirwan dan kawan-kawannya sempat kewalahan sebab suasana di lokasi kejadian gelap gulita. “Kami sudah kasi (tembakan) peringatan, tapi tak gentar mereka,” ujarnya.

Para pelaku yang ingin lolos dari jeratan hukum, menyerang dari berbagai penjuru dan berusaha melumpuhkan anggota polsek Sagulung itu dengan senjata tajam, batu, dan kayu.

Meskipun sulit dan kalah jumlah, sebagai anggota polisi yang terlatih, Bripka Mirwan dan tiga rekannya mengatur strategi lain untuk melumpuhkan para tersangka. Berkat kerja sama tim yang baik para pelaku berhasil dibekuk mereka. “Butuh waktu sekitar dua jam juga itu,” ujarnya.

Lain Mirwan, lain pula kisah Ipda Yohanes Bonar Adiguna Hutapea. Pria yang kini menjabat Reskrim Polsek Nongsa memiliki banyak pengalaman menarik saat masih menjadi Kanit Reskrim Polsek Sagulung itu.

Salah satu yang paling berkesan dan selalu diingatnya saat dia dan tim Buru Sergap Polresta Barelang hendak menangkap pencuri sepeda motor di salah satu perumahan belakang Rumah Sakit Awal Bross, Batam. “Akhir tahun 2016 itu saat masih jadi Buser di Polresta Barelang,” ujarnya.

Saat mengintai pelaku, Bonar dan rekan-rekannya justru dikira maling. Maklum, saat itu mereka memang tidak mengenakan seragam polisi dan menggunakan mobil pribadi.

Saat memasuki lingkungan perumahan, ternyata warga di dalam perumahan itu juga menaruh curiga. Belum lama mengintari lingkungan perumahan, tiba-tiba seorang warga berteriak maling. “Teriakan warga itu membuat suasana jadi panas. Warga semua pada keluar dan kepung mobil kami. Kami disangka spesialis bobol rumah,” cerita Bonar.

Dalam sekejap, warga sudah berkumpul dan mengepung mobil Bonar dan kawan-kawannya. Mereka tak bisa berkutik karena warga membawa batu dan kayu. Mereka siap menyerang. “Kami sempat bertahan di dalam mobil karena takut dilemparin,” kenangnya.

Untung saja beberapa saat setelah itu datang perangkat RT/RW setempat datang menenangkan warga dan meminta mereka turun dari mobil. “Saat turun itulah baru kami bisa tunjukkan surat tugas kami,” tuturnya.

Pengalaman Aipda Masri lebih dramatis lagi. Anggota buser Polsek Sagulung itu mengaku mobil yang ia kendarai pernah diserang sekelompok dengan parang di tangan masing-masing.

Peristiwa itu terjadi di Palembang, Sumatera Selatan, empat tahun lalu. Saat itu Masri dan timnya tengah mengejar pelaku pembunuhan di Batam bernama Eko yang kabur ke Palembang.

“Jadi dari sini (Batam) saya berangkat bersama tiga rekan lain ke Palembang,” tuturnya.

Penangkapan pria 27 tahun itu langsung dipimpin Kapolsek Sagulung waktu itu, Kompol Eddy Buce. Mereka terbang dari Batam dan sampai Palembang sekitar pukul 14.00 WIB, kemudian menyewa mobil minibus.

Dari informasi yang didapatkan, Eko saat itu berada di rumah orangtuanya di Gang Manggis, Kecamatan Seberang Hulu Satu. “Namun, saat mendatangi rumah, kami dihalangi keluarga. Terutama pamannya,” terang Masri.

Awalnya, keluarga Eko hanya melarang polisi masuk ke rumah. Mendapat penolakan itu, Masri dan timnya memilih tetap tenang. Meski tak masuk rumah, mereka tetap mengawasi target. Namun tiba-tiba Eko mencoba kabur lewat pintu belakang rumah.

Pelarian Eko itu diketahui Masri dan rekannya. Mereka langsung mengejar dan menangkap pelaku. “Saat melewati parit, saya langsung tangkap pelaku hingga terjatuh,” kata Masri.

Namun perjuangan Masri dkk tak selesai sampai disitu. Saat Eko hendak dibawa ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin, Palembang, untuk diterbangkan ke Batam, mobil yang ditumpangi Masri dan rekannya diikuti 10 orang. Mereka mengendarai sepeda motor sambil mengacungkan parang ke arah mobil Masri.

Di sepanjang jalan mereka menebaskan parang dan melempari mobil Masri dengan batu. Kaca mobil pecah, bodi ringsek. “Suasana itu sangat sepi dan mulai mencekam. Saya ingin melepaskan tembakan, tapi dilarang Kapolsek. Yang ada di pikiran, saya harus menjaga pelaku dan saksi dengan aman,” kata Masri.

Aksi kejar-kejaran itupun berlangsung selama setengah jam. Hingga akhirnya, Masri dan rekan-rekan menuju Jalan Kapten A. Rivai atau mengarah ke Kantor Gubernur Palembang. “Nah, di sana kawasan ramai, dan kami langsung meminta bantuan. Hingga akhirnya mereka (orang bermotor) kabur,” tutur Masri.

Masri mengaku kejadian ini sudah menjadi risiko dinas dan tanggung jawabnya sebagai polisi, khususnya di Tim Buser. Ia harus siap meski nyawa kerap dipertaruhkan.
“Menangkap penjahat itu menjadi kepuasan tersendiri bagi saya,” tutur Masri.

Meskipun diwarnai tantangan dan pengalaman pahit, kerja keras aparat penegak hukum ini banyak yang membuahkan hasil. Angka kriminilitas berhasil ditekan, aktivitas illegal juga perlahan-lahan berkurang bahkan derajat masyarakat kembali dimuliakan melalui perjuangan aparat penegak hukum tersebut.

Seperti yang disampaikan oleh Ifadal, pegawai di Pengadilan Agama (PA) Batam di Sekupang. 20 tahun bekerja sebagai penegak hukum di PA Batam, Ifadal telah berhasil menggagalkan rencana perceraian ribuan pasangan suami istri. Sehingga jalinan rumah tangga pasangan yang bermasalah itu bisa kembali dirajut dengan baik.

Kepada Batam Pos, pria yang kini menjabat sebagai Humas PA Batam itu menuturkan, menangani gugatan perkara perceraian bukan pekerjaan yang mudah. Berbagai pasangan yang datang dengan watak yang berbeda-beda kerap membuat mereka kewalahan. “Namun sebagai petugas di sini, kami tetap harus tabah dan berusaha memediasi mereka agar tidak bercerai,” ujarnya.

Hadir dengan tekad untuk menyatuhkan keluarga yang bermasalah, mediasi menjadi salah satu tahapan di PA. Proses yang wajib dilalui pasangan yang ingin bercerai ini menjadi salah satu penentu biduk rumah tangga pasangan saat berada di Pengadilan Agama.

“Memang ada yang tak berhasil (tetap cerai) tapi melalui tahap ini setidaknya bisa menyadarkan kembali pasangan yang berniat cerai tadi,” kata Ifdal.

Alhasil, dengan upaya ini, dari sekian ribu gugatan percerain selama beberapa tahun terakhir ini 20 persen di antaranya berhasil diselamatkan. “Ya, dari tiga ribu kasus, sekitar 20 persen yang bisa kami cegah,” tuturnya.

Bagi penegak hukum di PA, perpisahan merupakan sebuah kegagalan. Untuk itu mereka harus berupaya keras untuk menggagalkan gugatan cerai tersebut sehingga biduk rumah tangga pasangan suami istri tetap terjaga dengan baik. (eja/opi/iza/yui)

Update