Kamis, 25 April 2024

Pemko Batam Minta FTZ Diganti, Pengusaha Tolak KEK

Berita Terkait

Ketua DPRD Batam memimpin rapat dengar pendapat antara Pemko Batam, BP Batam, DPRD Batam, Bea Cuka, Kadin Batam dan para pelaku usaha yang membahas permasalah KEK di gedung DPRD Batam, Selasa (22/5). F Cecep Mulyana/Batam Pos

batampos.co.id – Pro kontra rencana pemberlakuan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batam terus bergulir. Pemko Batam menyebut sudah saatnya status Free Trade Zone (FTZ) Batam dievaluasi dan diganti jadi KEK. Sedangkan kalangan pengusaha tetap menentang implementasi KEK Batam.

Adu argumen tersebut tersaji dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar di ruang pimpinan DPRD Batam, Selasa (22/5). Dalam kesempatan itu Pemko Batam yang diwakili Wakil Wali Kota Batam Amsakar Achmad menyebut FTZ Batam merupakan produk gagal.

“Pertanyaannya, FTZ ini menguntungkan siapa?” tanya Amsakar di hadapan peserta RDP yang dihadiri pengusaha, Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kadin Batam, dan KPU Bea Cukai Batam, kemarin.

Menurut Amsakar, dengan fasilitas FTZ, seharusnya harga-harga di Batam menjadi lebih murah dibandingkan daerah pabean di Indonesia. Sebab barang yang masuk ke Batam bebas bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPn), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), dan PPh.

Namun faktanya, kata Amsakar, selama ini harga di Batam tetap tinggi. “Setiap tahun buruh demo menuntut upah minimum kota naik, karena disebabkan biaya hidup naik,” kata Amsakar.

Amsakar juga menuding, penerapan FTZ di Batam juga menyebabkan hilangnya sejumlah potensi pendapatan. Berdasarkan hasil pemerikasaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 2015, potensi kerugian (potential loss) akibat penerapan FTZ Batam mencapai Rp 19,72 triliun.

“Yang dapat dikelola Rp 1,2 triliun sementara potential loss-nya Rp 19,72 triliun. Sudah seharusnya ada kajian ulang potensi FTZ ini,” katanya.

Menurut dia, wacana memberlakukan KEK di Batam seharusnya diterima sebagai solusi. Sebab KEK Batam merupakan keinginan pusat yang telah melalui berbagai kajian. Selain diyakini mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen pada 2019 mendatang, KEK Batam juga diberlakukan untuk mengatasi masalah dualisme kepemimpinan di Batam.

“Kita jangan terperangkap pada persoalan FTZ atau KEK. Kalau memang KEK memberikan nilai tambah yang jauh lebih baik dari FTZ kenapa tidak. Begitu juga sebaliknya,” tutur Amsakar.

Amsakar mengakui, pada triwulan pertama tahun ini ekonomi Batam tumbuh 4,4 persen. Namun menurut dia, pertumbuhan ekonomi tersebut bukan karena masuknya investasi, melainkan ditopang oleh percepatan belanja pemerintah.

“Ini yang saya terima dari Kepala BPS Kepri,” kata dia.

Dari sisi pendapatan lainnya, Amsakar juga menyebut tidak mengalami lonjakan yang berarti. “Pajak bumi dan bangunan dan BPHTB tetap tidak bergerak,” jelasnya.

Lebih lanjut, Amsakar mempertanyakan sikap pengusaha yang belakangan menolak rencana KEK Batam. Padahal saat dicanangkan Joko Widodo pada 2016 dan disosialisasikan melalui Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, semua pengusaha menerima rencana KEK Batam.

“Kenapa tidak dari awal Pak Jadi (Jadi Rajagukguk, Ketua Kadin Batam, red). Padahal saat dibahas Pak Darmin semua pihak dilibatkan. Berarti memang sedang seksi isu ini,” ujarnya lagi.

Bagi Pemko Batam, kata Amsakar, apapun sistem ekonomi yang akan diterapkan di Batam tidak jadi masalah. Sebab Pemko Batam hanya ingin supaya tumpang tindih kewenangan antara BP Batam dan Pemko Batam selesai. Maka dipilihlah KEK sebagai jawaban untuk mengurai persoalan itu.

Menanggapi hal ini, Ketua Kadin Batam Jadi Rajagukguk membantah pengusaha berubah sikap. Menurut Jadi, sejak awal pengusaha tidak sependapat jika pemerintah mengubah status FTZ Batam menjadi KEK.

Bahkan, kata Jadi, pada 2016 kalangan pengusaha telah menyurati Presiden Joko Widodo agar rencana KEK Batam dibatalkan.

“Jadi tak benar kita hanya diam dan menerima,” kata Jadi.

Menurut Jadi, alasan pengusaha saat itu KEK sudah pernah diterapkan di Batam pada tahun 2013 dan tidak berhasil. Karenanya pemerintah pusat kala itu mengubah KEK menjadi FTZ dan berlaku sejak 2009.

“Kalau diubah lagi jadi KEK, itu merupakan langkah mundur,” kata Jadi.

Jadi mengakui, KEK hanya akan dinikmati pengusaha di satu kawasan khusus yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Bukan untuk masyarakat. Menurut dia jika KEK diberlakukan, fasilitas FTZ Batam akan hilang.

“Di undang-undang sendiri sudah jelas. Gimana ceritanya tidak hilang,” tuturnya.

Jadi juga membantah FTZ di Batam gagal. Apalagi jika diukur dari maraknya penyelundupan dan potensi kerugian negara. “Namanya penyeludupan pasti ada di negeri ini. Apalagi Batam sebagai daerah perbatasan,” katanya.

Kepala Kantor KPU BC Batam Susila Brata mengatakan saat ini pemerintah telah menetapkan Batam menjadi KEK. Sifatnya parsial atau enclave. Sehingga akan ada beberapa pabrik yang mungkin tidak akan masuk ke wilayah KEK.

“Apabila mau pindah ke KEK, Bea Cukai sudah menyiapkan programnya,” kata Susila.

Ketua DPRD Batam, Nuryanto, mengatakan kebijakan apapun yang diambil pemerintah pusat tetap akan berdampak kepada masyarakat. Untuk itu ia mengajak semua pihak duduk bersama mencari solusi terbaik untuk Batam.

“Apakah itu FTZ atau KEK yang merasakan masyarakat juga. Mumpung belum ada keputusan kita dudukkan bersama. Kalau bisa sama-sama kita ke pusat,” tuturnya.

Rapat dengar pendapat tersebut menghasilkan tiga rekomendasi. Pertama, kalangan pengusaha tetap menolak penerapan KEK di wilayah Batam. Kedua, meminta pemerintah mempertahankan status FTZ Batam sesuai amanat Undang Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang FTZ. Dan ketiga, pengusaha meminta pemerintah fokus dengan peningkatan pelayanan publik. (rng/gas)

Update