Kamis, 18 April 2024

Pengusaha Was-Was Pelemahan Rupiah

Berita Terkait

batampos.co.id – Pergerakan Rupiah yang masih fluktuatif dan masih cenderung ada di level di atas Rp 14.000 membuat pelaku usaha merasa was-was. Saat ini mereka mengaku berupaya untuk tidak menaikkan harga-harga produk. Namun jika tren tersebut berlanjut dikhawatirkan dapat memaksa pengusaha untuk memangkas produksi.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengungkapkan bahwa dengan adanya pelemahan Rupiah, pasti akan ada peninjauan dari biaya produksi. ”Namun demikian tidak otomatis harga itu bisa dinaikkan mengikuti dari perkembangan bahan baku. Karena kita kan harus menyesuaikan dengan daya beli masyarakat,” ujar Hariyadi, Sabtu (2/6).

Namun jika pelemahan berlanjut, menurut Hariyadi, akan berpotensi menurunkan kapasitas produksi. ”Selama ini yang bisa dilakukan adalah mendesverifikasi produk. Misal kemasan dikecilkan atau pemindahan stok dari satu daerah ke daerah lain,” tambahnya.

Pelaku usaha pun mengharapakan pelemahan Rupiah bisa mencapai titik keseimbangan baru. Sehingga pelaku usaha dan market dapat merespon dengan pasti. Lemahnya Rupiah mempengaruhi produksi sebagian besar sektor usaha. Sebab, komponen bahan baku impor di sebagian besar jenis usaha. ”Hampir semua sektor mengalami impor, farmasi, otomotif, sektor kimia, semua sektor kita relatif besar komponen impornya,” bebernya.

Hariyadi menambahkan saat ini arus impor terutama dari Tiongkok sudah menjadi lebih mudah dan lebih murah. Jika hal itu terus-terusan terjadi dalam jangka waktu panjang, pelaku usaha menganggap hal tersebut dapat berpengaruh pada ketahanan Rupiah.

Sementara itu, Ekonom Insitute Development of Economics and Finance Bhima Yudistira Adhinegara mengungkapkan bahwa Gubernur Bank Indonesia yang baru yakni Perry Warjiyo memang sangat diharapkan termasuk oleh pelaku usaha untuk dapat melakukan terobosan untuk menjaga nilai tukar Rupiah.

”Sejak awal tahun 2018 rupiah sudah melemah -4,62 persen (year-to-date). Respon BI sebelumnya yang terlambat menyesuaikan bunga acuan harus disikapi oleh Gubernur BI yang baru,” ujar Bhima.

Menurut Bhima, sebagai langkah strategis BI harus konsisten menerapkan intervensi cadangan devisa. Salah satunya adalah bersama Pemerintah untuk membuat Perpu UU Lalu Lintas Devisa No.24/1999.

”Poin Perpu adalah mewajibkan eksportir untuk menahan devisa hasil ekspor minimum enam bulan di bank domestik. Tujuannya memperkuat devisa ekspor. Cara ini efektif untuk meredam pelemahan nilai tukar di Thailand,” tambahnya.

Di samping itu, untuk menjaga nilai tukar Rupiah, pemerintah juga perlu menjaga inflasi tetap rendah dengan berbagai bauran kebijakan serta koordinasi lintas bidang.

”Pemerintah daerah harus berperan aktif menjaga pasokan dan harga pangan karena volatile food merupakan komponen paling besar inflasi terutama disaat Ramadhan dan Lebaran,” beber Bhima.

BI juga bisa memperkuat early warning system di tiap daerah. Bagi daerah yang mengalami kekurangan pasokan pangan, bisa langsung koordinasi dengan daerah lain yang kelebihan pasokan.

Bhima melanjutkan bahwa BI punya fungsi mendorong pertumbuhan ekonomi. Tidak sekedar bermain aman dengan utak-atik instrumen moneter agar stabilitas keuangan terjaga, namun juga harus pro growth policy.

”Sebagai contoh BI perlu merelaksasi loan to value agar DP kredit rumah dan kendaraan bermotor bisa lebih murah lagi. Ujungnya pertumbuhan kredit naik, industri naik dan perekonomian bisa tumbuh diatas 5,1 persen,” pungkasnya. (agf/jpg)

Update