Sabtu, 20 April 2024

Kenaikan Pajak Hiburan Ditunda, Berlaku mulai 1 Januari 2019

Berita Terkait

ilustrasi

Pemerintah Kota Batam dan DPRD Kota Batam sepakat menunda penerapan pajak tempat hiburan yang seharusnya berlaku 2018 ini menjadi 1 Januari 2019. Efeknya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dipastikan melorot hingga puluhan miliar.

Wendy Fho duduk di sofa yang membentuk lingkaran di ruang tunggu The Spa Secret, Komplek Nagoya Garden, Fase 1 Blok D Nomor 1-3, Nagoya, Selasa (11/9) lalu. Ia menyeruput teh jahe panas dari gelasnya. Sudah tiga kali ia berkunjung ke tempat spa ini. Dia menjadikannya tempat favorit dan wajib kunjung kala ada urusan bisnis ke Batam.

“Saya sangat menikmati pelayanan spa di sini. Pelayan yang ramah, terapisnya pintar merelaksasi, suasananya bersih dan tenteram, dan harganya yang sangat terjangkau dibanding saya spa di Auriga (nama salah satu tempat spa di Singapura, red),” ujar pengunjung dari Singapura ini.

Sembari melihat email dari layar ponselnya, Wendy mengungkapkan ia selalu memilih paket Balinese Spa atau spa tradisional apabila berkunjung ke The Spa Secret. Menikmati spa hampir tiga jam dengan beragam pelayanan mulai dari refleksi, pijat, sauna, scrub, hingga berendam sudah bisa didapatkan dengan membayar kurang dari 80 dolar Singapura atau sekitar Rp 800 ribu.

“Saya merasa sangat sehat dan rileks keluar dari sini usai tiga hari yang seru menikmati permainan jetsky di Lagoi,” ujar perempuan 34 tahun itu.

Spa, memang menjadi tiang pendukung penggerak pertumbuhan pariwisata di Kepri, khususnya Batam. Selain wisata belanja, kuliner, bahari, dan golf, spa menjadi tak bisa dihilangkan perannya sebagai bagian dari peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara di pulau berbentuk kalajengking ini.

Lima tahun yang lalu, bisnis spa sangat menjanjikan di Kota Batam. Banyak wisatawan mancanegara dan lokal tertarik menikmati pelayanan jasa ini. Namun, sejak dua tahun terakhir, terjadi penurunan kunjungan. Krisis ekonomi global menjadi alasannya.

Manajer Operasional The Spa Secret, Kamilus Sundu mengungkapkan memang terjadi penurunan kunjungan tamu sejak beberapa tahun terakhir. “Apalagi kalau hari biasa. Tapi cukup menjanjikan itu weekend. Lumayan ramai,” ungkapnya.

Setiap akhir pekan, The Spa Secret, perusahaan spa yang sudah dua kali mendapatkan penghargaan taat pajak dari Pemko Batam ini mampu menerima sekitar 100 tamu dalam sehari. Meski tinggi, Kamilus mengungkapkan itu sudah menurun dibanding awal-awal berdiri usaha spa mereka yang mampu menerima sekitar 200-an tamu.

“Makanya saat Dispenda datang ke sini, bilang pajak hiburan spa mau dinaikkan dari 15 menjadi 35 persen, sangat memberatkan. Makin susah kita bergerak nanti,” ujar Kamilus.

Menurutnya, kenaikan pajak di bidang usaha jasa tersebut sebenarnya tak masalah asal kondisi riil di lapangan sesuai, ekonomi bergerak baik, dan tingkat kunjungan spa stabil.

“Kalau turis masuk ke Batam, kalau banyak tak masalah. Tapi pada kenyataannya sedikit. Kalau pemerintah mau menaikkan pajak lagi, ya tunggulah pariwisata Batam baik dulu,” pintanya.

Di tempat terpisah, Ketua Asosiasi Spa Indonesia (Aspi) Kepri, Alfian, mengungkapkan spa adalah jasa. Pemko Batam mestinya menempatkan spa tidak termasuk ke bagian hiburan melainkan bagian dari pariwisata dalam hal penentuan pajak.

“Tapi yang berlaku selama ini, pajak spa dimasukkan ke pajak hiburan. Pemko harus memperbaiki itu,” ungkap Alfian, Kamis (14/9) lalu.

Undang-Undang Pariwisata dan Kementerian Kesehatan menyebutkan spa bukan termasuk bagian dari jasa hiburan seperti karaoke atau yang lain. Spa berdiri sendiri menjadi salah satu bagian dari pariwisata. Hal ini diatur dalam UU Nomor 10/2009 pasal 14 huruf M.

“Namun hal ini berbanding terbalik dengan Perda Nomor 07/2017 yang menyebutkan pelayanan spa masuk ke katagori hiburan dan kami wajib bayar pajak hiburan. Kan aneh. Perda harusnya mengacu ke UU,” ujarnya.

Alfian juga menyebutkan, banyak usaha spa yang sudah tutup. Tahun 2017 saja 10 spa di Batam tutup, 2018 banyak yang tersendat. Ia berharap kebijakan apapun yang dikeluarkan sebaiknya berorientasi pada eksistensi dunia usaha, bukan sebaliknya. “Kalau pajak spa naik, ya beratlah, memang lebih baik ditunda sampai kondisi ekonomi membaik,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Kadin Batam Jadi Rajagukguk mengatakan saat ini ada sekitar 200-an usaha spa sehat di Batam. Jumlah itu termasuk usaha spa di hotel dan mall, tidak termasuk panti pijat.

“Ini mau kita data ulang lagi supaya para pengusaha-pengusaha nakal yang mengatasnamakan spa tapi tidak difungsikan dengan sebenarnya kita depak. Yang masuk ke bidang jenis usaha spa itu diatur bukan hanya di Dinas Pariwisata tapi juga di Dinas Kesehatan,” ujar Jadi.

Ia mendukung langkah Pemko dan DPRD Batam yang akhirnya mau menunda kenaikan pajak hiburan, meski Perda Nomor 7 Tahun 2017 sudah mewajibkan dipungut. Menurutnya, situasi ekonomi saat ini memang belum layak pajak dinaikkan.

***

Ketua DPRD Kota Batam Nuryanto mengatakan Perda Kota Batam Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pajak Daerah tidak serta merta lahir begitu saja. Prosesnya panjang. Setelah ditetapkan November 2017, perda ini sudah berlaku dan Desember 2017 itu mestinya Pemko Batam sudah menarik pajak hiburan sesuai ketentuan baru.

foto: cecep mulyana / batam pos

“Perda ini tidak tiba-tiba lahir atau dalam bahasa Jawa ujug-ujug. Mestinya sudah berlaku. Tetapi tidak dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam. Namun ditunda,” jelas Nuryanto dalam Diskusi Publik Kenaikan Pajak dan Retribusi di Hotel Harris Batam Center, Rabu (12/9).

Nuryanto pun menceritakan, proses pembuatan Perda ini berdasarkan usulan dari Pemko Batam. Perda ini sudah ada sebelumnya yakni Perda Nomor 5 Tahun 2011 Pajak Daerah. Namun melihat waktunya memang sudah perlu direvisi. Jadi tahun 2015, usulan sudah masuk. Dalam proses selanjutnya, DPRD Kota Batam menerima usulan tersebut. DPRD Batam dan Pemko Batam kemudian membahas Rancangan Peraturan Daerah Kota Batam tentang Pajak dan Retribsui Daerah.

“Secara terbuka dan secara umum juga dibahas
dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada. Dengan para pemangku kepentingan di Kota Batam,” paparnya.

Dalam proses pembahasannya itu, pelaku usaha dan seluruh pemangku kepentingan diundang. Harapannya supaya DPRD Kota Batam mendapat masukan. Masukan dari seluruh masyarakat yang berkepentingan terhadap peraturan daerah ini. “Perda ini kan filosofinya untuk kita bagi kita. Dan ini diperlukan semua masyarakat,” ujar Nuryanto.

Sebelum DPRD Kota Batam mengambil keputusan mengetuk palu untuk menetapkan perda, DPRD Kota Batam menyampaikan ranperda kepada gubernur dan Menteri Keuangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 157 UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ayat (2).

Pada ayat dua disebutkan, Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.

Selanjut, pada ayat 4 disebutkan; gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan undang-undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

Pada ayat (5) Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Lalu ayat (6) menyebutkan, hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau penolakan.

Pada pertengahan Agustus 2017, Badan Pembuatan Peraturan Daerah (Bapperda) DPRD Kota Batam menerima hasil evaluasi dari Gubernur Kepri terhadap Rancangan Peraturan Daerah Kota Batam tentang Pajak Daerah. Dari hasil evaluasi itu ada beberapa hal yang berubah.

Nuryanto melanjutkan, setelah disepakati, ranperda kemudian disetujui dan ditetapkan sebagai Perda Kota Batam Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pajak Daerah yang mulai berlaku sejak tanggal 20 November 2017 Perda ini bukan hanya mengatur tentang pajak hotel dan restoran. Pajak bumi dan (PBB) diatur dalam perda tersebut.

“Perda tersebut semestinya berlaku sejak diundangkan. Namun ditunda. Begitu pula pajak PJU, pelaksanaanya ditunda sampai 1 Januari 2019. Itu pertimbangannya karena awal tahun ini berbarengan dengan kenaikan TDL (tarif dasar listrik) dari provinsi. Maka pemerintah kota (Batam) mengajukan ke kita (DPRD Batam) meminta izin ditunda. Belum dilaksanakan,” jelas dia.

DPRD Batam pun merespon dan membalas surat permintaan penundaan berlakunya Perda Kota Batam Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pajak Daerah. Menurut Nuryanto, pada prinsipnya, DPRD Kota Batam memahami permasalahan yang terjadi sehingga menghimbau agar ditunda. “Kita mendukung. Bahkan kalau mau direvisi pun kita dukung demi kepentingan masyarakat,” tegas dia.

Maka Pemko Batam menunda pemberlakuan Perda Kota Batam Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pajak Daerah hingga Februari 2018. Penundaan ini merupakan kebijakan seiring masih lesunya ekonomi Batam. Penundaan ini tertuang dalam Peraturan Wali Kota Batam Nomor 72 tahun 2017 tentang Pemberian Keringanan Pajak Daerah Berupa Penundaan Kenaikan Tarif Pajak.

Setelah penundaan tersebut, penerapan kenaikan pajak yang merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Batam Nomor 7 tahun 2017 tentang Pajak Daerah revisi Perda Nomor 5 tahun 2011 ini berlaku terhitung sejak 1 Maret 2018 dan pembayaran April 2018.

Pemko Batam yakin memberlakukan perda tersebut karena sudah tidak ada lagi keberatan dari pihak pengusaha. Wali Kota Batam Muhammad Rudi kala itu (Selasa, 28/2) mengatakan belum ada pihak yang menyampaikan keberatan atas kenaikan pajak tersebut secara resmi ke Pemko Batam. Maka dari itu, kala itu belum ada pembahasan yang dapat menghasilkan aturan baru.

Namun pada menit-menit terakhir, beberapa pengusaha kembali menyatakan keberatan. Para pengusaha kemudian menemui DPRD Kota Batam meminta penundaan kenaikan pajak pada 26 Maret 2018. menindaklanjuti permintaan tersebut, Wali Kota Batam Rudi berkirim surat kepada DPRD Kota Batam pada 29 Maret 2018. Ada beberapa opsi yang ditawarkan Wali Kota Batam.

Intinya, kata Nuryanto, ada tiga opsi. Pertama, menurunkan tarif pajak daerah sebagaimana yang tertuang dalam pasal 19 Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pajak Daerah. Penurunan tersebut diminta dari 35 persen untuk pajak diskotek, karaoke, panti pijat dan sejenisnya, menjadi 25 persen.

Kedua, mengajukan penundaan kenaikan pajak hingga 31 Desember 2018. Sementara tertanggal 1 Januari 2019, berlaku tarif 35 persen sebagaimana kebijakan awal di Perda.

Ketiga, menunda penerapan pajak daerah sebagaimana Perda Nomor 7 Tahun 2017 yang sudah berlaku 1 Maret lalu, selanjutnya dapat diberlakukan 1 Januari 2019. Dengan demikian, tarif pajak diskotek, karaoke, panti pijat dan sejenisnya saat ini, dikembalikan ke tarif sebelum perda tersebut lahir, yakni pengusaha membayar sebesar 15 persen.

“Kami sudah bersurat ke DPRD untuk kesepakatan solusinya. Ada dua usulan kami, ditunda dan atau diturunkan tarifnya menjadi 25 persen,” kata Kepala Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Kota Batam, Raja Azmansyah, Jumat 6 April 2018.

Polemik pun kembali muncul, sebab para pengusaha tetap menyatakan keberatannya dengan kenaikan pajak hiburan. Kadin Batam turun tangan hingga menggelar diskusi publik Membedah Kenaikan Pajak dan Retribusi. Dalam kesempatan itu, Nuryanto mengungkapkan, dalam pembahasan perda, panitia khusus (pansus) mengundang para pemangku kepentingan untuk mendapatkan informasi dan aspirasi, supaya perda tersebut ideal. Tetapi, mereka tidak datang. Kadangkala hanya menugaskan karyawannya yang tidak bisa mengambil keputusan.

“Kalau cerita karyawan ini kan pasti pasif. Setelah dilaksanakan, setelah (Perda) jadi, malah toke-tokenya yang komplain. Ini juga masalah,” keluah Nuryanto.

Padahal, lanjutnya, pembahasan perda tersebut sangat terbuka. Sebab, sambungnya, wakil rakyat tidak ingin menyusahkan rakyat. Maka dalam pembahasan itu DPRD Kota Batam mengundang seluruh pemangku kepentingan. Pembahasannya pun berdasarkan kajian-kajian dan masukan dari para akademisi maupun para pengusaha. Namun demikian, Pemko Batam memahami kondisi ekonomi, sehingga menunda pemberlakuan perda.

“Mestinya ini kan setelah dibahas, direvisi, disampaikan ke gubernur hingga kementerian. Karena kondisi ekonomi kita agak lemah, maka ditunda lah pelaksanaannya,” katanya.

Namun ia menyatakan DPRD Batam merestui Pemko Batam untuk menunda kenaikan pajak hiburan hingga 1 Januari 2019. Bahkan ada kemungkinan akan direvisi juga.

“Kami mengerti. Makanya jika direvisi kami akan mendukung. Demi kepentingan masyarakat,” kata Nuryanto di Hotel Harris, Selasa (12/9).

***

Dilansir dari laman Sistem Informasi Penerimaan Daerah Pemko Batam, pajak spa masih masuk dalam katagori pajak hiburan dengan target 2018 sebesar Rp 29,19 miliar dan pencapaian sudah 73,07 persen atau sekitar Rp 21,32 miliar

Sedangkan pajak hotel, realisasi penerimaan Rp 76,41 miliar dari target Rp 117,91 miliar. Pajak restoran realisasinya Rp 49,42 miliar dari target Rp 68,6 miliar. Sedangkan pajak PBB-P2 dari target 2018 sebesar Rp 158,58 miliar sudah terealisasi sekitar 77,15 persen atau sebesar Rp 122,35 miliar.

Target-target tersebut kini direvisi seiring dengan penundaan penerapan Perda Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pajak Daerah. Secara umum, target PAD Batam dikurangi hingga Rp 22,8 miliar dari target Rp 1,25 triliun. Rinciannya, sektor pajak dari target Rp 970,97 miliar berkurang menjadi Rp 937,57 miliar. Sementara sektor retribusi naik dari target Rp 122,7 di APBD murni 2018 jadi Rp 123,6 di APBD Perubahan 2018.

Nuryanto menegaskan, konsekwensi penundaan pajak hiburan itu memang membuat PAD melorot. Penundaan pajak hiburan antara lain pajak diskotik, karaoke, klub malam, panti pijat, refleksi, mandi uap, spa, dan sejenisnya.

Selain itu, tarif Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU) yang juga naik 10 persen ikut ditunda juga hingga 1 Januari 2019. ”Karena sudah ada kenaikan tarif dasar listrik, makanya ikut ditunda dulu biar tak memberatkan masyarakat,” ucapnya lagi.

Namun, Perda kenaikan pajak ini juga dianggap menyalahi aturan. Penyebabnya adalah karena salah satu pajak yakni pajak ketangkasan atau gelanggang permainan naik dari 15 persen menjadi 50 persen.

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Batam, Raja Azmansyah, membenarkan penundaan tersebut berdampak pada target pendapatan. “Sangat berpengaruh karena target itu sudah termasuk kenaikan tarif. Tapi estimasi kehilangannya belum kami dapat,” kata dia. (Target bisa dilihat di tabel)

Wali Kota Batam Rudi juga membenarkan terjadinya penurunan PAD yang berimbas pada penurunan APBD-P 2018 dari APBD murni. Rudi membeberkan, penerimaan pendapatan dan pembiayaan semula sebesar Rp 2,629 triliun turun menjadi Rp 2,574 triliun atau berkurang 2,09 persen. Terjadinya penurunan di antaranya karena pendapatan APBD Batam semula Rp 2,541 triliun menjadi Rp 2,508 triliun atau berkurang 1,28 persen.

“Pendapatan 2018 berubah, untuk PAD dari semula sebesar Rp 1,258 triliun menjadi Rp 1,235 triliun atau turun 1,84 persen,” beber Rudi lagi.

Sumber PAD sendiri diterima dari target awal Rp 970.977.686.467 jadi Rp 937.572.399.745 atau turun 3,44 persen. Retribusi daerah dari Rp 122.701.944.387 menjadi Rp 123.605.840.000 atau naik 0,74 persen. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan tetap sebesar Rp 16.956.642.496. Kemudian, lain-lain PAD yang sah dari Rp 147.528.584.000 jadi Rp156.892.348.682 atau naik 6,35 persen.

Sementara dana perimbangan naik dari Rp 934.697.626.000 jadi Rp 969.985.587.826 atau naik 3,78 persen. Dana perimbangan itu diperoleh dari bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak semula sebesar Rp 161.394.733.000 jadi Rp 200.928.615.826 atau naik 24,50 persen. Sementara dana alokasi umum (DAU) tetap Rp 599.074.016.000.

“DAK semula Rp 174.228.877.000 jadi Rp169.982.956.000 atau turun 2,44 persen. Lain-lain pendapatan yang sah semula sebesar Rp 348.244.812.812 jadi Rp 303.591.365.381atau turun 12,82 persen,” sebutnya.

Untuk belanja daerah, pada perubahan APBD Batam tahun anggaran 2018 semula sebesar Rp 2.627.238.621.670 berubah menjadi Rp 2.572.288.383.286,26 atau berkurang 2,09 persen. Rencana belanja daerah ini dialokasikan untuk belanja tidak langsung semula sebesar Rp 872.635.865.929,95 menjadi Rp 925.453.732.774,59 atau naik 6,05 persen.

Selanjutnya, belanja tidak langsung dialokasikan untuk belanja pegawai semula sebesar Rp 835.526.461.084 jadi Rp884.207.427.929,59 atau naik 5,83 persen.

“Kenaikan belanja pegawai ini untuk mengakomodir pemberian tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13. Sementara belanja bantuan keuangan tetap sebesar Rp 1.716.454.845. Sedangkan untuk belanja langsung semula sebesar Rp 1.754.602.755.740 turun jadi Rp1.646.834.650.511 atau turun 6,14 persen,” jelas Rudi.

Auditor Madya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Muaz Fauzi mengatakan batas kenaikan pajak daerah itu tercantum dalam UU Nomor 28/2009.

“Pajak-pajak daerah itu dibatasi. Tidak boleh kurang atau lebih,” jelasnya.

Ia mengatakan sesuai dengan UU tersebut, kenaikan pajak hiburan hanya bisa sampai 35 persen saja.

“Tak boleh lebih, tapi kalau kurang tak masalah,” paparnya.

Selain itu, nilai pajak harus dievaluasi tiap tiga tahun sekali. ”Dalam UU tertinggi, jika ketentuannya tak diterapkan, maka itu dianggap cacat meski telah diterbitkan dalam tatanan proses yang pas,” katanya.(uma/cha/iza)

Update