Sabtu, 20 April 2024

Kompak Tarik Caleg Eks Napi Koruptor

Berita Terkait

batampos.co.id – Sejumlah partai berkomitmen menarik bekas napi korupsi dari daftar calon legislatif (caleg) meskipun Mahkamah Agung (MA) membolehkan mereka nyaleg.

Komitmen itu salah satunya ditunjukkan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai berlambang matahari putih itu tidak akan menindaklanjuti putusan MA. Bahkan, partai yang diketuai Zulkifli Hasan itu menyatakan akan menarik bakal caleg di DPRD yang ternyata memiliki latar belakang pernah melakukan pidana korupsi.

”Meski sudah ada kepastian hukum, PAN tetap konsisten untuk tidak mencalonkan (mantan) napi tipikor,” kata Eddy Soeparno, Sekretaris Jenderal DPP PAN di Jakarta, Minggu (16/9).

Eddy mencatat, ada satu bakal caleg PAN untuk DPRD provinsi, dan tiga bakal caleg DPRD kabupaten/kota yang berlatar belakang koruptor, masih berkeinginan maju caleg. Menurut dia, keputusan penarikan itu akan dilakukan sebelum penetapan Daftar Calon Tetap (DCT).

”Kami sudah berkomunikasi untuk dilakukan evaluasi terhadap pencalegan mereka,” kata Eddy.

Langkah yang sama akan dilakukan Partai Gerindra. Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, DPP Gerindra sudah menyampaikan ke DPD dan DPC untuk menarik caleg eks napi koruptor.

“Kami sudah minta untuk ditarik,” kata dia usai acara rekapitulasi daftar pemilih tetap hasil perbaikan (DPTHP) di kantor KPU, Minggu (16/9).

Ada lima caleg bekas napi koruptor dari Partai Gerindra. Yaitu M Taufik bacaleg DPRD DKI Jakarta, Ferizal bacaleg DPRD Kabupaten Belitung Timur, Mirhammuddin bacaleg DPRD Kabupaten Belitung Timur, Ai Hajar Syahyan bacaleg DPRD Tanggamus, Herry Kereh bacaleg DPRD Sulawesi Utara,  dan Husein Kausaha bacaleg DPRD Maluku Utara.

Namun, ada perlakuan khusus bagi M Taufik. Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta itu tidak diganti. Sebab, Taufik menjadi pemohon JR di MA. Riza mengatakan, pihaknya menghormati upaya hukum yang ditempuh M Taufik. “Setiap warga negara mempunyai hak membela diri. Kami harus hormati,” kata dia.

Sikap berbeda ditunjukkan Partai Golkar. Partai Beringin kemungkinan akan tetap mempertahankan sejumlah bakal caleg yang berstatus pernah terlibat korupsi di masa lalu itu.

”Kalau Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung berkata bahwa ini boleh, kami lakukan. Kalau berkata ini tidak boleh, tidak kami lakukan,” kata Rizal Mallarangeng, pelaksana tugas Ketua DPD Golkar DKI Jakarta, kemarin.

Koordinator Nasional Relawan Golkar Jokowi itu menyatakan, putusan hukum adalah produk yang harus ditaati. Apapun keputusan hukum itu, menurut Rizal, tentu menjadi landasan yang patut dihormati siapapun tanpa kecuali.

Ada lima caleg eks napi koruptor dari Partai Golkar. Mereka adalah Heri Baelamu bacaleg DPRD Pandeglang, Dede Widarso bacaleg DPRD Pandeglang, Edy Muklison bacaleg DPRD Kabupaten Blitar, Saiful Talib Lami bacaleg DPRD Tojo Una-Una, Hamid Usman bacaleg DPRD Maluku Utara.

Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, KPU harus segera merevisi PKPU Pencalonan setelah turun putusan MA. Menurut dia, hanya tersisa waktu tiga hari untuk merevisi, karena pada 20 September nanti sudah harus dilakukan penetapan daftar calon tetap (DCT) serentak di seluruh Indonesia.
.

Soal pemberian tanda bagi eks korupsi pada surat suara, Abhan mengatakan pihaknya masih akan mengkajinya. Mungkin bisa dimasukkan ke dalam PKPU. Namun, jangan sampai cara itu malah dinilai diskriminatif.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menambahkan ada dua catatan kritis atas putusan MA yang membolehkan eks napi korupsi bisa dipilih dalam pileg. Pertama, terkait dengan proses pengujian materi di MA diduga tidak sesuai prosedur. Sebab, dilakukan sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menyelesaikan uji materi atas UU Nomor 7 tahun 2017.

”Padahal, menurut pasal 55 UU Nomor 24 tahun 2003 tentang MK menyebutkan bahwa proses uji materi peraturan perundang-undangan di MA dilakukan setelah proses uji materi di MK selesai,” ujarnya kemarin.
Selain catatan itu, Donal yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih itu juga mencatat bahwa proses pengujian di MA terkesan tidak terbuka.

”Padahal, larangan (eks napi kejahatan luar biasa, red) ini merupakan polemik panjang,” imbuh dia.
(lum/bay/syn/tyo)

 

 

Update