batampos.co.id – Para pelaku industri di Batam bereaksi menanggapi rencana kenaikan harga jual gas bumi. Mereka meminta kebijakan tersebut ditunda, karena saat ini kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih.
“Kita hanya minta pengertian dari pengambil keputusan yaitu Kementerian ESDM supaya tidak menaikkan harga gas,” kata Wakil Ketua Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri, Tjaw Hoeing, Selasa (18/9).
Ia mengatakan, rencana kenaikan harga gas industri diperkirakan berada di kisaran 55 persen dari harga normal saat ini, yakni 5,8 dolar Amerika per MMBTU. Kenaikan tersebut, kata Tjaw Hoeing, tentu akan memukul sektor industri yang saat ini sudah beralih menggunakan gas alam.
Tak hanya menambah beban industri, harga jual listrik untuk pelanggan industri juga pasti akan mengalami penyesuaian. Imbasnya, industri akan mengalami perlambatan.
“Dan kemudian mereka akan relokasi karena Batam sudah menurun daya saingnya,” paparnya.
Pria yang akrab disapa Ayung ini mengatakan, sebenarnya Batam memiliki alternatif pasokan gas alam dari Natuna. Selama ini, gas bumi ke Batam dipasok dari sumur ConocoPhillips di Grissik, Sumatera Selatan.
Karenanya, Ayung berharap agar rencana pembangunan pipa gas dari Natuna ke Batam segera direalisasikan. Meskipun, pasokan baru gas bumi dari Natuna itu nantinya tidak menjamin akan menekan harga gas bumi di Batam.
“Apakah nanti harga jual di Batam akan kompetitif mengingat yang dari Natuna itu dari sumur offshore, sedangkan dari Grissik masih onshore,” katanya.
Keresahan yang sama juga disampaikan PT Bright PLN Batam. Sebab sekitar 75 persen produksi listrik PLN Batam saat ini dipasok dari pembangkit berbahan bakar gas bumi (PLTG).
“PLN Batam tidak menerima subsidi dan sistem pentarifan diatur regulasi Pemda. Jika harga gas bumi, maka akan mengubah struktur biaya operasional secara signifikan,” kata Kepala Departemen Perencanaan PLN Batam Kirana, Selasa (18/9).
Beberapa cara yang ditempuh PLN adalah mengupayakan agar pemerintah pusat dapat berperan serta untuk mengalokasikan gas bumi bagi PLN Batam sesuai kebutuhan dengan harga sesuai kemampuan bayar PLN Batam.
Kemudian mengusulkan ke Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) dengan skema harga staging.
“Staging harga ini dimaksud agar PLN Batam memiliki waktu yang cukup melakukan program-program peningkatan bauran energi primer dan tingkatkan efisiensi di operasional pembangkitan,” katanya.
Dan untuk meningkatkan efisiensi operasi sistem pembangkitan, maka harus dapat dipastikan bahwa Heat Recovery Steam Generator (HRSG) Tanjunguncang dapat beroperasi secara maksimal pada 1 Oktober 2018.
“Lalu penambahan HRSG pada IPP Energi Listrik Batam dengan target operasi pada awal 2021 nanti,” katanya.
Dan terakhir mempercepat pembangunan PLTU Bintan 2 x 65 MW.
Terpisah, Kabid Ketenagalistrikan Dinas Pertambangan dan Energi Pemprov Kepri Marzuki mengatakan Gubernur Kepulauan Riau sudah mengirimkan surat kepada Presiden bernomor 120/3032/UM/SET perihal harga gas untuk domestic market obligation (DMO) Batam dan Kepri.
“ConocoPhillips sudah mengajukan penyesuaian harga sejak 2017. Kenaikan tarif listrik karena kenaikan harga gas akan menurunkan daya saing Batam. Dikhawatirkan para investor akan relokasi ke negara-negara tetangga,” katanya.
Dalam surat ini Gubernur meminta DMO dapat dimanfaatkan secara maksimal karena Kepri merupakan penghasil gas. “Tujuannya agar biaya pokok produksi (BPP) dan tarif listrik yang disediakan PLN dapat dikendalikan sehingga menjadi daya tarik bagi investor,” ucapnya.
Gubernur juga meminta agar pemerintah jangan menaikkan harga gas bumi dan pemerintah juga mengalokasikan gas sesuai kebutuhan Kepri.
Industri di Batam sangat bergantung kepada pasokan gas. Untuk saat ini harga gas bumi untuk industri di Batam mencapai 5,8 dolar Amerika per MMBTU. Pemakaian rata-rata perhari dari tiga perusahaan kawasan industri tersebut sebesar 16.800 MMBTU per hari.
Contohnya Batamindo. Di sana ada 68 perusahaan dengan karyawan sebanyak 45 ribu. Dalam sehari, kebutuhan gas di kawasan industri itu mencapai 11.800 MMBTU per hari atau 354 ribu MMBTU per bulan.
Pasokan gas tersebut digunakan untuk menyokong pembangkit listrik berdaya 125 Megawatt dengan beban puncak 60 Megawatt.
Sedangkan Panbil memiliki 26 perusahaan dengan karyawan sebanyak 12.500 orang. Kebutuhan gas di sana mencapai 3.500 MMBTU per hari dan atau 110 ribu MMBTU per bulan. Gas tersebut digunakan untuk menyokong pembangkit listrik berdaya 32 Megawatt dengan beban puncak 18 Megawatt.
Sebenarnya pemerintah juga tengah berupaya membangun pipa dari West Natuna Transportation System (WNTS) ke Pulau Pemping untuk memanfaatkan gas bumi dari Natuna.
“Ini dalam rangka pelaksanaan DMO migas dengan harga khusus untuk Kepri,” ujarnya.
Sedangkan perwakilan dari SKK Migas Wahyu mengatakan, pembangunan pipa WNTS menuju Pemping belum terealisasi. “Ini mengakibatkan belum terealisasinya pengaliran gas dari Premier Oil ke Batam yang berdampak pada tertundanya penerimaan negara,” ucapnnya.
Sebelumnya Menteri ESDM telah menetapkan KepMen ESDM Nomor 6105 K/12/MEM/2016 tertanggal 19 Juli 2016 tentang penugasan kepada PGN dalam pembangunan dan pengoperasian pipa gas bumi dan pipa WNTS ke Pulau Pemping.
“Terkait pelaksanaan KepMen tersebut saat ini masih dilakukan koordinasi antara PGN dan PLN terkait estimasi biaya pembangunan pipa,” ungkapnya.
Di samping itu, PLN Batam, kata Wahyu, juga sudah meminta Menteri ESDM untuk pembelian gas wilayah kerja Corridor secara langsung dari ConocoPhilips (Grissik) Ltd (CPGL) atau melalui PLN Persero setelah berakhirnya kontrak jual beli dengan PGN Batam pada Juli 2019 nanti.
Sementara Sales Head Area Manager PGN Batam Amin Hidayat mengatakan pihaknya masih menyusun perhitungan proyek pembangunan pipa WNTS. “Investasi pipa mahal sekali jika dibangun dari nol. Itu mengapa justru akan menjadi lebih mahal jika menarik gas ke Batam,” ujarnya.
Makanya hingga saat ini PGN masih mengandalkan pasokan gas dari wilayah kerja ConocoPhillips di Grissik.
“Untuk WNTS masih belum ketemu antara PGN dan PLN. Tapi dari pemerintah akan didorong terus,” jelasnya. (leo)