Kamis, 25 April 2024

TNI AU akan Bangun Apron Pesawat Tempur di Pulau Batam

Berita Terkait

Gelar Apel Antisipasi Kejadian Bencana

Ganjar Tegaskan Akan jadi Oposisi

Petugas ATC di Bandara Hang Nadim.
foto: batampos.co.id / yusuf hidayat

batampos.co.id – Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) akan menyiagakan empat pesawat tempur di Batam. Langkah ini sebagai upaya TNI menjaga keamanan dan kedaulatan negara, terutama terkait pengelolaan wilayah ruang udara (flight information region/FIR) Kepri yang masih dikendalikan Singapura.

“Ini soal keamanan wilayah udara. Batam itu strategis. Sehingga saya bermaksud membuat atau menempatkan pesawat di sini, tapi sifatnya sementara,” kata Kepala Staf TNI-AU Marsekal TNI Yuyu Sutisna saat berkunjung ke kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Selasa (25/9).

Yuyu menjelaskan, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan agar FIR yang dikelola Singapura segera diambil alih. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, FIR tersebut harus sudah diambil alih oleh Indonesia pada tahun 2024.

Namun, kata Yuyu, Presiden minta paling lama FIR sudah diambil alih tahun 2019. Yuyu menyebut pengambil-alihan FIR ini bukan hanya melalui lobi-lobi dan bahasa diplomasi, tetapi juga perlu ada jaminan keamanan dari pemerintah Indonesia, khususnya keamanan wilayah udara.

“Maka perlu ditempatkan pesawat tempur,” kata Yuyu.

Yuyu mengungkapkan akan menempatkan kira-kira satu flight atau empat pesawat tempur di Batam. Terdiri dari Sukhoi, F16, Hercules, dan F50. Namun semuanya tidak akan berada di Batam tiap hari, artinya jika benar-benar diperlukan baru ke Batam.

Selain itu, TNI-AU juga akan membangun shelter dan apron khusus untuk pesawat-pesawat tempur itu. Lokasinya masih dibahas. Namun kemungkinan akan dibangun di ujung Pulau Batam.

TNI-AU juga akan menempatkan pasukan pendukung yang terdiri dari 50 hingga 60 orang. Sebagian besar adalah teknisi yang bertugas memelihara pesawat-pesawat tersebut.

“Kami sudah terbiasa ke sini, rutin, tak ada masalah. Tapi kami numpang di bandara dan itu akan ganggu pergerakan dari pesawat komersial. Makanya, kami minta tempat privat biar tak ganggu yang lain. Ketika tak digunakan lagi, bisa digunakan yang lainnya,” paparnya.

Selama ini, jika ada pesawat tempur yang singgah di Batam, pesawat tersebut parkir di Bandara Hang Nadim. Misalnya saat akan ada latihan perang di Natuna, beberapa waktu lalu.

“Makanya jika sudah mendapat izin dari atas, kami akan segera bangun (apron sendiri),” paparnya.

Di tempat yang sama, Kepala BP Batam Lukita Dinarsyah Tuwo mengatakan BP mendukung niat TNI-AU tersebut.

Kepala Staf TNI-AU Marsekal TNI Yuyu Sutisna, duduk berdampingan dengan kepala BP Batam, Lukita D Tuwo

“Namun supaya infonya tidak bias, TNI-AU bukan bangun pangkalan militer di sini, tapi hanya lakukan sesuatu yang sudah dilaksanakan saja,” ucapnya.

Menurut Lukita, penempatan personel dan pesawat tempur TNI-AU di Batam akan memberikan jaminan kepastian pembangunan ekonomi di Batam.

“Kami berharap ini bisa segera dilaksanakan,” katanya.

Seperti diketahui, sejak Maret 1946 atau sejak 72 tahun silam, ruang udara Indonesia di wilayah Kepulauan Riau yang mencakup Batam, Tanjungpinang, dan Natuna berada di bawah kendali Singapura. Luas penguasaan Singapura atas wilayah udara ini mencapai 100 nautical mile. Satu nautical mile setara 1,825 kilometer.

Hak kendali ruang udara atau FIR Kepri oleh Singapura ini merupakan hasil keputusan dari pertemuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO di Dublin, Irlandia, Maret 1946 silam.

Berdasarkan mandat dari pertemuan ICAO itu, seluruh pesawat-termasuk pesawat militer Indonesia- yang ingin mendarat, lepas landas, atau sekedar melintas di langit Batam, Tanjungpinang, dan Natuna, wajib diinformasikan kepada Singapura dan harus mendapat izin Singapura.

Lebih daripada itu, Singapura juga berhak memungut fee atau bayaran dari seluruh maskapai yang melintasi FIR, termasuk fee dari maskapai Malaysia yang melintas dari kota-kota Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur di Kalimantan dan sebaliknya. Tarifnya dalam dolar Amerika.

Seluruh pengawasan dan pengaturan lalu lintas udara di area FIR ini dipusatkan di Bandara Internasional Changi, Singapura. Pemandu yang bertugas di Changilah yang berhak mengeluarkan izin take off dan landing di Batam, Tanjungpinang, dan Natuna.

Untuk memperoleh izin keberangkatan dan pendaratan pesawat, pengelola Bandara Hang Nadim Batam mengajukan permohonan melalui approach centre unit (APP) di Tanjungpinang. APP Tanjungpinang kemudian meneruskan permohonan itu kepada area control centre (ACC) di Changi, Singapura. Apapun jawaban Singapura, baik “OK” maupun “tunggu sebentar”, disampaikan lagi melalui Tanjungpinang untuk diteruskan ke Hang Nadim.

Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali berupaya mengambilalih pengelolaan FIR dari Singapura. Setelah hasil yang mengecewakan di Bangkok pada Mei 1993, Indonesia terus berupaya melakukan perundingan dengan Singapura.

Setidaknya terjadi empat kali pertemuan membahas FIR. Di antaranya pertemuan bilateral di Jakarta tahun 1994 dan tahun 1995 di Singapura. Ada juga pertemuan tahun 2009 di Bali yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Lalu pembahasan di Bali pada Januari 2012 lalu. Dan terakhir Presiden Joko Widodo menyampaikan akan mengambilalih pengelolaan FIR di Kepri saat bertemu Menteri Koordinator Keamanan Singapura, November 2015 lalu. (leo)

Update