Sabtu, 20 April 2024

Ketika Cucu Pahlawan Revolusi Menonton Pengkhianatan G30S/PKI

Berita Terkait

PADA tahun 1986 itu ia berumur 8 tahun. Anak itu dipanggil Nano. Keluarganya baru saja kembali dari penugasan di Amerika. Di Jakarta, TVRI saban tahun menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI. Nano menonton. Mamanya mendampinginya. Nano menyaksikan film itu seakan tanpa berkedip. Sepanjang penayangan ia tak bertanya.

Usai film ia bertanya pada ibunya, “Mom, what is a communist? Was it them who killed Eyang Tojo?

Si Mama tak bisa menjawab, kecuali dengan kalimat menghibur dan menghindar “…tunggu sampai kamu cukup umur untuk bisa mengerti apa yang nanti mama jelaskan.”

Mama yang tak bisa menjawab itu adalah Nani Nurrachman Sutojo, anak dari salah satu jenderal yang dibunuh dinihari 1 Oktober 1965, Jenderal Sutojo Siswomihardjo.
Nani menceritakan itu dalam bukunya “Kenangan Tak Terucap, Saya, Ayah, dan Tragedi 1965” (Kompas, 2013).

Malam hari, selepas tak bisa menjawab pertanyaan anaknya itu, Nani salat dan menangis. Nani menyadari bahwa dialah yang sebenarnya –lewat anaknya– ditanya Tuhan: sudahkah engkau selesai dengan dirimu? Sebab bagaimana bisa engkau menjelaskan dengan baik bila engkau belum bisa menyelesaikan trauma dirimu sendiri.

Yang juga diingat Nani, catatan trauma itu dimulai sejak awal 1965. Sebagai seorang gadis 14 tahun, Nani bisa merasakan kehadiran sebuah partai yang sedang berjaya, Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebuah partai komunis terbesar di dunia, yang ada di negara nonkomunis. Jargon-jargon seperti “kapitalis birokrat”, “tujuh setan desa” seakan melekat dalam pikiran Nani.

Ibunya, sebagai istri prajurit, harus ikut bermacam-macam indoktrinasi. Nani sesekali, dengan naik truk, ikut ke Wisma Yani di Jalan Taman Suropati, membantu menyiapkan minuman sirop sumbangan ibu-ibu prajurit itu sendiri. Ekonomi memang sedang buruk. Beras pembagian tak sampai hati mereka makan. Mereka harus menukar di pasar dengan tambahan uang tentu saja. Bersama sopir ayahya, Nani juga ikut antre untuk dapat satu jeriken jatah minyak tanah.

Trauma itu terjadi pada malam 30 September 1965. Ia sudah tertidur dan tak tahu pada jam berapa ayahnya pulang. Ia tiba-tiba saja terbangun oleh suara gaduh, bentakan-bentakan keras, dan derap sepatu lars. Garasi rumah sedang direnovasi. Mereka mengunci diri di kamar. Pintu jati ditembus ujung bayonet. Nani sembunyi di bawah tempat tidur. Ia mendengar barang-barang dihancurkan.

Tak ada suara tembakan.

Keluarga Sutojo

Sutojo dibawa oleh pasukan yang mengaku bagian dari Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno. Dan ia tak pernah pulang hingga mayatnya ditemukan bersama jenderal lainnya yang terbunuh atau dibunuh malam itu.

Dan 21 tahun kemudian anaknya, Nano, bertanya padanya setelah menonton film yang diangkat dari peristiwa yang ia sendiri ada di dalamnya. Saat kejadian itu memang tak seluruh peristiwa ia pahami. Tapi terhadap film itu Nani gundah.

“Apakah seperti ini informasi yang akan kita wariskan kepada generasi anak cucu tentang peristiwa 30 September 1965?” katanya, seperti ia tulis dalam bukunya.

Kegundahan Nani bertambah karena film ini saat itu menjadi tontonan wajib di bioskop umum. Apa yang sebetulnya ingin disampaikan film ini? Film yang panjangnya luar biasa tapi tidak berhasil mengangkat situasi sosial yang terjadi saat itu.

“Tadinya saya kira film ini juga menggambarkan gejolak sosial masyarakat saat itu yang tak terlepas dari peristwa 1965. Semacam film sejarah yang menukik. Saya kecewa. Ternyata film ini jauh dari bayangan saya tentang sebuah tuturan sejarah. Malah berlebihan terlihat menonjolknya peran Pak Harto,” ujar Nani.

Bukannya Nani tak setuju pada peran Soeharto sebagaimana digambarkan melalui film itu, hanya film itu tidak menceritakan konteks sosial yang lebih dalam. “Penonton, apalagi generasi muda yang lahir setelah peristiwa itu meletus, pasti tidak akan paham karena gambarannya tidak utuh,” ujar Nani.

Nani menunjuk pada judul film yang di situ saja sudah bermasalah. Pengkhianatan. Pengkhianatan terhadap siapa? “Semakin berat dan semakin sulit jawabannya, karena sekali lagi, tak ada konteks sosial di dalamnya.” (hasan haspahani)

Update