Sabtu, 20 April 2024

Menyemai Petuah Raja Ali Haji, Mengikis Penyebaran Radikalisasi

Berita Terkait

Seorang warga melihat rumah Dwi Djoko Wiwoho di Kompleks Perumahan Kartini, Sekupang, Batam, beberapa waktu lalu.
Foto: Ratna Irtatik/Batam Pos

“Hendaklah berjasa, Kepada yang sebangsa
Hendak jadi kepala, Buang perangai yang cela
Hendaklah memegang amanat, Buanglah khianat
Hendak marah, Dahulukan hujjah
Hendak dimalui, Jangan memalui
Hendak ramai, Murahkan perangai”.

RATNA IRTATIK, Batam

Rangkaian syair tersebut adalah petikan nasihat yang termaktub dalam Gurindam Dua Belas, tepatnya pada pasal 11. Gurindam Dua Belas merupakan mahakarya berupa puisi Melayu lama karya sastrawan dan Pahlawan Nasional dari Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau yakni Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad, atau yang lebih dikenal dengan nama pena, Raja Ali Haji. Karya ini terdiri dari 12 pasal dan dikategorikan sebagai puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan petunjuk serta ilmu yang mendidik.

Ambil contoh pada pasal 11 itu, terutama dalam baris pertama yang berbunyi, “Hendaklah berjasa, Kepada yang sebangsa”. Bermakna kurang lebih, anjuran agar seseorang berjasa bagi negara dan bangsa, mengoptimalkan setiap kemampuan yang dimiliki sehingga bisa mengharumkan nama bangsa.

Bagi masyarakat Melayu, Gurindam Dua Belas sudah diajarkan turun temurun. Bukan hanya sebagai karya sastra, pasal demi pasalnya juga menjadi referensi dan sumber petuah bijak bagi kehidupan warga Melayu. Bahkan, aktualisasi Gurindam Dua Belas dalam aplikasi hubungan keseharian di masyarakat, menjadikannya salah satu nilai kearifan lokal yang menjadi tuntunan atau petuah kehidupan.

Tak bisa dipungkiri, kehadiran Islam di ranah Melayu telah membawa perubahan besar pada nilai dan budaya suku bangsa yang mendiami sebagian wilayah Pulau Sumatera tersebut. Peralihan gaya berpikir, corak sosial, dan pranata masyarakat di kalangan orang Melayu telah diwarnai oleh nilai tradisi Islam.

Maka tak heran, nasihat bijak dari Gurindam Dua Belas yang merepresentasikan nilai dalam ajaran agama Islam yaitu syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat, begitu mudah diterima masyarakat Melayu. Terlebih, sandarannya adalah Alquran dan hadis, petunjuk utama dalam kehidupan masyarakat Islam.

Sehingga, jika setiap petuahnya diaktualisasikan dalam pranata kehidupan sosial, niscaya kerukunan dan perdamaian akan terwujud.


Pada awal November 2015 lalu, masyarakat Batam geger. Salah seorang pejabat publik di Badan Pengusahaan Kawasan (BP) Batam, tiba-tiba menghilang. Tak hanya sendirian, ia lenyap bersama dengan istri dan ketiga putrinya. Pejabat itu tak lain adalah mantan Direktur Humas dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BP Batam, Dwi Djoko Wiwoho.

Djoko, panggilan akrabnya, tinggal di Kompleks Perumahan Kartini, Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau bersama keluarganya. Sekitar dua setengah bulan sebelum menghilang atau pada medio Agustus 2015, kepada tetangga, Djoko pamit hendak menunaikan ibadah umrah ke Tanah Suci. Namun, meski bulan berganti, Djoko dan keluarga tak kunjung kembali.

“Pamitnya mau umrah, tapi setelah itu tak pernah muncul lagi,” ujar tetangga Djoko, yang tak berkenan namanya dikutip Batam Pos.

Saat itu, warga mulai menduga-duga jika Djoko dan keluarganya berangkat keluar negeri dan memilih bergabung dengan organisasi radikal yakni Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah. Pasalnya, kala itu ISIS tengah gencar merekrut anggota dan simpatisan dari berbagai belahan dunia. Kuat dugaan, Djoko dan keluarga menjadi simpatisan ISIS sehingga meninggalkan Tanah Air.

Dugaan itu terbukti benar adanya. Berselang dua tahun kemudian atau pada 12 Agustus 2017, ada 18 orang mantan simpatisan ISIS yang dideportasi dari Irak dan kembali ke Tanah Air. Djoko dan keluarganya ada di antara belasan eks simpatisan ISIS tersebut.

Bahkan, dalam video yang diunggah akun DamailahRI di media berbagi video YouTube berjudul, “Kisah Para Deportan yang Termakan Bujuk Rayu ISIS”, Djoko ikut memberikan kesaksian tentang perlakuan ISIS pada keluarganya. Ia menyesal, bahkan sambil sesenggukan saat mengenang perlakuan tak manusiawi yang diterimanya selama menjadi simpatisan ISIS di Suriah.

Hingga, setelah beberapa bulan kemudian, Djoko akhirnya harus menjalani sidang kasus dugaan tindak pidana terorisme di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat.

Namun, sejak tiba di Indonesia, Djoko maupun keluarganya tak pernah lagi datang ke rumahnya di Sekupang, Kota Batam. Pagar rumah berwarna coklat yang berada di depan rumah, tampak tertutup rapat. Dua unit mobil yang sebagian catnya mulai mengelupas, terparkir di halaman tersebut. Rumput dan tanaman liar tumbuh di taman dan sebagian pintu pagar.

Tetangga Djoko lainnya, Abas, mengaku tak pernah lagi melihat Djoko dan keluarganya sejak mereka memutuskan pergi sekitar tiga tahun silam. Ia pun tak tahu bagaimana nasib tetangganya tersebut saat ini.

Hanya saja, Abas mengaku selama mengenal Djoko, mantan pejabat itu dikenal ramah dan santun di lingkungan perumahan tersebut.

“Saya sering ketemunya kalau pas salat Jumat, karena kalau hari-hari biasa kan memang beliau sibuk dari pagi hingga sore di kantor. Tapi orangnya baik kok, ramah,” tutur Abas.

Sehingga, ia tak habis pikir jika kemudian keluarga tersebut pilih bergabung dengan organisasi yang banyak terlibat dengan aksi teror dan kekerasan itu.

“Kita doakan saja yang terbaik,” katanya.


Potensi kemunculan bibit radikalisme dan terorisme maupun sikap intoleran di wilayah Kota Batam, Kepulauan Riau memang sempat memantik keprihatinan. Pasalnya, wilayah ini sebelumnya tergolong aman dan damai. Budaya Melayu yang bersendikan agama Islam sebagai pondasi kehidupan sosial masyarakat, tetap dijunjung sebagai salah satu payung pemersatu.

Bahkan, budaya Melayu juga hidup rukun dengan hadirnya pengaruh budaya dari berbagai suku bangsa lain yang mendiami wilayah tersebut. Penduduk Batam yang kini berjumlah sekitar 1,2 juta jiwa, memang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia, seperti Melayu, Jawa, Minang, Batak, Bugis, Sunda, Flores dan lainnya.

Rata-rata, warga Batam adalah pendatang dari berbagai daerah lain. Daya tarik Batam yang merupakan Kota Industri, memang menjadi magnet sehingga warga dari berbagai suku bangsa datang untuk bekerja atau mengadu nasib di wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Singapura tersebut. Namun, di wilayah ini, budaya Melayu dengan segenap kearifan lokal dan pranata sosialnya, tetap melekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.

Kepala Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Kota Batam Erizal Abdullah mengatakan, masyarakat Batam selama ini dikenal toleran dan hidup rukun dengan berbagai latar belakang agama dan budaya masing-masing. Karena itu, paham radikal dan intoleran tak mudah berkembang.

“Semangat beragama di Batam sangat berkembang baik dan sudah lebih tinggi. Pondasinya bagus, didukung faktor kebudayaan yang juga baik,” tutur Erizal.

Terkait adanya warga Batam yang pernah menjadi simpatisan organisasi radikal, Erizal menjelaskan letak Batam yang berada di gerbang internasional memang memungkinkan kemudahan bagi warga untuk memperoleh akses lintas negara. Terlebih, ditunjang era kemudahan informasi seperti saat ini, maka tak menutup kemungkinan merasuknya paham yang keliru tersebut.

“Ada yang landasan keagamaannya tidak kuat kemudian membaca suatu ajaran dan mudah terbujuk rayu, bisa saja. Karena itu perlu pemahaman keagamaan yang kafah atau menyeluruh dan mendalam,” imbaunya.

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan dengan kultur Melayu, Erizal mengaku sebenarnya di wilayah Melayu sendiri ada tuntunan budaya dan kearifan lokal yang menjadi salah satu petunjuk dalam kehidupan, yakni falsafah dalam Gurindam Dua Belas. Berbagai pasal dalam karya sastra tersebut, kata dia, selama ini memang diamalkan oleh orang tua Melayu zaman dulu dalam mendidik anak-anaknya.

“Misalnya di Gurindam Dua Belas diajarkan mendidik anak dengan pendidikan agama, sehingga kelak anak tersebut bisa menjadi pemimpin yang arif dan bijak,” ujarnya.

Begitu juga, anjuran untuk mengutamakan toleransi dan saling menghormati dalam pergaulan sosial. Sehingga, bisa menekan bahkan mengikis potensi konflik dan berkembangnya paham radikal yang akan muncul. Hal itu, kata dia, bisa juga didapat dari pemimpin yang mengamalkan petuah yang disemai dari ajaran bijak Raja Ali Haji tersebut.

“Selama pemimpin itu baik, mereka (warga) juga ikut baik,” jelas Erizal.

Dengan menjunjung dan mengamalkan nasihat dalam Gurindam Dua Belas sekaligus mengamalkan ajaran agama yang baik, Erizal percaya masyarakat Melayu dan suku bangsa lainnya di Batam bisa terus hidup rukun dan damai, termasuk dengan warga dari agama yang berbeda.

“Karena ketika umat Islam sudah meresapi makna “lakum diinukum waliyadin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) dari Alquran surat Alkafirun ayat 6, maka hubungan antarumat beragama juga bagus dan terjaga,” papar mantan Kepala Kemenag Kabupaten Bintan tersebut.

Selama ini, sambung dia, kerukunan antarumat beragama dipupuk dengan berbagai musyawarah maupun diasah dalam kerja sama di berbagai kegiatan. Sehingga, potensi konflik juga semakin minim.

“Kita bekerja sama juga dengan Polri, pemerintah daerah dan juga FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) untuk terus menyosialisasikan pentingnya kerukunan dan perdamaian di Batam,” kata mantan Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Provinsi Kepri itu.

Sementara itu, Ketua FKUB Kota Batam Chablullah Wibisono mengatakan, sejauh ini pihaknya melihat kerukunan dan perdamaian di Kota Batam berjalan cukup baik dan harmonis.

“Insyaallah sampai saat ini cukup rukun,” kata Chablullah.

Menurut dia, warga yang tinggal di Batam cukup beruntung karena memiliki nilai-nilai kearifan sosial dan budaya yang sangat toleran dan mendorong perdamaian. Menurutnya, budaya dari Tanah Melayu yang menjunjung tinggi ajaran agar berakhlak mulia dan menjadi masyarakat Madani, berimbas terhadap keseharian masyarakatnya.

“Semua bercirikan ramah, sopan santun, suka bermusyawarah dan religius,” katanya.

Dengan bekal kearifan lokal tersebut, ia percaya bisa dikembangkan untuk menangkal tindakan kekerasan atau radikalisme. Terlebih, semua agama juga mengajarkan kasih sayang dan cinta damai.

“Jika ada orang yang beragama kemudian melakukan kerusakan maka perlu diteliti apa yang menjadi misi oknum tersebut. Karena tidak satu pun ajaran agama yang mengajarkan kekerasan,” ujar dia.

Terpisah, Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad mengatakan, kerukunan umat beragama ibarat sebuah orkestra. Jika dikelola dengan baik, maka akan menghasilkan alunan bunyi yang sangat indah dan harmonis.

“Begitu juga dalam hubungan umat beragama, kalau harmoni itu tetap terjaga baik, maka Batam akan aman,” katanya.

Menurut Amsakar yang juga Pembina FKUB Kota Batam tersebut, sudah semestinya semua pihak sama-sama menjaga dan memelihara Batam agar tetap rukun dan damai. Sehingga, kehidupan sosial kemasyarakatan serta ekonomi di wilayah ini bisa terus bergerak dan berlangsung dengan tertib.

“Tetaplah rukun, damai, aman, harmonis dan kondusif,” tutup Amsakar. ***

Update