Jumat, 29 Maret 2024

Masih Kecil sudah Dewasa, Sebuah Fenomena

Berita Terkait

Kejahatan seksual tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja. Anak-anak juga, bahkan balita. Pelaku bukan hanya orang luar lingkaran, tapi bisa orang terdekat korban, seperti keluarga, tetangga, dan teman. Peran orangtua, pemerintah, dan kita semua dibutuhkan untuk mencegah anak menjadi korban.

Suatu waktu di tahun 2016, SG, sedang membuka Facebook. SG yang masih 12 tahun kala itu melihat notifikasi ajakan pertemanan dari HS. Ia menerima pertemanan itu. Rupanya HS sudah berusia 21 saat itu. HS dan SG pun berkenalan. Dari perkenalan itu, keduanya kemudian sepakat untuk bertemu pada tahun 2017.

Hubungan keduanya kian dekat. Sampai akhirnya mereka berpacaran. Bahkan hubungan mereka lebih jauh dari itu, Keduanya sudah melakukan hubungan badan layaknya pasangan suami istri. HS mengaku sudah tiga kali menggauli SG sepanjang 2017 lalu.

“Dari pengakuan pelaku, sudah tiga kali mereka melakukan hubungan layaknya suami istri,” ujar Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Barelang Iptu Drefani Diah Yunita, Selasa (25/9) lalu.

Mulanya, hubungan keduanya berjalan mulus dan tak ada yang tahu. Namun pada satu waktu, foto mesra SG yang sedang berciuman dengan HS beredar di media sosial hingga diketahui oleh pihak sekolah. Ia pun dikeluarkan dari sekolah. Ketika dikeluarkan dari sekolah barulah hubungan layaknya suami istri itu terbongkar.

“Setelah dikeluarkan dari sekolah itu baru tahu orangtua korban. Kemudian, melaporkan kejadian ini ke Polresta Barelang pada pertengahan Agustus lalu,” bebernya.

Unit PPA Satreskrim Polresta Barelang kemudian melakukan penyelidikan dan menangkap HS, Sabtu (22/9) lalu, di kawasan Tiban. Diah mengatakan, kasus pencabulan anak di bawah umur ini dalam proses penyelidikan pihaknya dengan memintai keterangan dari saksi-saksi, korban dan pelaku.

Ini bukanlah kasus pencabulan pertama yang terjadi tahun ini di Kepri. Mengawali 2018 lalu, warga Kampung Harapan di Karimun gempar. Delapan anak menjadi korban sodomi oleh T, seorang kakek berusia 56 tahun asal Kelurahan Lubuk Puding, Kecamatan Buru. Setelah polisi melakukan pengembangan, si pelaku belum menikah, dan memiliki kelainan orientasi seksual. Dia pedofil, juga seorang biseksual.

Kejadian serupa juga terjadi di Tanjungpinang. Jumat (7/9) lalu, polisi membekuk Ca dan No alias Ak, pelaku sodomi terhadap empat anak lelaki. Para korban ini masing-masing berusia 7 tahun.

Modusnya, pelaku mengajak anak-anak yang menjadi incarannya dengan menawarkan minuman keras. Setelah korbannya mabuk, pelaku mencabulinya berkali-kali. Setelah melampiaskan nafsunya, kedua pelaku memberikan uang kepada masing-masing korban.

“Setelah pendampingan, kita mengetahui, tiga korban itu memang kurang perhatian dari kedua orangtuanya,” ujar Wakil Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kepri, Eri Syahrial, kepada koran ini di Kepri Mall, Selasa (2/10) lalu.

ilustrasi

Eri menyebutkan, setelah pengembangan kasus, jumlah tersangka bertambah menjadi tiga orang. Korban juga bertambah menjadi 13 orang. Ia menyebutkan kemungkinan besar bakal ada tersangka baru.

Kasus lainnya, seorang anak berusia tujuh tahun, YC, menjadi korban pencabulan oleh pria berusia 22 tahun. Pencabulan itu terungkap pada, Jumat (28/9) lalu, saat YC mengeluh sakit pada kemaluannya ketika dimandikan oleh Sr, ibunya. YC kemudian mengaku telah dicabuli.

Mendengar pengakuan anaknya, Sr segera melapor ke Polsek Batuaji, Batam. Pelaku, AS, warga Kecamatan Batuaji, akhirnya ditangkap dan mendekam di sel tahanan Mapolsek Batuaji sejak, Senin (1/10) lalu. Pemuda 22 tahun ini adalah tetangga korban. Sudah dua kali AS melakukan tindakan tak terpuji itu kepada YC sepanjang September lalu.

“Pertama di dalam rumah pelaku, kedua di belakang rumah pelaku juga,” ujar Kapolsek Batuaji Kompol Syafruddin Dalimunthe, Jumat (5/10).

6 Bulan 64 Kasus

Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kepri cukup tinggi. Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kepri mencatat, sepanjang Januari-Juni 2018 ini terdapat 64 kasus.

Kasus tersebut tercatat di KPPAD Kepri karena dilaporkan. Diduga, kasus kekerasan dan kejahatan seksual pada anak seperti fenomena gunung es. Yang muncul di permukaan hanyalah sebagian kecil dari jumlah kasus yang sesungguhnya.

“Itu baru data sampai Juni. Tambahan kasus selama Juli ini seluruh Kepri sekitar 20 kasus,” kata Wakil Ketua KPPAD Kepri, Eri Syahrial.

Dari 64 kasus tersebut, paling banyak terjadi di Batam dengan jumlah 46 kasus. Sedangkan perlindungan khusus terhadap korban kejahatan seksual anak di Kepri ada 16 kasus. Korbannya 28 korban laki-laki dan 11 korban perempuan.

“Kasus terbesar di Batam. Ada 11 kasus dengan korbannya 1 laki-laki dan 10 perempuan. Anak perempuan memang selalu yang banyak menjadi korban,” ujar Eri.

Adapun data kekerasan seksual pada anak pada 2017 lalu di Kepri ada sebanyak 41 kasus dengan empat korban anak lelaki, dan 43 korban anak perempuan. Kasus terbesar terjadi di Batam, 20 kasus dengan 20 korban anak, disusul Tanjungpinang dengan 19 kasus melibatkan 23 korban, dan Bintan dengan dua kasus dengan empat korban perempuan.

Sementara data dari Direskrimum Polda Kepri, laporan kasus yang terkait Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pada tahun 2017 sebanyak 74 kasus. Masing-masing 29 laporan masuk ke Polresta Barelang, 34 laporan di Polres Tanjungpinang, 4 laporan di Bintan, 1 laporan di Karimun, dan 6 laporan di Lingga.

Sedangkan tahun ini (Januari-Juli) laporan yang masuk ke polres di wilayah hukum Polda Kepri sebanyak 66 kasus. Sebanyak 33 laporan di Polres Barelang, 17 laporan di Polres Tanjungpinang, masing-masing 7 di Bintan dan Karimun. Satu laporan masuk di Polda Kepri dan satu laporan di Polres Lingga.

Secara khusus Polda Kepri mencatat Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) paling tinggi terjadi di Batam. Sebanyak 45 kasus dari awal Januari hingga Mei 2018. Setelah itu disusul Tanjungpinang dan Bintan sebanyak 10 kasus. “ABH ini ada yang menjadi korban, maupun pelaku kejahatan,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Hernowo melalui Kanit Subdit IV PPA Ditreskrimum Ipda Lesly D Lihawa, Kamis (4/10).

Ia mengatakan, anak-anak ini ada yang menjadi korban maupun pelaku kejahatan berupa tindak pencabulan, kekerasan, dan berbagai tindak kriminal lainnya. “Kalau pencabulan, kami tidak ada menangani tahun ini. Polresta (Barelang, red) ada satu kasus, anak sebagai korban,” ungkapnya.

Kekerasan seksual pada anak ini dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yakni kekerasan pelaku dewasa terhadap anak, kekerasan anak terhadap anak, dan kekerasan sesama anak atau belum berusia 18 tahun.

Ipda Lesly mengatakan, kasus-kasus anak berhadapan dengan hukum ini disebabkan karena kurangnya perhatian dari orangtua. Ia mengatakan, orangtua sebagai gerbang atau garda terdepan, harusnya lebih memperhatikan setiap gerak gerik mencurigakan si anak.

“Anak zaman sekarang dengan anak zaman dahulu berbeda. Tentunya pendekatannya juga harus menggunakan cara zaman sekarang,” ungkapnya.

Sementara Kanit PPA Satreskrim Polresta Barelang Drefani Diah Yunita menyebutkan, penyebab terjadinya kekerasan seksual anak biasanya karena hubungan asmara (bagi korban usia 14 tahun ke atas), adanya bujuk rayu seperti dijanjikan nikah atau tidak akan ditinggalkan atau diputuskan dari pihak pelaku kepada korban, dan kurangnya pengawasan pihak orangtua terhadap pergaulan anak mereka.

Karena kelalaian pengawasan orangtua kepada korban dan kurangnya kasih sayang yang diberikan, lanjutnya, mereka tidak terbuka dengan keluarga dan lebih mempercayakan kepada pihak luar.

Batam Belum Naik Kelas

Maraknya kasus kekerasan dan kejahatan seksual anak di Batam membuat kota ini belum naik kelas. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun 2018 ini Batam hanya meraih penghargaan sebagai Kota Layak Anak (KLA) kategori pratama. Ini kategori paling dasar. Padahal Bintan dan Tanjungpinang mampu meraih penghargaan di kategori madya. Setingkat lebih tinggi dari Batam.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB (DP3KB) Kota Batam, Umiyati, mengatakan banyak syarat yang belum terpenuhi sehingga Batam hanya meraih predikat kategori pratama. Antara lain penanganan kasus dan pelindungan hak anak

“Banyak yang belum penuhi syarat, kalau mau dapat madya dan utama harus ditingkatkan penanganan kasus juga perlindungan hak anak,” ujar Umiyati beberapa waktu yang lalu.

Ia tak menampik, capaian tersebut dipengaruhi kasus anak di Batam marak. Namun di sisi lain, ia mengklaim dari aspek administratif Kota Batam meraih poin tinggi dibanding kota dan kabupaten lainnya di Kepri.

“Nila administratif bagus tidak menjamin, soalnya banyak kasus pelecehan, makanya tidak naik kelas ke madya maupun utama. Ini konsekuensi kota besar,” imbuhnya.

Oleh sebab itu, ia mengatakan, akan terus meningkatkan peran agar kasus anak di Batam menurun seperti melakukan sosialisasi dengan turun langsung ke masyarakat. “Kami akan terus tingkatkan kemitraan dengan pihak lain, polisi, LSM dan lainnya,” sebut dia.

Sementara itu, Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Batam hingga kini belum terbentuk. Ia mengungkapkan, proses pembentukan lembaga tersebut masih berproses dan masuk tahapan seleksi 10 nama yang akan dikerucutkan menjadi lima nama komisioner.

Komisioner KPPAD Kepri Eri Syahrial menyebutkan penguatan kelembagaan dalam penanganan anak sangat diperlukan salah satuanya dengan pembentukan KPPAD di kota dan kabupaten. Pihaknya mendorong KPPAD Batam segera terbentuk.
“Upaya lain yakni sosialisasi, pendidikan anak, pengawasan orangtua hingga pengawasan akses tekonologi yang mengarah ke hal yang memancing tindakan kasus anak,” kata dia.

Di Kepri memang hanya Bintan dan Kota Tanjungpinang yang meraih kategori madya. Seperti Kota Batam, Kabupaten Karimun pun hanya meraih predikat pratama. Sedangkan secara nasional yang meraih penghargaan layak anak tingkat utama hanya dua kabupaten/kota. Lainnya tingkat nindya 11 kabupaten/kota, tingkat madya 51 kabupaten/kota, dan pratama 113 kabupaten/kota.

Keberhasilan Bintan dan Tanjungpinang tersebut tak terlepas dari keberhasilan menyukseskan program kegiatan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Angka kriminal atau kekerasan terhadap anak dan perempuan lebih rendah dari Batam.

”Penghargaan yang kita terima ini bukanlah semata-mata kerja pemerintah daerah saja, akan tetapi prestasi ini juga hasil kerja sama dari seluruh pihak khususnya masyarakat Kabupaten Bintan,” ujar Bupati Bintan Apri Sujadi, kala menerima penghargaan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Yohana S Yambise di Dyandra Convention Centre, Surabaya, Jawa Timur, akhir Juli lalu.

Terpisah, Kepala DP3APM Tanjungpinang, Ahmad Yani menjelaskan, dalam proses memperoleh penghargaan ini dilakukan penilaian berdasarkan lima kluster yang memiliki 24 indikator. Di antaranyahak sipil dan kebebasan dengan indikatornya persentasi anak yang teregistrasi, mendapatkan kutipan akte kelahiran, tersedia informasi layak anak, jumlah anak atau forum anak dan lainnya. (uma/cha/gie/eja/iza/ska)

 

Update