Selasa, 16 April 2024

BKKBN Kepri Mengintegrasikan Kekuatan Kelompok Kerja

Berita Terkait

Berdiskusi saat simulasi dalam pelatihan.
foto: batampos.co.id / cecep mulyana

batampos.co.id – BKKBN Provinsi Kepri menggelar pertemuan kelompok kerja advokasi program keluarga berencana dan pembangunan keluarga (KKBPK) Provinsi Kepri di Hotel Sahid Batamkota, Jumat (18-19/10/2018) pagi.

Kegiatan yang diikuti peserta dari lintas sektoral ini dengan menghadirkan pembicara dari konsultan BKKBN Pusat, Heri Haerudin yang juga dosen UI ini bertujuan membentuk kelompok kerja (pokja) lintas sektor, mencari solusi strategis terkait dengan pembangunan manusia serta SDM di Kepri.

Nantinya pokja ini akan membantu membuat pokja juga yang sama di kabupaten/kota yang menginisiasi dari BKKBN.

“Bagaimana caranya supaya lebih koordinatif, sehingga problem yang selama ini masih muncul seperti misalnya dari sisi SDM, waktu rata-rata yang dihabiskan untuk pendidikan itu masih renah yakni 9,8 tahun rata-rata anak di Kepri,” ujar Heri.

Rata-rata anak di Kepri, lanjutnya, tingkat pendidikan tertingginya hanya sampai di SMP saja atau pendidikan 9 tahun saja. Hal itulah yang menjadi problem terkait SDM di Kepri.

“Inilah yang kami diskusikan secara lintas sektor, apa yang bisa kami lakukan agar mampu mengakselerasi kedepannya tujuannya untuk meningkatkan supaya minimal tingkat pendidikan rata-rata anak di Kepri ini dari 9 tahun menjadi minimal 12 tahun, atau setidaknya lulusan SMA lah,” terang Heri.

Selama ini, lanjut Heri, lintas sektor di Kepri sudah bekerja. Namun karena kurang terintegrasi, kadangkala capaiannya jadi tak maksimal.

“Upaya bikin pokja inilah agar nantinya mampu mengintegrasikan hal itu,” ujarnya.

Sementara untuk di Batam sendiri, lanjut Heri, probelmnya berada di ketahanan keluarga seperti urusan pembangunan, kualitas keluarga. Karena itulah orangtua tak menganggap pentingnya menempuh pendidikan.

“Ada banyak faktor sih sebenarnya, ada dari keluarganya, dari akses karena kulturnya kepulauan, mungkin keluarganya mau tapi aksesnya terlalu sulit. Akhirnya ya sudahlah SMP saja terus langsung cari kerja. Ada karena faktor kesejahteraan juga, anak tersebut terpaksa membantu perekonomian keluarga dan mengorbankan pendidikannya,” katanya mengakhiri. (gas)

Update