Jumat, 19 April 2024

Lippo Group Bisa Dipidana

Berita Terkait

Pembangunan apartemen di kawasan Meikarta, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (17/10/2018). Pembangunan proyek Meikarta tetap berlanjut usai penetapan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro menjadi tersangka kasus dugaan suap ijin proyek pembangunan Meikarta oleh KPK.–Foto: Imam Husein/Jawa Pos

x.batampos.co.id – Terungkapnya dugaan suap dalam perizinan proyek Meikarta bisa menjadi ancaman bagi PT Mahkota Sentosa Utama (MSU). Sebab, selaku perusahaan pengembang, PT MSU berpotensi dijerat dengan pidana korporasi. Begitu pula Lippo Group yang merupakan induk perusahaan pengembang Meikarta.

Hal itu diungkapkan peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar. Dia mengatakan, pengembang Meikarta sangat bisa dijerat dengan pidana korporasi asal ada bukti yang mengarah pada keterlibatan perusahaan dalam suap itu. “Meikarta sebagai korporasi tentu sangat bisa (dijerat pidana korporasi). Bahkan jika ditarik ke atas, group korporasinya pun bisa diminta pertanggungjawaban,” ungkapnya, Minggu (21/10).

Secara teknis, pelaksanaan pidana korporasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Di perma itu secara jelas mengatur batasan korporasi yang dapat dipidana. Di pasal 3, misalnya, menyebutkan pidana korporasi adalah pidana yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kerja. Dalam hal ini, Billy Sindoro sebagai Direktur Operasional Lippo Group masuk kategori itu.

Selain di pasal 3, batasan itu juga diatur dalam pasal 4. Di antaranya menyebut pidana dijatuhkan kepada korporasi yang dinilai mendapat keuntungan dari tindak pidana. Batasan lain adalah pembiaran dan tidak adanya langkah pencegahan pidana yang dilakukan. Batasan itu bersifat alternatif. Artinya, penegak hukum tidak perlu memenuhi semua unsur itu. Melainkan, cukup satu saja.

Erwin menjelaskan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga bisa menjerat pengendali korporasi (directing mind). Meski, pengendali itu berada di luar struktur korporasi. Dalam berbagai studi tentang pencucian uang (money laundering), pengendali di luar struktural itu justru mendapat keuntungan besar dibalik kejahatan yang terjadi.

“Jika suatu korporasi yang secara formal dibentuk oleh si A, namun dalam praktiknya dikuasai dan dijalankan oleh B, maka B dapat diminta pertanggungjawaban sebagai directing mind,” jelasnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum PT Mahkota Sentosa Utama Denny Indrayana menuturkan, pihaknya tetap berkomitmen untuk kooperatif dengan KPK. Termasuk bila kelak akhirnya KPK akan menyeret dugaan suap perizinan Meikarta itu ke ranah pidana korporasi.

“Kalau KPK mengarah ke pidana korporasi, prinsipnya kami akan menghormati setiap proses hukum yang ada,” ujar Denny pada Jawa Pos (grup Batam Pos) melalui pesan singkat, kemarin.

Mantan wakil menteri hukum dan hak asasi manusia (menkumham) itu juga menegaskan dia bersama tim INTeGRiTY (Indrayana Center for Government, Constitution, and Society) bukan kuasa hukum tersangka. Tapi, kuasa hukum PT MSU yang mengerjakan megaproyek Meikarta. Diapun fokus membantu menjadi konsultan hukum perusahaan yang jadi bagian dari Lippo Group itu. Maka dia pun menyebut dirinya konsultan hukum.

“Karena masih banyak yang mengira saya kuasa hukum kasus para tersangka di KPK. Mungkin dengan menyebut Konsultan Hukum, orang lebih mudah membedakannya, bahwa saya tidak menjadi kuasa hukum para tersangka yang di KPK,” imbuh dia.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan pihaknya memang belum berkesimpulan tentang keterlibatan korporasi dalam suap izin Meikarta. Namun demikian, potensi penerapan pidana korporasi terhadap perusahaan pengembang dan induknya tetap terbuka sepanjang hasil penyidikan mengarah ke sana.

“Sampai saat ini belum ada kesimpulan, itu karena penyidikan masih kami lakukan pada sembilan tersangka yang sudah kami tetapkan,” ujarnya. (tyo/jun/JPG)

Update