Jumat, 19 April 2024

Golden Age, Waktu Terbaik Membentuk Karakter Si Buah Hati

Menanamkan Pendidikan Karakter Sejak Dini

Berita Terkait

Golden Age merupakan masa keemasan anak-anak. Momen tersebut harus dimanfaatkan oleh orang tua untuk membentuk karakter pribadi anaknya. Namun sayangnya, masih banyak orang tua yang mengabaikannya.

RIFKI SETIAWAN LUBIS, BATAM

In, remaja wanita putus sekolah harus berurusan dengan Polsek Bengkong, Kota Batam, 24 Agustus 2017 lalu. Gadis berusia 14 tahun ini ditangkap polisi karena menganiaya dan membegal sejumlah siswa dan murid di wilayah Batuaji dan Sagulung, Batam.

Di usianya yang masih sangat muda, ia sudah berurusan dengan hukum. Masa depannya kemudian dipertanyakan karena masyarakat sudah menganggapnya seperti sampah.

Setelah ditelusuri penyebabnya, In rupanya terpengaruh teman-teman sebayanya yang merupakan komplotan begal. Mereka sangat meresahkan warga Batam.

In dan teman-temannya ini merupakan gambaran umum dari anak-anak di Batam. Mereka tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari orang tuanya sehingga memilih mencari perhatian di lingkungan yang lain agar keberadaan mereka diakui.

Batam memang dikenal sebagai kota industri sehingga mayoritas masyarakatnya adalah pekerja. Jam kerja yang cukup panjang membuat waktu untuk berkumpul bersama keluarga menjadi lebih sedikit. Kalaupun ada waktu, maka akan digunakan untuk beristirahat penuh atau melaksanakan hobi yang tertunda.

Kebutuhan anak untuk mendapatkan kasih sayang menjadi terabaikan dan tidak dianggap penting. Anak-anak dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa peran serta dari orang tua.

Bahkan banyak anak-anak yang dititipkan ke kerabat dekat atau ke tempat penitipan anak sejak masih kecil sekali. Hal tersebut menyebabkan disparitas hubungan antara anak dan orang tuanya semakin lebar. Anak-anak tidak kenal orang tuanya dan tidak memiliki panutan atau role model bagi perkembangan psikisnya.

Hal ini sangat memprihatinkan karena anak-anak merupakan penentu masa depan bangsa. Jika sejak usia dini saja tak diperhatikan, bagaimana kedepannya.

Padahal usia dini anak yang biasa dikenal sebagai masa Golden Age merupakan saat yang tepat untuk membentuk karakter dasar dari anak. Baik atau buruknya anak ketika dewasa ditentukan oleh peran serta orang tua dalam mendidiknya ketika mencapai masa Golden Age.

Mengenal Golden Age dan Manfaatnya

Golden Age merupakan merupakan masa-masa dimana pertumbuhan fisik dan psikis anak tumbuh sangat cepat. Masa tersebut berada dalam rentang usia nol hingga lima tahun.

Di masa Golden Age, anak-anak mampu menyerap dan merekam apa yang dilihatnya secara cepat dan tepat ke alam bawah sadarnya.

Saat itu, pembentukan sistem saraf secara mendasar sudah terjadi. Jaringan saraf saling berinteraksi. Dan kualitas serta kuantitas dari interaksi itulah yang menentukan kecerdasan anak. Makanya anak-anak dapat meniru dengan baik segala tingkah pola laku yang dilakukan orang sekitarnya.

Menurut hasil penelitian Osbora, White dan Bloom, perkembangan intelektual manusia pada usia empat tahun sudah mencapai 50 persen, usia 8 tahun mencapai 80 persen, dan pada usia 18 tahun bisa mencapai 100 persen.

Berdasarkan penelitian tersebut maka masa usia dini adalah masa golden age yang harus dioptimalkan karena sebagian besar perkembangan otak anak didominasi pada masa tersebut.

Sehingga pada usia Golden Age, orang tua harus memberikan perhatian maksimal. Hal itu wajib dilakukan jika menginginkan anak tumbuh berkembang menjadi pribadi berbudi luhur.

ilustrasi siswa siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Batam
F Cecep Mulyana/Batam Pos

Masa Golden Age merupakan masa yang menjadi awal mula, landasan dan fondasi bagi anak-anak untuk berkembang. Kemampuan kognitif, motorik, bahasa, sosio emosional, agama dan moral bisa dibentuk disini.

Psikolog Anak Rumah Sakit Awal Bros (RSAB) Batam, Maryana MPSi mengatakan memiliki anak yang cerdas dan aktif bersosialisasi selalu menjadi dambaan tiap orang tua. Namun, tidak semudah itu mewujudkannya. Orang tua harus bekerja keras untuk menanamkan pendidikan karakter kepada anak-anak sejak usia Golden Age.

Caranya yakni memberikan pengalaman kepada anak-anak, stimulasi secara maksimal serta memperkenalkan mereka pada aktivitas yang disukainya.

“Di usia 0-5 tahun merupakan saat dimana banyak perkembangan anak terlihat. Mulai banyak makan, omong dan merangkak,” kata Maryana.

Pendidikan karakter merupakan hal yang terpenting untuk ditanamkan kepada anak-anak pada masa Golden Age.”Pendidikan karakter terpenting adalah membentuk kemampuan sosial anak,” ungkapnya.

“Fokus pendidikan harus pada pembentukan karakter anak. Dan orang tua khususnya ibu idealnya juga tidak kerja untuk ikut mendidik anaknya saat usia Golden Age. Ibu adalah madrasah pertama dan terbaik untuk anak-anaknya,” paparnya.

Anak-anak di usia Golden Age seperti mesin fotokopi hidup. Apa yang dilihat dan didengar akan dicontoh.”Perkembangan otak dan psikisnya sangat cepat. Dan di usia seperti itu, anak-anak butuh pendamping sebenar-benarnya pendamping dan sebaik-baiknya adalah orang tua,” katanya.

Pola asuh dan pola didik dari orang tua di usia Golden Age benar-benar menentukan karakter. “Karena anak-anak yang pertama mempengaruhi adalah keluarga kecilnya. Pola asuh ditanamkan di rumah, dan berpengaruh jadi karakternya dan kemudian akan menjadi dasar dari kehidupan selanjutnya,” katanya lagi.

Kemampuan sosial yang patut diajarkan kepada anak yakni kemampuan berinteraksi dengan lingkungan, berinteraksi dengan teman-teman sebaya dan bagaimana cara mengendalikan serta mengungkapkan emosi.

Jika diajarkan sejak dini, maka ketika tumbuh menjadi dewasa, anak-anak akan memiliki tingkat Emotional Quotient (EQ) yang bagus.

“Anak-anak akan supel dalam bergaul. Lebih punya simpati dan mudah beradaptasi dengan sekitarnya,” katanya.

Selain itu, pendidikan disiplin dapat juga diajarkan saat masa Golden Age. Orang tua dapat mengajarkan aturan-aturan yang ada di dalam keluarga, norma-norma dalam masyarakat dan batas-batas lingkungan.

Kedisiplinan sejak dini akan membentuk pribadi yang konsisten dengan pendiriannya. Maka orang tua diminta untuk tidak setengah-tengah dalam menetapkan peraturan dalam keluarga.

Contohnya jika waktu bermain ditetapkan hanya dua jam per hari, maka harus dipatuhi. Kalau tidak diindahkan, maka harus ada sanksi.

“Meskipun anaknya nangis sampai cecugukan, peraturan tetap peraturan, orang tua jangan sampai terbawa emosi. Kalau sudah ngomong A, maka harus A. Tidak boleh ada negosiasi,” kata Maryana.

Ketika anak-anak sudah mampu memahami peraturan, maka boleh ada sedikit negosiasi. “Contohnya, ketika usianya bertambah, mungkin jam bermain bisa ditambahkan sedikit. Tapi tetap saja harus dipatuhi. Atau kalau tidak bisa kena sanksi seperti uang jajannya dipotong,” ungkapnya.

Maryana kemudian mengutarakan bahwa disiplin juga merupakan elemen penting dalam pembentukan karakter anak.

“Ini semua diperlukan baginya sebagai skill dasar untuk berinteraksi dan mencapai jenjang karir yang tinggi. Jadi orang tua dituntut untuk meluangkan waktunya agar bisa berkomunikasi secara intens dengan anaknya di usia Golden Age,” paparnya.

Orang tua yang menaruh perhatian besar akan membuat anak merasa benar-benar disayangi dan tidak akan mencari perhatian diluar. Anak-anak akan senantiasa akan selalu meminta saran dan bermanja-manja di sekitar orang tuanya.

Kemudian ketika sudah dewasa, maka akan menularkan kepedulian dan kasih sayangnya kepada keluarganya kelak dan orang-orang di sekitarnya. Ia akan dihormati dan mencapai puncak karir dengan mudah.

“Ibarat pepatah dari Jepang, anak-anak akan tumbuh dengan melihat punggung orang tuanya. Maka jadilah orang tua yang baik agar anak juga bisa menirunya dengan baik,” ungkapnya.

Pendidikan karakter lain yang perlu diutamakan adalah kemandirian. Pribadi yang mandiri akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, tidak manja dan tidak akan mudah bergantung kepada orang lain dalam menyelesaikan persoalannya.

“Caranya mudah. Contohnya Ketika sudah diajarkan untuk mengikat tali sepatu. Maka untuk kedua kalinya, biarkan si anak mengikat sendiri. Jangan dibantu supaya ia terbiasa menyelesaikannya sendiri,” katanya.

Anak-anak yang orang tuanya terlalu sering ikut campur dalam menyelesaikan masalahnya akan membuat anak menjadi tidak percaya diri ketika dewasa kelak.

“Karena apa-apa selalu dibantu orang tuanya. Anaknya jadi manja dan tidak bisa jika tidak dibantu orang lain,” katanya.

Kemampuan berinteraksi, kedisiplinan dan kemandirian merupakan elemen fundamental yang perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak di usia Golden Age. Ini akan membuat anak-anak memiliki tingkat EQ yang baik.

Untuk mencapai jenjang sosial dan jenjang karir yang baik butuh EQ atau kecerdasan sosial yang bagus dibanding Intellegence Quotient (IQ) atau kecerdasan akademis.

Sayangnya, mindset orang tua di Indonesia termasuk di Batam masih mengutamakan pendidikan akademis anaknya sejak dini.

“Mungkin gengsi atau takut anaknya tak akan hidup layak nanti. Banyak orang tua mengacuhkan pendidikan karakter dan lebih banyak menekan anaknya untuk belajar keras agar menjadi orang pintar,” katanya.

Meskipun anak tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dalam akademis, namun jika tidak memiliki kecerdasan sosial, ia akan terhambat. Mengapa. Tentu saja karena tidak pantai berinteraksi dengan rekan sejawat.

“Para pemimpin itu cakap dalam berkomunikasi, sedangkan mereka yang hanya pintar dalam akademis hanya memiliki posisi itu-itu saja,” ungkapnya.

Orang tua yang mengutamakan pendidikan akademis lebih peduli pada kemampuan membaca dan menulis serta nilai rapor tinggi. Mereka mengabaikan pendidikan karakter dan kebutuhan anak akan kasih sayang.

“Dampaknya sangat variatif. Mulai dari anak-anak yang selalu cemas. Ia takut nilainya dikalahkan orang lain karena takut membuat orang tuanya kecewa. Rasa cemas itu akan membuatnya sulit beradaptasi dengan lingkungan,” katanya.

Anak-anak yang selalu hidup dibawah tekanan akademis seperti ini juga tidak akan bisa berpikir kreatif. Ia jadi takut mengambil risiko karena takut gagal dan mengecewakan orang tuanya. Anak-anak juga akan menjadi pribadi pendiam karena tak punya kecakapan dalam interaksi sosial.

“Saya sering liat di media sosial, orang tua sering posting nilai anaknya yang bagus. Jadi seakan-akan anak-anak itu hanya menjadi pelampiasan obsesi pribadinya,” katanya lagi.

Idealnya pendidikan akademis bisa diberikan orang tua ketika anaknya sudah mengerti prinsip sosial lewat pendidikan karakter yang telah diberikan sebelumnya.

IQ yang bagus harus dikendalikan oleh EQ yang baik. Orang pintar yang pandai menjalin interaksi sosial akan dengan mudah menggapai keinginannya.

“Tidak ada korelasi kepintaran akademis dengan kesuksesan. Jika punya interaksi sosial bagus, maka akan survive di lingkungan kerja,” ujarnya.

Maryana kemudian menekankan masa Golden Age jangan sampai diabaikan begitu saja. Orang tua harus benar-benar rela berkorban waktu demi masa depan anaknya.

Ketika orang tua gagal memenuhinya, maka anak-anak akan mencari jati dirinya diluar keluarganya. Contohnya bisa mencari kasih sayang ke pembantu di rumah.

“Tapi jika pembantunya baik, maka baguslah. Tapi kalau buruk, maka itu juga yang akan ditirunya. Dan kemungkinan lebih buruk lagi, anak-anak akan mencarinya keluar dari lingkungan keluar. Dan bisa terpengaruh lingkungan yang buruk.

“Anak-anak yang kurang perhatian dan kasih sayang orang tua akan mencari perhatian di lingkungan luar. Jika salah memilih pergaulan, maka itu gawat. Kurangnya kasih sayang orang tua yang menjadi penyebab kenakalan anak remaja,” jelasnya.

Jangan Katakan Jangan Pada Anak

Masa Golden Age erat kaitannya dengan pendidikan karakter anak dari tingkat dasar. Nilai-nilai positif bisa dengan mudah ditanamkan dalam memorinya. Dan tentu saja dengan penyampaian kata-kata yang positif juga.

Namun, sering ditemui orang tua yang selalu melarang anaknya melakukan ini dan itu. Dan biasanya dimulai dengan kata “Jangan”. Meskipun bermaksud baik agar anaknya terhindar dari masalah, tapi kata “Jangan” akan membatasi pilihan anak. Atau lebih buruk lagi, ia akan takut untuk mencoba hal-hal baru.

Konsultan Pendidikan Anak dari Batam Dr. Sarmini, S.Pd, MM.Pd mengatakan otak manusia dirancang untuk tidak menyetujui kata-kata dengan konotasi negatif.

“Jadi jika orang tua bilang ‘Jangan Nakal’, anak-anak malah menanggapinya beda. Kata ‘Jangan’ itu tak terdengar oleh otak anak-anak. Mereka sulit untuk menyimpulkan apa artinya,” katanya.

Banyak artikel dan tulisan yang sudah terbit membahas hal ini, tapi pada kenyataannya memang sulit untuk diterapkan. Karena kata “Jangan” sangat mudah terucap atau orang tua yang sering mengabaikannya.

Anak-anak tumbuh dengan pengalaman yang dirasakannya. Kata “Jangan” hanya membatasi ruang gerak dan pilihan yang ingin dilaluinya.

“Otak itu perekam yang luar biasa. Jadi apa yang terus terngiang-ngiang di telinganya bakal jadi memori abadi baginya,” ungkap Sarmini.

Melansir dari buku pengasuhan orang tua berjudul Hello! Moonella karangan Moonella Sunshine Jo diungkapkan bahwa selain menimbulkan keraguan, menggunakan kata “Jangan” dapat membuat anak semakin melawan ketika dilarang.

“Jika diucapkan kata ‘Jangan’ secara berulang-ulang, maka ketika kelak dewasa akan tertanam dalam benaknya dan akan membuatnya tidak percaya diri,” katanya lagi.

Sarmini menjelaskan sebagai langkah awal pengasuhan anak, gantilah kata “Jangan” dengan kata-kata lain yang lebih mudah dimengerti anak.

“Contohnya saat anak mencoret dinding orang tua bisa ucapkan kalimat seperti ‘Nak, coret-coretnya di kertas saja, nanti mama sulit membersihkannya loh,” jelasnya.

Pemilihan kata sangat penting. Orang tua harus mempelajarinya jika tidak ingin anak-anak tercintanya kelak menjadi pribadi yang inkonsisten, peragu dan tidak percaya diri.

“Biarkanlah anak-anak mencoba pengalaman baru. Karena anak-anak akan lebih mengerti ketika merasakannya secara langsung,” ungkapnya lagi.

Selain itu, alangkah baiknya jika orang tua lebih banyak membanjiri anak-anaknya dengan kata-kata penyemangat atau pujian untuk memotivasi anaknya. Itu jauh lebih bagus daripada melarangnya melakukan ini dan itu.

“Pujian juga bisa menjadi semacam reward ketika ia melakukan hal baik. Itu akan memotivasinya. Jadi seperti sebuah reward untuk edukasi, kan tak mesti dalam bentuk benda atau nominal,” jelasnya.

Banyak orang tua yang tak memperhatikan itu dan menganggap pujian hanya akan menimbulkan rasa sombong bagi anak-anak. Padahal itu bisa memotivasinya untuk berkarya lebih baik lagi.

Orang tua harus menanamkan keberanian pada anak lewat kata-kata positif dan memberikan rasa aman dan nyaman sejak usia Golden Age.

Sampaikanlah kasih sayang lewat ucapan yang lembut dan rangkullah anak-anak ketika mereka merasa tidak aman.

Jika sebaliknya yakni membentaknya, maka itu akan membuatnya tidak bisa menuntaskan emosi yang tengah dirasakannya.

“Anak-anak itu tidak bisa ungkapkan emosinya dengan baik. Sehingga terkadang mereka menangis. Tapi banyak orang tua yang tak tahan menyuruhnya berhenti atau malah membentaknya supaya diam,” katanya.

Karena takut dimarahi lagi, maka anak akan berhenti. Tapi itu akan menimbulkan kegiatan emosi yang tidak tertuntaskan dan akan tertanam dalam alam bawah sadarnya hingga ia dewasa.

“Ketika dewasa, emosi yang tidak tertuntaskan tersebut akan membuat si anak terkadang suka sedih, marah atau murung yang tak terungkapkan mengapa bisa seperti itu,” jelasnya. (*)

Update