Kamis, 28 Maret 2024

Ibu-Ibu Mendominasi Penyebaran Hoax

Berita Terkait

batampos.co.id – Penyebaran hoax di Indonesia kian mengkhawatirkan. Yang terbaru, hoax penculikan anak yang membuat Polri bergerak cepat menangkap penyebarnya. Ada 16 tersangka penyebar penculikan anak yang ditangkap. Ironisnya, penyebar hoax penculikan anak-anak itu didominasi ibu rumah tangga.

Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto menuturkan, yang memprihatinkan dari 16 tersangka penyebar hoax penculikan anak itu sebagian besar merupakan ibu-ibu. Dalam pemeriksaan diketahui mereka hanya iseng dalam menyebarkan hoax tersebut. ”Jangan seperti itu,” tuturnya.

Padahal, penyebaran hoax tersebut bisa menimbulkan ketakutan. Bahkan, bisa terjadi hal lain yang jauh lebih buruk. ”Orang yang bacakan merasakan itu, lalu meresponnya,” papar jenderal berbintang dua tersebut.

Menurutnya, kejadian tersebut memberikan kesadaran bahwa ibu-ibu perlu mendapatkan literasi digital. Media sosial merupakan ruang publik yang perlu batasan dan filter dalam menggunakannya. ”Tapi tidak hanya penyebar yang ditangkap,” paparnya.

Namun, pembuat konten hoax tersebut juga akan ditangkap kepolisian. Tentu untuk mengetahui apa tujuannya dan sebagainya. ”Kita masih cari,” papar mantan Wakil Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Wakabaintelkam) Polri tersebut.

Sementara Pengamat Media Sosial Nukman Luthfie menjelaskan, hoax penculikan anak tidak hanya merebak di Indonesia. Beberapa waktu lalu, di India hoax penculikan anak juga menyebar. ”Bahkan, dampak dari penyebaran hoax di India lebih mengkhawatirkan,” ujarnya.

Menurutnya, akibat hoax penculikan anak terjadi korban jiwa. bahkan, jumlahnya mencapai puluhan orang. Hal tersebut terjadi karena hoax itu membuat orang khawatir. ”Yang paling berbahaya itu memang hoax yang membuat kekhawatiran,” tuturnya.

Hoax penculikan anak di India inilah yang menjadi sebab Whatsapp membatasi jumlah konten yang bisa dishare. ”Sebab, dampaknya luar biasa di dunia nyata,” terangnya dihubungi kemarin.

Dia menuturkan, ibu-ibu perlu memahami bahwa informasi itu bisa membuat dampak. Tidak perlu jauh-jauh, beberapa waktu lalu ada hoax soal pencurian soundsystem. Lalu, terjadi main hakim sendiri terhadap orang yang diduga mencuri hingga meninggal dunia. ”Ini artinya hoax itu bisa membunuh,” tegasnya.

Lalu, langkah apa yang harus dilakukan? Dia menjelaskan bahwa yang paling tepat adalah penegakan hukum harus merespon dengan cepat. ”Lalu, yang diutamakan untuk ditangkap itu adalah pembuat,” tuturnya.

Karena pembuat hoax inilah yang sebenarnya pelaku utama. Walau memang untuk menangkap pembuat ini memang harus kerja keras. ”Memang sulit,” terangnya.

Menurutnya, penyebar hoax dalam undang-undang informasi dan transaksi elektronik (ITE) memang bisa ditangkap. Namun, jangan dijadikan yang utama, sebab penyebar ini biasanya membutuhkan edukasi. ”Diberikan edukasi itu perlu untuk masyarakat awam,” tuturnya.

Hoax, lanjutnya, memang tidak memandang pendidikan. Entah profesor, doktor atau yang bergelar itu bisa termakan hoax. ”Karena bila sejak awal sudah ada asumsi, lalu ada informasi yang hoax, tetap saja disebar. Tapi, tetap perlu untuk edukasi dalam menghindari hoax,” jelasnya.

Selama ini memang cukup jarang penangkapan terhadap pembuat atau produsen hoax. Bisa dihitung dengan jari pembuat hoax yang akhirnya tertangkap, misalnya kelompok Saracen dan Muslim Cyber Arym (MCA). (idr/jpg)

Update