batampos.co.id – Tjoa Kie Tjuan diangkat oleh Pemerintah Belanda menjadi kapten pertama pada tahun 1830. Itu berlanjut hingga keturunannya yakni Tjoa Ham Ling di tahun 1871.
Raut wajah yang tegas, membuatnya Tjoa Kie Tjuan terlihat sangat berwibawa sebagai pemimpin pertama etnis Tionghoa di Palembang. Apalagi disaat menggunakan pakaian khas kerajaan berwarna hitam dan bermotif ukiran disetiap sisi tangan dan bawah pakaiannya. Ditambah topi khas pemimpin serta bersarung tangan putih.
Pada masa itu, Pemerintah Belanda berhasil menguasai Bumi Sriwijaya ini. Dimasa pemerintahan Belanda masyarakat Tionghoa pun diakui perkembangannya hingga akhirnya dipercaya untuk memimpin pemerintahan khususnya di wilayah Seberang Ulu Palembang.
Maka dari itu, peradaban etnis Tionghoa di Palembang bukan lagi hal yang asing. Mereka sudah hadir sejak lama pasca runtuhnya kerajaan Sriwijaya pada abab ke XI. Masyarakat Tionghoa ini masuk untuk berdagang di daerah Seberang Ulu Palembang, tepatnya dipinggiran Sungai Musi hingga akhirnya menetap dan menikah dengan keturunan asli daerah Palembang.
“Tugas kapiten sendiri memimpin wilayah di Seberang Ulu Palembang untuk menjalankan pemerintahan Belanda dibagian Seberang Ulu,” kata Mulyadi yang merupakan keturunan Tjoa Ham Ling yang ke 14 saat ditemui di Kampung Kapitan, Minggu (11/11/2018).
Dalam melakukan pemerintahannya, sang Kapiten memiliki ruang khusus dengan dua jendela yang dapat langsung melihat kondisi perairan Sungai Musi. Sehingga, kapal yang masuk dari negara mana pun dapat dipantau langsung olehnya.
Hengkangnya Pemerintah Belanda membuat pengangkatan gelar Kapiten pun akhirnya terhenti pada Tjoa Ham Ling. Kini, gelar Kapiten terputus. Namun, generasi Kapiten tetap berlangsung hingga kini, termasuk dirinya Mulyadi.
Banyak peninggalan sejarah yang ditinggalkan para Kapiten. Salah satunya yaitu, Kampung Kapitan tempat bermukimnya etnis Tionghoa pertama di Kota Palembang; tempat pemerintahan pertama Kota Palembang dan seluruh petikan sejarah pada zaman kepemimpinannya seperti surat pengangkatan Kapiten Tjoa Ham Ling.
“Kini Kampung Kapitan masuk dalam cagar budaya karena sudah berusia lebih dari 50 tahunan,” ujarnya.
Sebagai keturunan dari Kapiten, dirinya menerima amanah untuk mengurus dan merawat rumah peninggalan yang berada di Kampung Kapitan. Untuk mengenang jasa para Kapiten, dirinya membuat ruangan khusus milik leluhurnya sedemikian rupa dan baju sang Kapiten.
Sang Kapiten yang tersohor pada masanya, dimakamkan terpisah. Tjoa Ham Ling dimakamkan di Kembang Manis Palembang. Sedangkan pendahulunya, dimakamkan di wilayah Seberang Ulu, Palembang. Ia mengaku tidak mengetahui pasti wafatnya para Kapiten ini.
“Sekarang tugas saya sebagai Kapiten yang baru untuk merawat peninggalan Kapiten terdahulu,” candanya.
(lim/JPC)