batampos.co.id – Putusan uji materi Peraturan KPU (PKPU) No 26/2018 di Mahkamah Agung menunjukkan betapa masih karut-marutnya sistem hukum pemilu di tanah air. KPU tidak punya pilihan selain menindaklanjuti putusan tersebut.
Ketua KPU Arief Budiman mengeluhkan buruknya sistem hukum pemilu Indonesia itu. ’’Terus terang saja, makin banyak hal yang merepotkan kami,’’ ujarnya saat ditemui di KPU kemarin (13/11).
Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan uji materi atas PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang melarang pengurus parpol menjadi calon DPD Arief. Permohonan tersebut diajukan Oesman Sapta Odang (OSO), ketua DPD yang juga menjabat ketua umum Partai Hanura.
Arief mengatakan, ruang untuk bersengketa dengan KPU dibuka di banyak tempat. Tidak hanya di Bawaslu. Pada pilkada lalu saja, banyak sengketa yang berujung di PTUN (pengadilan tata usaha negara). Bahkan hingga kasasi ke MA. Ketika kasasi gagal, giliran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menjadi tujuan. Peserta pilkada yang kalah di sengketa berharap agar komisioner KPU yang menyelenggarakan pilkada tersebut dipecat.
Sejumlah kasus sengketa yang diajukan ke berbagai tempat itu mengakibatkan putusan kerap tumpang tindih. ’’Di sini diputus benar. Di sana salah. Dan sebaliknya,’’ lanjut mantan komisioner KPU Jatim itu.
Dia menuturkan, pernah ada kasus etik di DKPP yang putusannya memecat komisioner KPU di daerah. Rupanya, sang komisioner tidak terima diberhentikan, kemudian menggugat ke PTUN hingga MA. Hasilnya, MA memenangkan gugatannya. ’’Lalu gimana, wong pengganti sudah dilantik,’’ tutur alumnus SMAN 9 Surabaya itu.
Karena itu, Arief berharap, ke depan aturan hukum pemilu lebih jelas dan tegas. ’’Lembaga peradilan harus paham apa dan mana yang menjadi ranah mereka,’’ ucapnya. Misalnya, putusan tentang PKPU. Maka, fokus saja ke PKPU. ’’Jangan menambah perintah macam-macam,’’ lanjutnya.
Sementara itu, untuk menindaklanjuti putusan MA soal gugatan OSO, KPU meminta waktu. ’’Kami akan undang ahli hukum tata negara buat semacam FGD (focus group discussion),’’ terangnya. Hal itu akan dilakukan tim divisi hukum KPU selesai mengkaji putusan tersebut. Setelah itu, KPU akan mengajukan audiensi ke MK (Mahkamah Konstitusi) sebelum menentukan sikap.
Menurut Arief, putusan MK secara eksplisit menyebutkan bahwa larangan pengurus parpol mencalonkan diri sebagai senator berlaku sejak Pemilu 2019. Kemudian, ada putusan MA yang arahnya berbeda meskipun tidak membatalkan PKPU. Apalagi putusan MK. Padahal, putusan MA muncul setelah DCT (daftar calon tetap) terbit. Sementara itu, putusan MK dan PKPU yang menindaklanjutinya muncul jauh sebelum DCT ditetapkan.
Pada dasarnya, bila sudah terbit, DCT tidak bisa diutak-atik kecuali ada beberapa sebab. Misalnya, caleg atau calon senator meninggal atau berhalangan tetap. Kedua, ada putusan pengadilan yang mengharuskan seseorang dimasukkan atau dikeluarkan dari DCT. Dalam hal ini, putusan MA juga tidak memerintahkan pengubahan DCT.
Saat ini, lanjut Arief, pihaknya belum mengambil opsi apa pun. Sejumlah tindak lanjut, seperti FGD bersama ahli hukum tata negara maupun audiensi dengan MK dan MA, masih dalam tahap rencana. Apa pun rekomendasinya, tetap KU yang akan memutuskan. ’’Pasti kami tindak lanjuti (putusan MA). Tetapi, bagaimana menyikapinya, itu yang kami tidak ingin salah dalam melakukan tindak lanjut,’’ tambahnya.
Sementara itu, Jubir MK Fajar Laksono mengatakan bahwa pihaknya sudah mengetahui putusan MA itu meski hanya sekilas. Dia mengingatkan, putusan MK sudah jelas berlaku sejak diucapkan di sidang terbuka. Putusan tersebut menjadi hukum. Terlebih MK sudah memberikan panduan bagaimana cara melaksanakan itu pada Pemilu 2019. ’’Itu adalah pernyataan atau statement dari penafsir konstitusi,’’ terangnya kemarin.
Pihaknya juga sudah mendengar bahwa KPU bermaksud mengajukan audiensi. Hingga saat ini, belum ada surat yang masuk ke MK dari KPU. Hanya, dia mengingatkan bahwa MK tidak akan membuat solusi di luar putusan yang ada. ’’Paling-paling MK akan menegaskan kembali putusannya,’’ tambah dia. Audiensi tidak akan menghasilan kebijakan hukum yang baru. (byu/c4/sof/jpg)