Jumat, 19 April 2024

Kasus Baiq Nuril Tanda Negara Tak Baik

Berita Terkait

batampos.co.id – Sudah jatuh, tertimpa tangga. Itulah pribahasa yang tepat untuk Baiq Nuril. Menurut putusan Mahkamah Agung, Nuril harus menjalani masa hukuman enam bulan dan denda Rp 500 juta. Padahal dia merupakan korban pelecehan seksual oleh atasannya.

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nuherwati menyatakan banyak kejanggalan dari putusan MA tersebut. Komnas Perempuan yang telah mendampingi Nuril sejak persidangan di Mataram yakin bahwa Nuril hanya korban yang berusaha melindungi diri. ”Saya sempat menjadi saksi ahli. Saat itu sempat duduk bersampingan dengan Nuril,” ungkap Nurherwati.

Dia sempat mendapatkan cerita bahwa langkah untuk merekam pembicaraan dengan Muslim, atasan Nuril, merupakan wujud pembelaan. Nuril sempat dituduh memiliki hubungan dengan Muslim. ”Hanya ingin menyatakan bahwa Nuril tidak menggoda Muslim,” ucapnya kemarin (14/11).

Apa yang dilakukan Nuril untuk merekam dinilai tepat oleh Nurherwati. Pasalnya untuk membawa kasus tersebut ke pihak berwajib, rekaman adalah alat bukti. Pelecehan seksual menurutnya tindakan kriminal yang tidak bisa dibuktikan dengan visum maupun menghadirkan saksi. ”Dia tidak sakit secara fisik. Pelecehan biasanya dilakukan di tempat tertutup,” ujarnya.

Namun dengan hadirnya Undan-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), membuat Nuril terjerat. Bahkan risiko serupa pun menurut Nurherwati juga menghantui perempuan lain yang akan berbicara ketika dilecehkan. ”Sebelumnya dikatakan “direkam kalau ada pelecehan”. Peraturan di Indonesia memang tidak berpihak pada korban,” ujarnya saat ditemui di kantornya.

Kejanggalan lainnya menurut Nurherwati bisa dilihat adanya dua fakta hukum berbeda. Pertama niat Nuril untuk merekam bukan untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak menggoda Muslim. Namun hakim di MA malah memutus kasus Nuril dengan fakta dia mentranmisi rekaman tersebut. ”Seharusnya kalau dengan fakta itu, teman yang memberikan rekaman ke kepala dinas yang juga harus diseret. Namun Muslim mungkin sudah dendam dengan Nuril,” ungkapnya.

Dia menegaskan bahwa negara tak hadir dalam kasus Nuril. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang masih menjadi polemik di DPR menjadi salah satu contohnya. ”Dalam UU ITE tidak dijelaskan pasti bagaimana posisi korban. Yang dilihat hanya berdasar norma,” tuturnya. Jika RUU PKS tersebut disahkan, harapannya posisi korban dan bagaimana penanganan korban bisa jelas dilakukan.

Asdep Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementrian PPPA Nyimas Aliah juga megaku prihatin dengan kasus Nuril. Pihaknya telah berkoordinasi dengan daerah untuk penanganan kasus Nuril. ”Jika propinsi sudah tidak mampu, pasti kami bantu,” tuturnya.

Dia pun menghimbau agar RUU PKS tak mendapat polemik yang lebih panjang. Sebab dalam RUU tersebut tertuliskan bagaimana kompensasi yang diberikan kepada korban yang hak-haknya telah direnggut. ”Dalam drafnya, RUU tersebut dijelaskan kalau pelaku yang harus ganti rugi. Kalau pelaku tidak mampu maka negara yang akan mengganti,” ujarnya.

Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tegas mengatakan bahwa Nuril tidak melanggar UU ITE sebagaimana yang divoniskan MA terhadap dirinya pada 9 November lalu. Plt. Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu mengungkapkan bahwa Kominfo telah mengirimkan tim ahli UU ITE yang dipimpin oleh Teguh Arifiyadi

Tim ini kata Nando, sapaan akrab Ferdinandus, telah memberikan ketarangan ahli di persidagan terakhir Nuril. “Dalam keterangan ahli itu, kami sampaikan bahwa Bu Nuril tidak memenuhi kriteria yang ada di pasal 27 ayat 1 UU ITE,” kata Nando kepada Jawa Pos kemarin (14/11).

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa : setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Meski demikian, Nando mengaku tidak tahu apa pertimbangan majelis hakim memutus Nuril bersalah. Menurut Nando, bantuan Kominfo sudah mentok, tidak bisa lebih jauh lagi. Sebatas memberi kesaksian ahli. “Bagaimanapun sesama penyelenggara negara, kami menghormati proses penegakan hukum,” jelasnya.

Meski demikian, kata Nando Nuril masih punya kesempatan di proses Peninjauan Kembali (PK).

Wakil Presiden Jusuf Kalla turut memberikan atensi pada kasus Baiq Nuril Makmun. Dia sudah membaca kabar tersebut dari pemberitaaan media. Meskipun begitu JK enggan untuk berkomentar terlalu dalam.

”Memang saya baca (kasus Nuril, Red). Tapi, intinya kita serahkan ke aparat hukumlah,” ujar JK usai membuka rapat koordinasi nasional dan evaluasi dana desa di hotel Sultan, Jakarta, kemarin.

Nuril terjerat pasal 27 ayat (1) undang-undang Informasi dan transaksi elektronik (ITE). Pasal itu berisi Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Dalam kasus Nuril, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dan menjatuhkan vonis enam bulan kurungan dan denda Rp 500 juta.

Menanggapi penggunaan pasal dalam UU ITE itu, JK menuturkan bahwa yang menjadi poin utama dalam pasal tersebut adalah pihak yang menyiarkan atau menyebarkan konten yang melanggar kesusilaan. ”Yang bersalah yang menyiarkan, itu intinya yang dipakai. Yang menyiarkan yang bersalah. Bukan yang ngomongnya,” ungkap JK.

Ketika diwawancarai Jawa Pos kemarin, Juru Bicara (Jubir) MA Suhadi menegaskan bahwa putusan terhadap Nuril sudah final. “Putus bulan September,” ucap dia. Namun demikian, instansinya mempersilakan apabila Nuril hendak mengajukan Peninjauan Kembali. “Itu hak setiap pencari keadilan untuk mengajukan upaya hukum yang dilindungi undang-undang,” terangnya.

Menurut Suhadi, hakim agung yang menyidangkan kasasi Nuril punya pertimbangan kuat atas putusan yang sudah diketok. “Majelis di MA, setelah melihat fakta hukum yang terungkap di persidangan berpendapat bahwa perbuatan terdakwa memenuhi dakwaan penuntut umum,” jelasnya. Karena itu, kasasi tersebut dikabulkan dan Nuril diputus bersalah.

Berkaitan dengan Peraturan MA (Perma) yang mengatur Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Suhadi menyebutkan, aturan itu tidak lantas melindungi Nuril atau terdakwa perempuan lain yang disidang di MA. “Perma itu (berlaku) dalam tata cara bersidang,” ujarnya. “Kalau masalah pembuktian terlepas dari perma itu. Tentang perbuatan menurut fakta hukum bukan dilindungi oleh perma itu. Tetapi, tata cara mengadili itu dilindungi oleh perma,” ujar dia. (syn/lyn/jun/tau/jpg)

Update