Sabtu, 20 April 2024

UU ITE Merugikan Korban dan Saksi

Berita Terkait

batampos.co.id – Putusan Kasasi Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang diketok Hakim Agung Sri Murwahyuni atas terdakwa Baiq Nuril Maknun mendapat beragam reaksi. Di antaranya dukungan terhadap mantan pegawai honorer di SMAN 7 Mataram itu. Mereka kecewa lantaran Mahkamah Agung (MA) menghukum Nuril yang notabene adalah korban.

Salah satunya datang dari lembaha perlindungan saksi dan korban (LPSK). Lembaga tersebut dalam waktu dekat akan berkunjung ke Mataram untuk menemui Nuril.”Jika kedepan diperlukan pertolongan advokasi atau yang lainnya, maka akan kami upayakan,” ucap Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo kemarin (15/11) saat dihubungi Jawa Pos.

Dia melihat jika persoalan yang dialami Nuril terdapat kesenjangan antara positivism penegakan hukum dengan realitas keadilan yang harus dipenuhi oleh institusi hukum. Tindakan merekam pembicaraan telepon dari Muslim, yang waktu itu masih menjadi atasan Nuril, merupakan wujud perlindungan diri. Dia  ingin membuktikan bahwa Muslim yang menggodanya. ”Dalam hal ini Nuril menjadi korban dan justru yang menjadi tersangka yang diputus sangat berat. Semata-mata yang jalan adalah kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Nuril kepada kepala sekolah,” bebernya.

Hasto mengkritisi hakim yang hanya berpegang pada undang-undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE) saja. Dengan kata lain, hakim hanya melihat Nuril melanggar UU ITE karena dianggap mentransmisi percakapan dengan Muslim. Hakim di Mahkamah Agung tidak melihat bahwa konteks Nuril merekam untuk melindungi diri. ”Ini satu lagi bukti perempuan di Indonesia ini sangat lemah dalam struktur budaya yang patriaki. Secara hukum mengalami kerugian dan secara budaya pun rugi,” kritiknya.

Hasto juga menuturkan bahwa UU ITE kerap dimanfaatkan untuk menyerang balik atau mengkriminalisasi oleh mereka yang sebelumnya sudah melakukan tindakan melanggar hukum. ”Misalnya pada kasus korupsi. Seorang bawahan yang melaporkan atasannya korupsi, lalu muncul di media sosial. Bisa diadukan karena pelanggaran ITE,” katanya. Dia pun menyarankan agar aparat harus melakukan penilahan terhadap kasus-kasus ITE.  Adanya UU ITE ini dianggap akan membungkam saksi dan korban untuk berani melapor atau bersaksi.

Sedangkan untuk kelanjutan kisah Nuril, dia menyarankan agar ada aduan mengenai perbincangan yang dilakukan Muslim kepada Nuril. Adanya laporan Nuril kepada pihak berwajib membuat beberapa pihak bisa melakukan intervensi sesuai dengan kewenangannya.

Anjuran untuk melaporkan Muslim juga disampaikan Komnas Perempuan. Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati menyampaikan bahwa ada peluang Nuril untuk melakukan pelaporan. Apalagi dia memiliki bukti rekaman. ”Aduannya ini akan berbeda,” ujarnya.

Dukungan juga disampaikan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Lembaga tersebut mendorong Presiden Joko Widodo memberi amnesti untuk Nurul. Direktur Ekeskutif ICJR Anggara menyampaikan bahwa selain Peninjauan Kembali (PK), amnesti dari presiden merupakan salah satu jalan untuk menyelamatkan Nuril dari hukuman penjara maupun denda. ”Meminta presiden menggunakan haknya berdasarkan konstitusi. Yaitu memberi amnesti,” imbuhnya. UUD 1945 maupun UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi bisa menjadi dasar.

Menurut Anggara, amnesti untuk Nuril juga akan menjadi bukti, Jokowi berkomitmen memperkokoh perlindungan hak korban. Dalam perkara Nuril, sambung dia, Nuril merupakan korban yang mendapat kekerasan seksual secara verbal dari mantan atasannya. ”Ibu Nuril merupakan korban pelecehan seksual yang seharusnya wajib diberikan perlindungan oleh negara,” ungkap dia tegas.

Disamping itu, ICJR juga meminta pemerintah kembali merevisi UU ITE yang dipakai untuk menjerat Nuril. Meski sudah ada revisi dua tahun lalu, revisi itu dinilai belum menyelesaikan masalah. Putusan kasasi terhadap Nuril menjadi salah satu contoh. Menunjukan UU itu berpotensi melahirkan kontroversi di masyarakat. Beberapa hal yang harus direvisi dari UU ITE di antaranya yang berhubungan dengan kebijakan pidana.

Termasuk di antaranya kesesuaian pasal-pasal dalam UU ITE dengan delik pidana yang menjadi duplikasi dari KUHP. Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu dengan tegas menyampaikan bahwa revisi UU ITE harus cepat dilakukan. ”Alasannya masih sama. UU ITE melanggar prinsip pidana,” terang dia. ”Dan berpotensi digunakan sewenang-wenang,” tambah pria yang akrab dipanggil Eras itu.

Dengan banyaknya duplikasi pidana, Eras menilai revisi UU ITE yang paling penting adalah mencopot duplikasi tersebut. ”Itu dulu,” imbuhnya. Peniliti ICJR lainnya, Genoveva pun menyampaikan hal serupa. Dia menyebutkan, revisi UU ITE harus segera terlaksana. ”Khususnya yang berhubungan dengan kebijakan pidana yang banyak menyimpang,” ungkap dia. Termasuk kesesuaian pasal-pasal dalam UU ITE dengan delik pidana KUHP.

Berdasar catatan ICJR, perkara Nuril bukan satu-satunya perkara dengan jeratan UU ITE yang menuai kontroversi. Wisniati, seorang perempuan asal Bandung, Jawa Barat pernah kena pidana lima bulan penjara. Sebabnya, dia dilaporkan oleh mantan suaminya dengan pasal serupa yang dijeratkan pada Nuril. Yakni pasal 27 (1). Selain itu, nama Prita Mulyasari juga pernah menjadi sorotan publik karena diperkarakan dengan UU ITE.

”Keduanya (Prita Mulyasari dan Wisniati) mengajukan keluhan, kemudian dikenakan pasal 27 UU ITE,” imbuh Genoveva. Jika Wisniati dijerat pasal 27 (1), Prita Mulyasari kena pasal 45 (1) juncto pasal 27 (3). Karena seringkali menjadi perhatian dan menuai kontroversi, dia menilai UU ITE patut kembali direvisi. ”Memang UU ITE ini banyak kejanggalan. Terlebih di pasal 27 ini. Sangat (pasal) karet,” tambahnya. (syn/lyn/jpg)

Update