Kamis, 25 April 2024

Ibu Rumah Tangga Banyak Tertular

Fenomena Gunung Es Kasus HIV/AIDS di Batam

Berita Terkait

Pixabay.com

Jumlah kasus HIV/AIDS di Batam terus naik setiap tahun seiring bertambahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan tes. Jumlah kasus yang relatif tinggi ini menempatkan Batam di urutan kedelapan di Indonesia. Namun bak fenomena gunung es, jumlah kasus yang sebenarnya diduga jauh lebih banyak dari angka yang terungkap.

Angka Penderita Naik

Dua wanita itu memarkir motornya di parkiran Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK) Batam, Rabu (5/12) siang lalu. Mengenakan masker, keduanya langsung bergegas menuju ruang Konseling dan Testing HIV/AIDS Kasper di Paviliun Anyelir.

Ruangan itu dipenuhi puluhan kursi dan beberapa sofa. Di dindingnya terpampang beberapa poster dan foto kegiatan pelayanan sosial, khususnya di bidang penanggulangan dan sosialisasi AIDS kepada warga Batam dari tahun ke tahun.

Di sebelah kiri pintu masuk, ada sebuah rak berisi buku-buku dan selebaran informasi mengenai HIV/AIDS. Begitu dua wanita masuk, dua petugas pun menyapa sambil meminta map yang mereka bawa untuk pendaftaran kembali.

“Tapi konselornya lagi tak di tempat. Tugas ke luar kota,” ujar salah satu staf wanita.

Konselor yang dimaksud tak lain adalah Konselor HIV/AIDS RSBK Batam, dokter Fransisca L Tanzil. Ia sedang mengikuti kegiatan di Jakarta selama sepekan. Mendengar jawaban itu, salah satu wanita tadi menuju sofa dan duduk di sana. Namanya Isti. “Mau tes (HIV) saja,” ungkapnya malu-malu.

Perempuan asal Riau ini menyebutkan sudah empat tahun merantau ke Batam. Usianya 28 tahun. Ia mengaku bekerja di salah satu tempat hiburan dan karaoke di kota ini.

Sebenarnya, ia mengaku malu untuk mengikuti tes Human Immuno Deviciency Virus (HIV) yang dapat menyebabkan orang terinfeksi terjangkit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV/AIDS ini ia anggap momok yang menyeramkan, menjauhkannya dari kehidupan sosialnya, khususnya keluarga.

“Takut ketahuan teman-teman dan keluarga saja,” ungkapnya dengan suara lemah.

Ia lantas kembali mengenakan maskernya, lalu bergegas pulang. Saat ia pulang, dua pengunjung lainnya datang. Seorang perempuan berumur dan seorang pria mengenakan jaket coklat. Si pria tersebut kurus kering dan pucat. Perempuan yang datang menemani pria itu tampak memberikan kertas kecil kepada petugas klinik. “Kasih Aluvia dan Tenofoir Disoproxil saja,” ungkapnya.

Aluvia, Tenofoir Disoproxil, dan Fumarate merupakan tiga jenis obat penangkal HIV positif dengan dosis tinggi. Obat ini tidak dijual bebas di apotek.

Khusus di RSBK, pada Januari hingga Oktober 2018 ini, tercatat ada 4.333 warga yang mengikuti tes HIV atas kesadaran sendiri ke Klinik Kasper RSBK. Dari tes itu ditemukan 307 orang terjangkit HIV positif, 257 AIDS. Sebanyak 33 orang di antaranya belakangan diketahui meninggal dunia.

Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2017. Dimana ada 4.123 orang yang menjalani tes. Sebanyak 294 di antaranya HIV positif, dan 250 AIDS yang terdiri dari 175 laki-laki, 66 perempuan, dan 9 anak di bawah umur.

Di tempat terpisah, Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Batam Pieter P Pureklolong menyebutkan peningkatan jumlah kasus dan sebaran HIV/AIDS di Batam dari tahun ke tahun cukup tinggi.

“Lumayan signifikan. Setiap tahun peningkatan selalu ada,” ujarnya di Batam Center, Kamis (6/12) sore lalu.

Pieter lalu menunjukkan data dari Dinas Kesehatan Kota Batam. Menurutnya, melalui fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes) HIV/AIDS di 26 voluntary counselling and testing (VCT) atau konseling dan tes HIV sukarela (KTS), 4 CST, dan 8 IMS di puskesmas rujukan, hingga Oktober ini ada 13.871 warga yang melakukan tes HIV. “Dari test itu, ada 587 yang HIV positif. Itu pasien baru,” ujar Pieter.

Pieter menambahkan, ada perubahan faktor risiko tertular tahun ini. Kalau tahun lalu didominasi pria pekerja seks (PPS) atau pria homoseks (gay), tahun 2018 ini penderita HIV berdasarkan pekerjaan justru lebih tinggi ditemukan pada kalangan karyawan atau buruh pabrik sebanyak 151 orang.

Lalu disusul ibu rumah tangga sebanyak 50 orang dan wanita penjaja seks (WPS) sebanyak 42 orang. Dari kalangan pria pekerja seks (PPS) atau gay justru menurun menjadi 15 orang.

“Tahun ini didominasi perilaku heteroseks. Risiko tertular dari lawan jenis tinggi. Banyak dari kalangan buruh atau karyawan. Hampir 40 persen. Disusul ibu rumah tangga yang juga menularkan ke anaknya, lalu WPS dan juga pengaruh narkoba dan jarum suntik,” jelas Pieter.

Namun Pieter menyebutkan, terus bertambahnya temuan kasus HIV/AIDS ini juga dikarenakan semakin banyaknya warga yang secara sadar memeriksakan diri. Baik ke rumah sakit, VCT, atau klinik rujukan.

Meningkatnya kesadaran ini menurut Pieter karena selama ini pihaknya gencar melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat terdampak. Demikian juga halnya dalam hal informasi, kini banyak aktivis-aktivis dan survivor yang bekerja sukarela dengan mengkampanyekan bahwa orang dengan HIV AIDS (ODHA) bukanlah musuh atau momok yang harus dikucilkan.

“Ada komunitas pendamping seperti Embun Pelangi. Ada juga Yayasan Lintas Nusa. Khusus Lintas Nusa ini, kami fokus kepada orang yang terjangkit narkoba dan perilaku seks menyimpang yang bisa terkena ke AIDS. Kami dampingi dan beri pemahaman,” ujarnya.

Tidak Semua Berani Ikuti Tes

Yayasan Embun Pelangi bergerak di bidang penyuluhan HIV/AIDS. Fokusnya pada pencegahan dengan sasaran para kaum gay dan waria. Ketua Pembina Yayasan Embun Pelangi, Efrizal, mengatakan upaya pencegahan yang mereka lakukan antara lain mengedukasi kelompok berisiko agar mengetahui tentang bahaya penularan HIV/AIDS. Kemudian dengan sukarela mereka melakukan tes HIV.

“Namun yang terpenting adalah mereka mau memeriksakan dirinya. Karena gay dan waria ini kan risiko penularannya lebih besar daripada hetero (heteroseksual),” ujar Efrizal di kantor Yayasan Embun Pelangi, Rabu (5/12).

Dalam angka persentase, penularan HIV melalui hubungan sesama jenis tingkat kerentanannya sekitar 30 persen. Lebih besar dari risiko hubungan seks dengan lawan jenis yang hanya 10-12 persen.

Selain karena berisiko, Embun Pelangi fokus mendampingi kelompok waria dan gay karena mereka cenderung tertutup. Penyebabnya, stigma dan diskriminasi yang masih terjadi di masyarakat hingga pemerintah. Kemudian akses layanan yang terkadang sulit, ditambah sikap malu, sehingga mereka semakin menutup diri.

“Walau sekarang akses layanan dari pemerintah daerah sudah lebih baik. Sudah gratis. Tetapi untuk membuat mereka mau datang melakukan pemeriksaan kan perlu edukasi. Nah itu yang kami lakukan,” jelas Efrizal.

Dalam dua tahun ini, lanjut Efrizal, pendampingan dan edukasi yang mereka lakukan berjalan cukup baik. Sebab, Embun Pelangi masuk ke komunitas-komunitas waria dan gay ini melalui pendekatan komunitas. Artinya, aktivis atau relawan yang mendampingi dari kalangan mereka sendiri.

“Kasarnya kalau kamu mencari pekerja atau relawan, dari kalangan mereka sendiri. Karena mereka yang akan lebih mudah menyampaikan dan bisa dipercayai oleh komunitas,” katanya.

Seorang relawan Embun Pelangi, DA mengatakan nyaris setiap hari mendatangi komunitasnya untuk melakukan penyuluhan tentang HIV/AIDS. Juga mendorong mereka melakukan tes HIV. Selama setahun menjadi relawan, DA tidak pernah mendapat penolakan dari anggota komunitas yang ia dampingi. Hanya saja, tidak semua aktif atau langsung bersedia melakukan tes HIV.

“Masih ada yang takut-takut. Mereka takut tahu hasilnya atau belum siap menerima hasil (tes HIV),” katanya.

Untuk akses layanan kesehatan, DA juga mengakui tidak begitu banyak kendala. Misalnya di PKM Lubukbaja, DA yang diketahui positif HIV empat tahun lalu itu bisa mendapatkan obat antiretroviral gratis. Prosedurnya tidak berbelit-belit dan petugasnya juga sudah memahami tugasnya sehingga tidak membuat ODHA tidak mendapat perlakukan diskriminatif.

“Hanya terkadang kalau di rumah sakit swasta, sangat sulit dan berbelit-belit kalau pakai BPJS Kesehatan. Kita harus punya penyakit lainnya agar bisa dilayani,” kata DA yang kini berusia 24 tahun itu.

Aktivis lainnya, Mayang, menyatakan hal senada. Sampai saat ini masih sering terjadi perilaku diskriminatif untuk ODHA.

“Kayak yang kemarin itu, ada yang dikeluarkan dari pekerjaannya karena menderita HIV,” ungkap Mayang.

Perlu Perda Khusus

Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batam menyebutkan, jumlah kasus HIV/AIDS dan korban meninggal akibat penyakit mematikan itu terus bertambah dari tahun ke tahun. Para penderita HIV/AIDS itu umumnya didominasi kalangan usia produktif, antara 25 tahun hingga 49 tahun.

”Tim kami selalu turun. Menemukan penderita sedini mungkin itu upaya menghentikan penularan yang bisa dilakukan,” jelas Kepala Dinas Kesehatan, Didi Kusmardjadi, Rabu (15/11) lalu.

Namun faktanya, selama tiga tahun sebelumnya, jumlah penderita HIV di Batam selalu meningkat. Pada 2015 ada 641 kasus baru. Lalu pada 2016 meningkat menjadi 694 kasus baru. Peningkatan juga terjadi pada 2017 dengan 768 kasus baru. Sementara tahun 2018 hingga bulan Oktober lalu telah ditemukan 587 penderita HIV baru di Kota Batam.

Pengungkapan jumlah kasus HIV/AIDS berbanding lurus dengan keberhasilan pihak-pihak terkait dalam mengupayakan kesadaran masyarakat melakukan pemeriksaan. Pada 2015 lalu, jumlah masyarakat yang diperiksa berjumlah 10.033 orang. Pada tahun 2016 naik menjadi 13.110 orang. Kemudian melonjak mencapai 20.392 orang pada 2017.

”Saat ini sudah tahap mengkhawatirkan, perlu menentukan dan menetapkan program dan kegiatan pencegahan,” kata Didi.

Didi menjelaskan, saat ini Batam menempati urutan kedelapan sebagai kota dengan jumlah penderita HIV/AIDS tertinggi di Indonesia. Karena itu, lanjutnya, sangat diperlukan adanya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur agar tes HIV wajib dilakukan.

“Sebab selama ini kita hanya bisa melakukan sosialisasi di tempat hiburan malam dengan cara persuasif saja, sehingga yang melakukan pemeriksaan hanya sedikit,” ujar Didi.

Didi menjelaskan, apabila ada Perda khusus yang mewajibkan untuk pemeriksaan, ini akan sangat memudahkan bagi Dinkes untuk mendata secara cepat dan bagi yang menolak untuk diperiksa maka akan diberi sanksi.

“Ini adalah langkah jitu menurut saya untuk penanganannya,” katanya.

Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, maka Perda tentang penanggulangan HIV/AIDS yang diarahkan mendukung tujuan pencegahan dan penanggulangan. Sementara itu, untuk memenuhi fasilitas pencegahan HIV/AIDS diperlukan upaya yang menyeluruh yang melibatkan sektor pemerintahan, dunia usaha/swasta, dan masyarakat. Upaya pencegahan juga dibantu oleh penyuluhan dan penjangkauan oleh masyarakat yang peduli pada kasus HIV Kota Batam.

Saat ini sudah ada sejumlah lembaga, antara lain Forum Masyarakat Peduli HIV Batam (FOMPAB), Forum Warga Peduli HIV Batam (Forwaphi). Keduanya di-SK-kan Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam dan juga menjadi anggota KPA Batam. Kemudian ada Embun Pelangi yang fokus pada kalangan waria dan gay.

Untuk fasilitas layanan kesehatan, Dinkes menyalurkan obat antiretroviral secara gratis. Obat ARV ini disalurkan melalui Instalasi Farmasi Kota Batam. ”Obat antiretroviral baik pasien umum maupun BPJS sepenuhnya ditanggung oleh Kemenkes,” kata Didi Kusmarjadi.

Namun, Didi mengakui sering terjadi masalah bila pasien BPJS Kesehatan mengambil obat. BPJS Kesehatan tidak menanggung biaya konsultasi ke dokter spesialis. Padahal sebelum mengambil obat per bulan, pasien wajib menemui dokter spesialis untuk mendapatkan resep dokter.

Didi juga menjelaskan, biaya rumah sakit (faskes lanjutan) yang ada pengobatan ARV berbeda-beda. Ada di RS Budi Kemuliaan, RS Elisabeth, dan RSUD Embung Fatimah. “Kalau di PKM Lubukbaja sepenuhnya gratis,” terang Didi.

Tidak hanya itu, Didi meminta kepada masyarakat turut serta dalam melakukan pencegahan penyebaran penyakit mematikan ini dengan cara setia pada pasangan. Sebab penyakit berbahaya ini sangat mudah menular melalui hubungan badan dengan pasangan yang sering gonta-ganti.

“Inilah cara yang dapat lakukan untuk pencegahan penyebarannya, sebab sampai hari ini obat untuk penyakit mematikan ini masih belum ditemukan,” ujarnya.

Selain itu, Dinas kesehatan saat ini juga melakukan pencegahan penyebaran HIV/AIDS pada ibu hamil agar tidak menyebar kepada bayi dengan program pemeriksaan kepada seluruh ibu hamil, walaupun sebetulnya penyebaran virus ini dari ibu kepada anak saat kehamilan memang tidak bisa akan tetapi dikhawatirkan akan menyebar saat proses kelahiran yang bisa menular kepada bayi, bagi yang terdeteksi virus HIV/AIDS-nya tinggi maka akan kita lakukan operasi untuk proses kelahiran.

Sementara Ketua DPRD Kota Batam Nuryanto akan meminta organisasi perangkat daerah (OPD) membuat kajian. Dari hasil kajian tentang HIV AIDS, dewan akan mengambil langkah-langkah untuk menyusun Perda.

Nuryanto mengaku miris mengetahui bahwa Batam ada di urutan kedelapan dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia untuk kasus HIV/AIDS. Ia meminta kajian yang dilakukan hendaknya segera dilaporkan sehingga bisa segera ditindaklanjuti.

“Akan ada langkah-langkah membuat Perda untuk melindungi masyarakat,” tegas Nuryanto. (uma/cha/cr1/cr2)

Update