Jumat, 19 April 2024

Orang Sakit Sulit Gunakan Hak Pilih

Berita Terkait

ilustrasi

batampos.co.id – Setelah penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) hasil perbaikan tahap kedua, masyarakat diberi kesempatan untuk memilih tidak di tempat asalnya. Syaratnya, harus mengurus sendiri formulir A.5-KPU yang didapatkan dari Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau KPU asalnya. Namun, pengurusan untuk masuk dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) itu harus dirampungkan 30 hari sebelum pencoblosan.

Viryan Aziz, komisioner KPU RI mengatakan, jumlah DPTb belum diketahui sekarang. KPU baru akan mengetahui data riil DPTb tersebut pada 17 Maret 2019. Pada hari itu akan dilakukan rekapitulasi DPTb secara nasional. Semua daerah akan menyerahkan data daftar tambahan sebelum 17 Maret.

”Jadi 30 hari sebelum pemungutan, DPTb harus ditetapkan,” kata dia. Pemungutan suara serentak pada 17 April 2019. Merujuk pada data Pilpres 2014, jumlah warga yang memanfaatkan fasilitas DPTb itu cukup banyak.

Total ada 478.540 orang yang terdiri atas 260.957 laki-laki dan 217.583 perempuan. Sedangkan total DPT pada saat itu 190.307.698 orang. ditambah dengan data DPTb, Daftar Pemilih Khusus (DPK), dan Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) yang pengguna KTP atau paspor menjadi total 193.944.150 orang. Sementara yang menggunakan hak pilih sebanyak 134.953.967 orang.

Sedangkan tahun ini, jumlah DPT hasil perbaikan tahap kedua sebanyak 192.828.520 orang. Jumlah tersebut termasuk pemilih dalam negeri yang tersebar di 32 provinsi sebanyak 190.770.329 orang dan pemilih di luar negeri 2.058.191 orang. Penetapan itu dilakukan Sabtu (15/12) lalu.

Dalam Peraturan KPU nomor 11/2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri dalam Pemilu dijelaskan aturan DPTb itu. Syarat pindah lokasi memilih itu diantaranya karena tugas pemerintahan, rawat inap, tinggal di panti sosial atau rehabilitasi, jadi tahanan di lapas atau rutan, sedang sekolah atau kuliah, pindah domisili, dan korban bencana alam.

Cara mendapatkan formulir A5 itu selain mendatangi KPU asal, bisa juga mengurus di KPU tujuan. Tapi, tetap paling lambat 30 hari sebelum pencoblosan.

Nah, aturan 30 hari itulah yang mendapatkan banyak kritikan. Termasuk dari mantan komisioner KPU Ferry Kurnia Riskiyansyah. Dia menuturkan tentu tidak mungkin orang yang sakit bisa memprediksi kapan akan dirawat inap di rumah sakit yang berlokasi di luar kota. Bisa jadi dalam rentang 30 hari itu orang tersebut opname. Sehingga, bila merujuk aturan itu tentu tidak mungkin bisa mendapatkan formulir A-5.KPU untuk masuk DPTb.

”Di undang-undang sekarang kan dikunci harus satu bulan harus ada pindah domisili mengurusi DPTb, saya tidak bayangkan bagaimana dengan teman-teman kita yang sakit. Yang pada hari H sakit. Harus ditanyakan ke KPU itu,” ujar Ferry usai diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/12).

Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, ketentuan 17 Maret atau 30 hari tidak bisa diubah, karena aturan itu tercantum dalam Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU (PKPU).

”Bunyi di undang-undang seperti itu,” tegas dia. PKPU hanya menerjemahkan apa yang ada di U

Bagaimana dengan mereka yang sakit dan tidak bisa mengurus persyaratan sebelum 30 hari pemungutan? Pramono mengatakan mereka harus tetap mengikuti aturan yang berlaku. Yaitu, mengurus dokumen persyaratan sebelum 17 Maret.

”Tidak ada perpanjangan waktu, karena batas waktu sangat tegas disebutkan dalam UU,” tegas dia. (jun/lum)

Pemilih Rawan
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memberikan catatan kritis terkait dengan pemberian akses pada kelompok masyarakat yang rentan tak bisa gunakan hak pilihnya. Diantaranya, masyarakat adat, milenial yang baru berusia 17 tahun pada 2019, kaum disabilitas, korban bencana, dan penghuni lapas.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menuturkan untuk disabilitas misalnya perlu diperjelas sejak awal kebutuhan mereka. Dia melihat belum ada keseriusan dari KPU untuk mendata dengan cermat kaum disabilitas itu.
”Pada saat rekapitulasi DPT HP tahap dua itu tidak dijelaskan dengan detail oleh KPU,” ungkap dia.
Padahal kebutuhan pada saat pemilihan antara jenis disabilitas satu dengan yang lain itu berbeda. ”Bahkan ada yang baru diketahui disabilitas pada hari pemungutan,” tambah dia.
Begitu pula dengan korban bencana. Perludem mencatat di Sulawesi Tengah yang baru terdampak gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi itu data yang ditampilkan KPU begitu dinamis. Pada 16 September saat mengumumkan DPT HP tahap pertama jumlah pemilih di Sulteng 1.886.810 sedangkan pada Sabtu (15/12) tercatat 1.952.810 orang.
”Korban bencana alam itu juga rentan. Karena dokumen kependudukan seperti KTP elektronik mereka banyak pula yang tak lagi dimiliki. Maka perlu ada perhatian khusus juga,” kata Titi.
Mantan komisioner KPU Ferry Kurnia Riskiyansyah juga memberikan catatan terhadap informasi dari Kemendagri bahwa belum masih ada 2,6 persen penduduk yang belum rekam e-KTP. Sebab, saat ini ada persyaratan pemilih itu harus menunjukan e-KTP atau surat keterangan telah rekam e-KTP. Akhirnya dulu cukup dibuat surat pernyataan betul-betul sebagai pemilih.
”Kami sampaikan juga kepada partai (politik). Akhirnya mereka juga menerima betul di pelosok sana ada orang tua renta dia tidak mengurus KTPnya lagi. Tapi dia riil penduduk disana dan berpuluh tahun disana,” ungkap dia.
Selain itu, Ferry juga mengkhawatirkan ada jumlah Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang banyak. DPK adalah mekanisme lain yang memungkinkan seseorang bisa memilih hanya dengan menggunakan e-KTP. Tapi, lokasi memilihnya sesuai dengan domisili di tempat tinggal sesuai KTP tersebut dan memilih pada siang hari jelang penutupan TPS.
”Yang dikhwatirkan jumlah DPK ini signifikan. Kalau iya, patut diduga ada mobilisasi dan itu tentu kurang bagus untuk demokrasi di negara kita,” tambah dia. (jun/lum)

Update