batampos.co.id – Industri properti 2019 diprediksi tumbuh tidak jauh beda dengan tahun ini alias jalan di tempat. Meski kebijakan loan to value (LTV) kian memudahkan masyarakat membeli rumah, tingginya suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) masih menjadi salah satu penghambat.
Ketua Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur Danny Wahid mengakui, kebijakan LTV yang dirilis Bank Indonesia (BI) sudah memberikan angin segar pada industri properti di tanah air.
Sayangnya, kemudahan dalam membeli rumah masih terhambat cicilan rumah yang dirasa berat.
’’Pelonggaran LTV sudah bagus. Uang muka sudah bisa diturunkan. Tapi kan masalahnya ada di cicilan,’’ katanya.
Bunga KPR di bank yang dirasa tinggi mengakibatkan masyarakat ragu membeli rumah.
Menurut Danny, bunga kredit di bank yang mencapai 11 persen memperlambat pertumbuhan industri properti. Bunga yang ditetapkan bank semestinya hanya ditambah 3 persen dari suku bunga acuan BI yang mencapai 6 persen. Karena itu, Danny berharap bank menetapkan bunga kredit bagi pembeli maksimal 9 persen dan bunga bagi konstruksi 8 persen.
Meski begitu, Danny mengungkapkan bahwa ada beberapa bank yang memberikan kredit ringan bagi pembeli rumah. Sayangnya, kredit tersebut tidak dibarengi kemudahan bagi pelanggan bank untuk mendapatkannya. Ditambah lagi, bunga itu hanya bertahan hingga dua tahun, kemudian berubah menjadi floating.
Padahal, dengan kemudahan nasabah memperoleh kredit, permintaan properti akan meningkat dan mendorong pertumbuhan industri tersebut. Terlebih, pada segmen milenial, pembiayaan KPR makin sulit dilakukan. Sebab, anak muda belum tertarik membeli rumah. Padahal, pasar usia produktif di industri properti sangatlah besar.
Tahun ini salah satu properti yang banyak diminati adalah segmen kelas menengah. Karena itu, pentingnya perubahan pola pikir dan gaya hidup anak muda harus didukung pengembang. Menurut dia, gaya hidup konsumtif anak muda perlu diubah. ’
’Sehingga milenial itu tidak terpaku pada mobil dan kartu kredit yang cicilannya hampir sama dengan rumah,’’ tegas Danny.
Merujuk laporan BI, pada kuartal III 2018 penjualan properti di Indonesia turun 14,14 persen (qtq) jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Penyebab penurunan penjualan tersebut, suku bunga yang tinggi dan terbatasnya penawaran properti. Lamanya perizinan pembangunan properti mengakibatkan sedikitnya stok yang ditawarkan.
Target properti yang semestinya dibangun dalam setahun harus mundur akibat perizinan yang lama. Dia berharap aturan itu diperbaiki.
’’Pertumbuhan penduduk ada. Orang dewasa butuh rumah. Tidak ada namanya perumahan tidak laku. Tinggal bagaimana mekanisme berjalan,’’ tuturnya.
Senior Director PT Ciputra Development Tbk Sutoto Yakobus menuturkan, pengembang melihat tahun depan masih dipenuhi ketidakpastian. Pengaruh ekonomi global hingga perang dagang AS dan Tiongkok masih sangat besar. Selain itu, di dalam negeri, perekonomian nasional yang kurang bergairah memengaruhi sektor properti.
’’Kita melihat sejujurnya 2019 itu masih mengandung uncertainty. Likuiditas mungkin bakal sedikit mengetat, mudah-mudahan sedikit saja. Jadi, dengan kondisi seperti itu, masih ada ketidakpastian dalam prospek properti tahun depan,’’ papar Sutoto.
Dengan melihat kondisi tersebut, pengembang mulai selektif meluncurkan proyek baru. Terutama melihat lokasi, jenis produk, dan segmen pasar yang dituju. ’’Tapi, intinya pengembang akan lebih berhati-hati, bahkan mungkin me-launching lebih sedikit produk baru,’’ lanjutnya.
Pada semester pertama tahun depan, adanya pemilihan umum memengaruhi orang dalam membelanjakan dananya. Bahkan bagi sebagian orang bisa berdampak signifikan, yakni menunda belanja barang-barang mahal. Adanya kebijakan LTV, lanjut Sutoto, tidak berpengaruh signifikan. Sebab, regulasi uang muka yang rendah itu dinilai tidak menarik. Umumnya, kebanyakan developer sudah memberikan kemudahan pembayaran down payment (DP).
’’Jadi, DP dapat dicicil agak lebih panjang,’’ jelasnya.
Dari sisi pengembang, kelonggaran dalam pencairan kredit konstruksi atau untuk KPR inden dapat meringankan beban pengembang, khususnya pengembang proyek baru.
’’Kalau tanpa kelonggaran itu, pengembang perlu modal kerja yang lebih besar,’’ ungkapnya.
Khusus untuk properti mewah, saat ini pengembang masih menunggu rencana pemerintah menghapuskan pengenaan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Diyakini, kalau rencana itu bisa segera direalisasikan, dampaknya terhadap penjualan properti mewah bakal signifikan. (res/ell/c14/oki/JPG)