batampos.co.id – Kesempatan untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bisa datang tahun depan. Namun, fluktuasi harga minyak dunia tetap patut dicermati.
Turunnya harga minyak dunia dan tahun politik. Dua variabel itu dinilai menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menurunkan harga BBM pada 2019 mendatang. Baik jenis subsidi serta penugasan yang harganya ditetapkan pemerintah maupun menginstruksikan kepada badan usaha seperti PT Pertamina (Persero), Shell Indonesia, Total Indonesia, dan AKR untuk mengubah harga BBM mereka.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P.G. Tallatov memprediksi, pemerintah mungkin tidak akan menyia-nyiakan penurunan harga minyak yang bertepatan dengan tahun politik (Pemilu 2019).
”Tetap ada celah turun. Dari kacamata ekonomi politik, pemerintah mendapatkan durian runtuh, dapat momentum untuk menurunkan harga BBM,” ujar Abra, Kamis (27/12/2018).
Selain momentum turunnya harga minyak dunia, nilai tukar rupiah sedang menguat. Dua hal tersebut termasuk komponen pembentuk harga BBM.
Penurunan nilai impor migas pada November jika dibandingkan dengan Oktober (MtM) sebesar 2,8 persen memberikan pengaruh positif terhadap mengecilnya defisit perdagangan migas.
Hanya, pemerintah mesti berhati-hati jika memang ingin mengambil kebijakan menurunkan harga BBM. Sebab, harga minyak dunia sulit diprediksi dan terus berfluktuasi.
”Jika harga minyak dunia naik lagi, kebijakan menaikkan harga BBM saat sudah diturunkan menjadi sangat sensitif,” tegas Abra.
Dia menjelaskan, tidak akan menjadi masalah besar apabila Pertamina tidak menurunkan harga BBM nonsubsidi mereka.
Sebab, perusahaan migas pelat merah tersebut harus menanggung beban cukup besar lantaran ditahannya harga solar subsidi dan premium di tengah kenaikan harga minyak dunia. Laba perseroan pada kuartal ketiga 2018 hanya mencapai Rp 5 triliun.
Turun signifikan jika dibandingkan dengan tahun lalu.
”Di sisi lain, Pertamina ingin menambah pemasukan untuk kompensasi potensial lost yang didapat sembilan bulan ke belakang dengan mempertahankan harga,” terangnya.
Hingga akhir tahun, pihaknya memprediksi harga minyak mentah Indonesia atau ICP (Indonesian crude price) hanya akan berada di level USD 50 hingga 60 per barel. Sementara itu, tahun depan harga akan semakin menurun menjadi USD 45 hingga 55 per barel.
”Brent dari awal tahun sudah turun 15 persen dan WTI turun 23 persen. ICP juga bakal turun di kisaran angka tersebut,” katanya.
Kekhawatiran adanya perlambatan ekonomi dunia tahun depan serta perang dagang yang terjadi antara AS dan Tiongkok masih menjadi faktor pemicu penurunan permintaan minyak dunia.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan, pada Januari 2019 seluruh harga BBM nonsubsidi turun seluruhnya. Saat ini hanya Pertamina yang belum menurunkan harga BBM nonsubsidinya.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Djoko iswansto mengatakan, Pertamina segera menyusul menurunkan harga BBM nonsubsidi sesuai instruksi pemerintah.
”Shell sudah turun, tetapi Pertamina belum ya. Bertahap lah,” tuturnya.
Harga BBM Shell reguler beroktan 90 memang turun dari Rp 10.550 per liter menjadi Rp 10.000 per liter di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Untuk BBM Shell yang lain, harganya tidak berubah. Misalnya, BBM Shell Super sebesar Rp 10.750 hingga Rp 10.850 per liter.
Kemudian, harga diesel Rp 12.100 sampai Rp 12.250 per liter. Untuk harga V power sebesar Rp 12.300 hingga Rp 12.450 per liter.
Sekretaris Perusahaan Pertamina Syahrial Muchtar mengungkapkan, pihaknya masih mengevaluasi harga BBM perseroan nonsubsidi.
”Kami masih review, kaji dulu perkembangan fluktuasi harga minyak yang di-upstream. Tetapi, perlu dipahami juga harga downstream itu tidak otomatis berubah jika harga di upstream bergerak,” ujarnya.
Sebab, acuan penentuan harga BBM yang digunakan berbasis MOPS (mean of Platts Singapore). Yakni, penilaian produk untuk perdagangan minyak di kawasan Asia yang dibuat Platts, anak usaha McGrawHill.
Istilah MOPS selama ini dikenal di Indonesia dengan mid oil Platts Singapore yang dijadikan patokan harga BBM berdasar Perpres No 55 Tahun 2005. Selisih harga patokan per liter jenis BBM tertentu yang didasarkan ke MOPS ditambah alpha (margin dan biaya distribusi) sebesar 14,1 persen dikurangi dengan harga jual eceran per liter akan menjadi besar patokan subsidi untuk tiap liter BBM jenis tertentu.
”Bukan acuan WTI atau Brent. Kan ada time-lapse-nya. Ini lagi kami review, (kalau) tiba-tiba naik lagi bagaimana?” imbuhnya.
Dengan demikian, diperlukan kajian mendalam mengenai tren harga minyak ke depan agar Pertamina tidak salah langkah dalam menentukan penyesuaian harga. Jangka waktu untuk mengkaji hal tersebut bisa mencapai dua pekan hingga sebulan. (vir/c25/fal/JPG)