Jumat, 29 Maret 2024

Ambil Alih FIR dari Singapura

Berita Terkait

batampos.co.id – Danlanud Raden Sadjad Natuna Kolonel (Pnb) Prasetya Halim menyatakan mendukung dan menyambut baik upaya pemerintah mempercepat pengambilan alih ruang udara, Natuna, Tanjungpinang, dan Batam dari kendali Singapura.

Menurutnya, pemerintah berupaya keras agar kedaulatan ruang udara, Natuna, Tanjungpinang, dan Batam dikuasai sepenuhnya oleh negera. Selama ini, tiga ruang udara wilayah Provinsi Kepulauan Riau tersebut masih dalam pengawasan dan kendali Air Traffic Control (ATC) Singapura.

“Selama ini setiap penerbangan dalam ruang udara wilayah Kepri ini harus izin dari Singapura. Sebagai pangkalan udara TNI di perbatasan, kami sangat men-support agar pengambilan alih ruang udara ini dipercepat,” kata Danlanud, Rabu (2/1/2019).

Dikatakannya, target mengambil alih tersebut tahun 2019, namun sekarang masih dalam proses. Kementerian Perhubungan, AirNav, termasuk Kementerian Luar Negeri masih bekerja dan tahap lobi-lobi tingkat internasional.

Danlanud mengatakan, jika Flight Information Region (FIR) wilayah Natuna diambil alih oleh negara, maka Lanud RSA Natuna secara fasilitas pendukung penerbangan sudah sangat lengkap.

Bahkan menurutnya, status pangkalan udara TNI AU di Tanjungpinang pun perlu ditingkatkan. Selain itu, pemerintah sudah me­rencanakan membagun Lanud tipe C di Batam di 2019.

“Pesawat-pesawat tempur TNI AU bisa siaga penuh di Ba­tam. Inilah upaya pemeritah untuk menjaga ruang uda­ra, agar Singapura juga tahu bahwa wilayah udara sudah diambil alih dari mereka. Jadi nanti, setiap kita mau terbang, ya terbang saja tidak perlu izin lagi sa­ma Si­ngapura,” terang Danlanud.

Mengambil alih ruang udara, kata Danlanud, tidak hanya untuk kedaulatan udara di perbatasan. Namun secara finansial jelas akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah di perbatasan.

“Dampak secara ekonomi itu jelas akan dirasakan oleh Natuna. Namun yang paling utama saat ini, pemerintah mesti mempersiapkan infrastruktur dan SDM yang siap dan bisa diandalkan,” terang Raden.

Petugas ATC di Bandara hang Nadim.
foto: batampos.co.id / yusuf hidayat

Seperti diketahui, tidak hanya penerbangan sipil, ruang udara Natuna hingga Batam dan Tanjungpinang dikuasai Singapura menyebabkan TNI harus minta izin kepada Singapura untuk melakukan latihan tempur di wilayah sendiri seperti di Natuna.

Kendali Singapura atas wilayah udara Batam, Tanjungpinang, dan Natuna sudah berlangsung sejak 1946 atau setahun setelah Indonesia merdeka. Artinya, sudah 72 tahun lebih Singapura mengendalikan FIR di tiga wilayah itu.

Luas penguasaan Singapura atas wilayah udara tersebut mencapai 100 nautical mile. Satu nautical mile setara 1,825 kilometer. Artinya, luas kekuasaan Singapura di atas negara kita sekitar 200 kilometer dari garis batas kedua negara. Itu sudah nyaris masuk ke wilayah Pangkal Pinang (Bangka) dan Palembang. Sangat luas.

Adalah pertemuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO di Dublin, Irlandia, Maret 1946, yang memberi kekuasaan kepada Singapura untuk mengontrol lalu lintas di angkasa Indonesia, khususnya wilayah Kepri. Saat itu delegasi Indonesia tidak hadir.

Berdasarkan mandat dari pertemuan ICAO tahun 1946 itulah, seluruh pesawat-termasuk pesawat militer Indonesia yang ingin mendarat, lepas landas, atau sekadar melintas di atas Batam, Tanjungpinang, dan Natuna, wajib diinformasikan kepada Singapura dan harus mendapat izin Singapura.

Mandat ICAO tak hanya memberi Singapura kewenangan mengatur lalu lintas udara di dalam area FIR di Kepri. Lebih daripada itu, Singapura juga berhak memungut fee atau bayaran dari seluruh maskapai yang melintasi FIR, termasuk fee dari maskapai Malaysia yang melintas dari kota-kota Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur di Kalimantan dan sebaliknya. Tarifnya dalam dolar Amerika.

Sementara upaya merebut kembali kedaulatan udara Indonesia dari tangan Singapura sudah berlangsung sejak tahun 1993 melalui pertemuan Navigasi Udara Regional (Regional Air Navigation/RAN Meeting) yang diselenggarakan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) di Bangkok. Dalam makalahnya tentang UU Penerbangan tahun 2009, ahli hukum internasional Dr HK Martono mencatat, dalam pertemuan sepenting itu pemerintah Indonesia hanya mengirim pejabat operasional. Sedangkan Singapura mengirim Jaksa Agung, Sekjen Kementerian Perhubungan, serta para penasihat hukum laut internasional.

Alhasil, Indonesia tidak memperoleh kemajuan apa-apa dalam pertemuan itu. Forum menyepakati agar Indonesia dan Singapura menyelesaikan masalah FIR ini secara bilateral. Apabila telah dicapai kesepakatan, akan disampaikan kepada RAN Meeting berikutnya. RAN Meeting ini berlangsung tiap sepuluh tahun sekali.

Selain melalui pertemuan resmi itu, pemerintah juga berkali-kali menggaungkan rencana pengambilalihan FIR Kepri dari Singapura. Mulai dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo. Pemerintah menargetkan, tahun 2019 ini FIR Kepri sepenuhnya kembali di bawah kendali Indonesia.(JPG)

Update