Jumat, 29 Maret 2024

4 Rumah Sakit Batam Stop Layani Pasien BPJS

Berita Terkait

batampos.co.id – Sebanyak empat rumah sakit (RS) di Batam menghentikan layanan kesehatan untuk pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Penyebabnya, keempat RS tersebut belum terakreditasi sehingga tak bisa melanjutkan kerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Keempat RS tersebut masing-masing

  • RS Graha Hermine di Batuaji,
  • RSIA Griya Medika,
  • RSIA Frishdy Angel,
  • RS St Elisabeth di Seilekop, Sagulung.

Pemberhentian layanan pasien BPJS Kesehatan ini efektif per 1 Januari 2019.

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Batam Zoni Anwar Tanjung menjelaskan, seluruh fasilitas kesehatan (faskes) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tahun 2019 wajib terakreditasi. Sertifikat akreditasi merupakan persyaratan wajib yang harus dipenuhi setiap RS dan klinik yang melayani Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 sebagai perubahan Peraturan Menteri Kesehatan No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

“Akreditasi sesuai regulasi adalah syarat wajib. Diharapkan rumah sakit dapat memenuhi syarat tersebut. RS yang memenuhi syarat bisa bekerja sama sesuai Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan di pasal 67,” ujar Zoni, Jumat (4/1/2019).

Dikatakannya, seleksi dan kredensialing atau uji kelayakan akan melibatkan Dinas Kesehatan kabupaten/kota atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan. Kriteria teknis yang menjadi pertimbangan BPJS Kesehatan untuk menyeleksi fasilitas kesehatan yang ingin bergabung antara lain sumber daya manusia (tenaga medis yang kompeten), kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan.

“Fasilitas kesehatan swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib memperbaharui kontraknya setiap tahun. Namun pada dasarnya kontrak sifatnya sukarela. Hakekat dari kontrak adalah semangat mutual benefit,” kata Zoni.

Dalam proses memperbarui kontrak kerja sama, dilakukan rekredensialing untuk memastikan benefit yang diterima peserta berjalan dengan baik sesuai kontrak selama ini. Proses ini juga mempertimbangkan pendapat Dinas Kesehatan setempat dan memastikan bahwa pemutusan kontrak tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat dengan melalui pemetaan analisis kebutuhan faskes di suatu daerah.

“Dengan demikian rumah sakit yang dikontrak BPJS Kesehatan harus sudah terakreditasi agar menjamin pelayanan kesehatan yang bermutu untuk masyarakat, kecuali ada ketentuan lain,” jelas Zoni.

Dilain sisi, adanya anggapan bahwa penghentian kontrak kerja sama dikaitkan dengan kondisi defisit BPJS Kesehatan adalah informasi yang tidak benar. Apabila ada fasilitas kesehatan yang belum terbayarkan oleh BPJS Kesehatan, rumah sakit dapat menggunakan skema supply chain financing dari pihak ketiga yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

“Informasi tersebut tidak benar, bukan di situ masalahnya. Sampai saat ini pembayaran oleh BPJS Kesehatan tetap berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegas Zoni.

Sementara Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kepri, dr Ibrahim merasa kecewa dengan peraturan tersebut. Sebab, Desember 2018 lalu, pihaknya masih menerima surat dari Kementerian Kesehatan terkait dispensasi bagi rumah sakit yang belum terakreditasi.

“Sekitar tanggal 12 Desember kami baru menerima surat yang intinya memberi kesempatan bagi RS yang belum terakreditasi. Namun di detik terakhir datang lagi surat dari Kemenkes, RS yang tak terakreditasi tak bisa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan,” ujar Ibrahim kepada Batam Pos, kemarin.

Menurut dia, hal itu cukup mengagetkan. Sebab untuk bisa mendapatkan sertifikat terakreditasi tak gampang dan butuh waktu. Penilaiannya terkait banyak hal. Tak hanya dari dokumen, namun juga SDM serta peralatan medis di RS atau klinik terkait.

“Ini memang jadi persoalan bagi Persi. Namun untuk terakreditasi itu butuh waktu dan proses. RS yang akan diakreditasi juga butuh bimbingan dan persiapan,” jelas Ibrahim.

Untuk itu, ia meminta waktu kepada Kementerian Kesehatan agar memberi dispensasi terhadap empat rumah sakit tersebut. Sebab dampaknya tak hanya bagi rumah sakit, namun juga masyarakat yang kerap berobat di sana. Bahkan, ia mendapat informasi dari warga yang mengeluh karena tak bisa lagi berobat di salah satu rumah sakit yang tak lagi bekerja sama dengan BPJS.

“Dampaknya cukup dirasakan rumah sakit dan masya-rakat. Tanggal 9 Januari ini ada rapat di Jakarta dan pengurus daerah diminta menjelaskan kondisi di masing-masing daerah. Kami akan jelaskan persoalan ini agar dicarikan solusinya,” terang Ibrahim.

Di sisi lain, ia tak menampik dan tak bisa menyalahkan peraturan tersebut. Sebab untuk menjamin pelayanan yang bermutu, fasilitas kesehatan memang lah harus terakreditasi.

Jangan Hentikan Kerja Sama

Sementara Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, aturan yang ditetapkan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit memang didasarkan hukum positif. Yakni UU 44/2009 dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 99/2015 yang mewajibkan sertifikasi akreditasi untuk bekerja sama dengan BPJS.

Hanya saja, lanjutnya, perlu juga dilihat kondisi di lapangan. Dengan jumlah rumah sakit yang ada saja, pelayanan bagi peserta JKN belum maksimal.

“Saya kemarin nangani kasus orang susah cari HCU (High Care Unit), sekarang kabarnya sudah meninggal orangnya,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Batam Pos), Jumat (4/1).

Dengan diputusnya kerja sama dengan BPJS, dapat dipastikan, akses peserta JKN untuk mendapat pelayanan rumah sakit semakin terbatas. Imbasnya, permintaan yang masuk ke rumah sakit lainnya akan meningkat. Belum lagi, jumlah peserta JKN juga terus bertambah seiring target kepersertaan yang meningkat.

Oleh karenanya, lanjut Timboel, sebaiknya kerja sama tidak dihentikan. Dengan demikian, pemenuhan syarat sertifikasi akreditasi bisa dilakukan sambil berjalan.

“Silakan disupervisi, supaya RS tersebut didorong mengurus sertifikasi tapi kerja sama terus berjalan saja,” imbuhnya.

Apalagi, berdasarkan informasi yang diterimanya dari internal BPJS, sertifikasi akreditasi lebih kepada prosedur administrasi. Belum sampai pada syarat yang berkaitan langsung dengan keselamatan pasien.

“Kalau hanya administrasi seperti SOP ya terima saja. Tapi tetep disupervisi supaya cepat dapat akreditasi,” tuturnya.

Selain solusi jangka pendek, Timboel juga berharap pemerintah menyiapkan solusi jangka panjang. Di antaranya adalah menambah jumlah rumah sakit milik pemerintah.

Menurutnya, pemerintah jangan hanya fokus pada target peningkatan jumlah peserta JKN. Tapi juga perlu diimbangi dengan penambahan fasilitas sehingga supply dan demand seimbang.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan skema insentif bagi rumah sakit swasta. Berdasarkan pantauannya, masih ada sekitar 300-an rumah sakit swasta yang menolak bekerja sama dengan BPJS akibat kalkulasi ekonomi yang dinilai tidak cukup menguntungkan.

“Seperti RS Pondok Indah misalnya ayo diajak kerja sama dengan BPJS, beri insentif,” kata dia. Jika supply dan demand seimbang, pelayanan bagi publik juga bisa maksimal.

BPJS Kesehatan sendiri belum memiliki data pasti jumlah rumah sakit yang belum terakreditasi. Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menjelaskan bahwa lembaganya telah bersurat kepada Kementerian Kesehatan. Yang memiliki data rumah sakit adalah Kemenkes.

”Kemenkes yang merekomendasi (rumah sakit yang belum terakreditasi, red),” ungkapnya, kemarin.

Syarat akreditasi sebenarnya sudah tertuang pada Permenkes 99 tahun 2015. Memang aturannya baru setelah lima tahun berjalan, syarat tersebut diberlakukan. Bagi rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan namun belum terakreditasi maka tidak akan diperpanjang kerja samanya.

Lalu bagaimana dengan nasib pasien? Iqbal mengakui pada awal penerapan kebijakan pasti ada perasaan tidak pas. Meski demikian, rumah sakit yang masih beker jasama wajib untuk melayani pasien.

”RS lain harus melayani pasien dimaksud,” ungkapnya.(***/lyn/far)

Update