Rabu, 24 April 2024

Ba’asyir Tolak Setia pada Pancasila

Berita Terkait

batampos.co.id – Pemberian pembebasan bersyarat (PB) untuk terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’asyir me-nuai pro dan kontra. Di satu sisi, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut dinilai layak mendapat apre-siasi, tapi di sisi lain dianggap merusak tatanan hukum. Bahkan beberapa kalangan menilai kental muatan politisnya karena dilakukan jelang pilpres 2019, bukan di awal-awal pemerintahan Jokowi.

Penasihat hukum Presiden Jokowi, Yusril Ihza Mahendra membenarkan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir sebagai terpidana terorisme bakal mendapat pembebasan bersyarat. Namun, dalam pembebasan itu, Baasyir yang ditahan di Lapas Gunung Sindur tak mau menandatangani ikrar sum-pah setia terhadap Pancasila. Meskipun janji setia kepada Pancasila dan NKRI itu salah satu syarat untuk mendapat pembebasan bersyarat tersebut.

Menurut Yusril, penolakan itu sama sekali tidak menghambat proses pembebasan Ba’asyir. Yusril pun telah bertemu langsung dengan Presi-den Jokowi membicarakan hal tersebut. Dari hasil pembicaraan, Jokowi memaklumi hal tersebut dan tetap pada keputusannya untuk memberikan kebebasan bersyarat pada Ba’asyir.

Yusril sendiri memahami keinginan dari Ba’asyir sehingga dia tak mau berdebat soal penolakan penandatanganan ikrar setia terhadap Pancasila dan NKRI.

“Karena dia (Abu Bakar) hanya setia kepada Allah dan patuh kepada Allah. Saya paham jalan pikiran beliau dan enggak mau berdebat, saya hanya ketawa saja,” sambung Yusril.

Soal pendapat bahwa pembebasan Ba’asyir merusak tatanan hukum karena meng-abaikan aturan menteri, Yusril berpendapat dari segi hukum presiden dapat membuat kebijakan yang menyimpang dari peraturan menteri (permen) dan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaan pembebasan bersyarat.

Penyimpangan yang dimaksud Yusril terkait kebijakan pemberian pembebasan bersyarat yang mengesampingkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3/2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, serta PP Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Masyarakat.

Dalam dua aturan itu, banyak syarat yang harus dipenuhi narapidana (napi) agar mendapatkan surat keputusan (SK) pembebasan bersyarat dari otoritas bidang pemasyarakatan. Seperti diatur dalam pasal 84 Permenkumham 3/2018, PB bagi napi kasus terorisme harus bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara yang dilakukan.

Selain itu, napi telah menjalani paling sedikit 2/3 masa pidana, telah menjalani asimilasi paling sedikit setengah dari sisa masa pidana, telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahannya, serta menyatakan ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara tertulis.

”Peraturan menteri itu bisa dikesampingkan presiden,” kata Yusril, Sabtu (19/1/2019).

Menurut Yusril, peraturan menteri dan peraturan pemerintah merupakan sebuah kebijakan. Dalam prinsip administrasi negara, kata Yusril, presiden merupakan pemegang tertinggi kebijakan.

”Presiden bisa bertindak menyimpang dari aturan itu (menteri) sepanjang dia (pre-siden, red) bisa memperta-hankan alasan-alasan yang benar,” urainya.

Pendapat Yusril diamini pengacara Ba’asyir, Mahendradatta. Dalam kesempatan yang sama, Mahendra menyebut pemberian pembebasan bersyarat yang me­ngesampingkan aturan menteri dan aturan pemerintah memang harus melibatkan presiden.

”Kalau bukan presi-den mana bisa?” ujarnya di kantornya di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, kemarin.

Mahendra menyebut tidak ada kesepakatan apapun antara Ba’asyir dan Jokowi terkait pembebasan ini. Menurut dia, pihaknya murni menggunakan pendekatan peraturan pemasyarakatan. Dia pun menegaskan Ba’asyir sejatinya berhak mendapatkan pembebasan bersyarat terhitung 13 Desember 2018 lalu.

”Tolong kasus ini tidak perlu ditarik ke kanan atau ke kiri,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar meng-apresiasi kebijakan memberikan pembebasan atas nama kemanusiaan itu. Menurut Haris, Ba’asyir yang saat ini berusia 81 tahun memang tidak sepantasnya mendekam di penjara.

”Tapi, soal kemanusiaan itu harus ditemukan juga upaya litigasi yang strategis, jangan serampangan,” terangnya.

Di sisi lain, pengamat hukum Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar berseberangan dengan pendapat Yusril yang menyebut presiden hanya mengesampingkan aturan menteri dalam kasus Ba’asyir. Menurut Fickar, pembebasan bersyarat tidak hanya diatur dalam permen dan PP. Tapi juga diatur dalam Undang-Undang KUHP. Khususnya pasal 15 ayat (1).

Dalam aturan itu menyebutkan pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. ”Itu bunyi undang-undang yang kalau dilanggar berarti presiden akan melanggar UU,” paparnya.

Fickar pun mengingatkan presiden untuk berhitung kembali sebelum membuat kebijakan memberikan pembebasan tanpa syarat untuk napi. Apalagi, kebijakan itu masih asing di telinga masyarakat. Sesuai konstitusi, presiden hanya punya hak memberikan grasi, amnesti atau abolisi kepada napi.

”Jokowi harus berhitung cermat, jangan hanya pertimba-ngan elektabilitas politik saja,” ujarnya.

Penasehat Hukum Jokowi Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra bersama Abu Bakar Baasyir di Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jumat (18/1/2019). Kedatangan Ketua Umum PBB itu untuk membebaskan Basyir dengan alasan kemanusiaan.

Terpisah, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko meyakini kalau Abu Bakar Ba’asyir masih punya pengaruh di kalangan kaum radikal. Buktinya, masih ada orang-orang yang mengunjunginya saat di penjara.

”Punya pengaruh, buktinya waktu di Nusa Kambangan juga masih banyak yang datang kan. Tapi kan aparat sudah memitigasi itu,” ujar Moeldoko, kemarin.

Mantan Panglima TNI itu mengingatkan bahwa harus sangat berhati-hati untuk memberikan akses sekecil apapun kepada kelompok-kelompok radikal. Apalagi untuk sekadar kepentingan politik praktis. Karena itu bisa menjadi serangan balik yang mematikan.

”Jadi saya pikir semuanya juga harus waspada tentang itu. Jangan karena politik praktis, mengakomodasi hal-hal seperti itu (akses kepada kelompok radikal, red) akan merugikan kita semuanya,” tegas dia.

Sedangkan rencana pembebasan Ba’asyir, Moeldoko belum tahu secara detail. Tapi, dia yakin presiden Jokowi tentu membicarakan keputusan besar itu dengan para menteri terkait. ”Presiden kan punya Menkopolhukam, punya Menkumham, menteri dan lain-lain. Saya pikir keputusan besar itu selalu melibatkan,” tambah dia.

Namun, dia memastikan pula bahwa pemerintah tidak akan kendor dalam penanggulangan dan pengawasan kaum radikal. Bakal akan terus dipantau pihak-pihak yang terindikasi radikal.

”Komitmen Presiden untuk tidak memberi ruang kepada kelompok radikal dan terorisme itu ndak pernah berubah,” tegas dia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut merespons kebijakan pembebasan Ba’asyir. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Saadi pembebasan tersebut merupakan langkah hukum yang sangat bijak dan mulia.

”Usulan pembebasan Ustaz Ba’asyir juga pernah disampaikan oleh Ketum MUI Kiai Ma’ruf pada awal 2018 lalu,’’ katanya.

Zainut menuturkan saat itu pertimbangan MUI meminta pembebasan Ba’asyir lantaran faktor kesehatan dan kemanusiaan. Dia menuturkan MUI meyakini keputusan Presiden Jokowi membebaskan Ba’asyir tersebut setelah melalui pertimbangan panjang.

MUI juga mengimbau masyarakat terus meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya kejahatan terorisme. Sebab menurut dia terorisme tidak pernah mati dan terus menjadi ancaman keselamatan bangsa Indonesia.

’’Bahkan tidak hanya bangsa Indonesia, tetapi juga dunia,’’ katanya.

Zainut juga mengimbau masyarakat untuk tidak mengembangkan asumsi dan dugaan-dugaan lain terkait pembebasan Ba’asyir tersebut. Sebab asumsi dan dugaan itu bisa mengaburkan esensi hukum yang harus netral dan berpihak pada nilai kemanusiaan serta keadilan.

Sementara itu, rencana pemerintah membembebaskan Ba’asyir dari hukuman penjaranya pada 24 Januari mendatang dikritik banyak pihak. Langkah tersebut dinilai sebagai bentuk penegakan hukum yang diskriminatif. Apalagi, pembebasan Ba’asyir kemudian diklaim sebagai buah dari kebaikan Presiden Jokowi.

”Semestinya kan Desember 2018 kemarin sudah bisa bebas bersyarat. Jadi tidak perlu Jokowi dan pemerintah ini seolah berjasa dan berbaik hati,” ujar Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean kepada RMOL (grup Batam Pos) di Jakarta, Sabtu (19/1/2019).

Secara khusus, Ferdinand menggarisbawahi alasan yang menyebut kemanusiaan seba-gai dasar Jokowi membebeskan Abu Bakar Baasyir. Sebab, alasan ini seharusnya juga berlaku kepada narapidana lain yang sudah memasuki usia senja.

”Kita dorong pembebasan ini murni karena kemanusiaan. Saya usulkan kepada Jokowi agar membebaskan semua narapidana yang sudah sepuh dan kurang sehat agar betul-betul ini didasari kemanusiaan,” pungkasnya.

Diketahui bahwa Abu Bakar ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur Bogor, Jawa Barat. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah itu divonis penjara 15 tahun pada 16 Juni 2011 karena dinyatakan bersalah mendanai tindak pidana terorisme. (cuy/jpnn/tyo/jun/wan/ian/rmol)

Update