batampos.co.id – Kampanye melawan politik uang (money politics) gencar dilakukan. Namun, tingkat kesadaran publik untuk menghindari praktik kotor itu masih sangat rendah. Mayoritas calon pemilih sangat permisif terhadap pemberian imbalan dari para kandidat. Meski demikian, praktik itu tidak linier terhadap potensi kemenangan para kontestan.
Hal itu terungkap dari hasil riset politik bertajuk Kontestasi Pemilu 2019 di Jatim: Mengurai Potensi Konflik dan Praktik Money Politics yang digelar Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi-Universitas Muhammadiyah Surabaya (Pusad-UMS).
Survei itu melibatkan 1.076 responden dari seluruh provinsi di Jatim. Salah satu yang diteliti adalah sikap calon pemilih saat diberi imbalan (baik uang maupun dalam bentuk lain) oleh kontestan pemilu-pilpres. Hasilnya cukup mengejutkan. Dari seluruh responden, hanya 1,87 persen yang menyatakan menolak sepenuhnya pemberian tersebut. Sebanyak 98,13 persen sisanya memilih untuk menerima money politics.
”Hal ini menjadi tantangan besar untuk bisa menciptakan pemilu yang benar-benar jujur, adil, dan luber,” kata Direktur Pusad-UMS Satria Unggul.
Ada sejumlah yang hal yang jadi pemicu masih permisifnya sikap publik terhadap money politics. Yang paling dominan, mereka masih menganggap politik uang itu lumrah.
”Pemberian itu dianggap sebagai rezeki,” ujarnya.
Meski demikian, ada fakta lain di balik tingginya tingkat penerimaan publik terhadap politik uang. Ternyata, praktik itu tak lagi linier dengan pilihan mereka saat coblosan. Sebanyak 66,5 persen responden memilih calon sesuai dengan hati nurani meski telah menerima pemberian dari kandidat lain.
Bahkan, yang mengejutkan, 15 persen lainnya memutuskan tidak mencoblos kandidat yang memberi imbalan. Sementara itu, pemilih yang menjatuhkan pilihan pada calon yang memberikan imbalan hanya 16 persen.
”Artinya, belum tentu imbalan yang diberikan calon akan berimbas pada perolehan suara mereka,” jelasnya.
Dari penelitian itu, sebenarnya dasar utama pemilih untuk menentukan pilihan bukan lagi pemberian.
”Ternyata, yang jadi parameter utama adalah program-janji kandidat, figur, hingga cara pendekatan kandidat,” katanya.(ris/c6/fat)