Jumat, 29 Maret 2024

Barang Impor Bisa Macet Empat Minggu

Berita Terkait

foto: batampos.co.id / cecep

batampos.co.id – Peraturan ta­ta niaga yang berlaku di kawasan­ Free Trade Zone (FTZ) Batam seperti pemeriksaan surveyor terhadap barang modal bukan ba­ru dianggap dapat menghambat pertumbuhan investas­i di Batam. Pasalnya banyak pe­rusahaan dari Asia Timur yang relokasi ke Batam akibat perang dagang Amerika dan Tiongkok membawa barang modal bukan baru seperti mesin-mesin dan harus menunggu pemeriksaan dari surveyor hingga empat minggu lamanya sebelum masuk ke Batam.

“Pemeriksaan dari surveyor itu biasanya di negara asal dan di pelabuhan muat, seperti di Singapura. Pemeriksaannya cuma berjalan sehari, tapi Laporan Surveyor Indonesia (LSI)-nya bisa lama keluar hingga tiga atau empat minggu. Saya tidak tahu mengapa begitu lama. Kami sampai harus mengeja-mengejar kesana agar cepat keluar,” kata Wakil Ketua Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri Tjaw Hoeing, Senin (11/3).

Pada umumnya, perusahaan yang memutuskan untuk relokasi tidak serta merta membawa barang modal yang baru. Hampir 80 persen barang modal yang dibawa di antaranya merupakan barang modal bukan baru yang masih berfungsi. Sebelum masuk ke Batam, maka barang-barang tersebut akan diperiksa Sucofindo atau Surveyor Indonesia di pelabuhan muat. Setelah itu, akan menjalani proses random cheking dari Bea Cukai di pelabuhan bongkar muat Batam.

Sedangkan mengenai izin pemasukannya, untuk barang modal bukan baru yang usianya di bawah 20 tahun, izinnya berada di bawah kewenangan Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Dan BP Batam akan mengeluarkan izinnya kalau sudah menerima LSI. Menurut Tjaw, seharusnya peraturan tata niaga tidak berlaku di kawasan perdagangan bebas. Sesuai dengan Pasal 66 dari Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 120/2017 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai, seharusnya peraturan tata niaga tak berlaku bagi impor untuk kebutuhan industri di Batam.

Terpisah, pakar hukum Batam, Ampuan Situmeang mengataka­n sejak Batam ditunjuk sebagai kawasan perdagangan dan pe­labuhan bebas sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 36/2000, progres FTZ tidak berjalan sebagaimana mestinya.

”Semua regulasi justru mempersulit pelaksanannya,” imbuhnya.

Undang-undang sudah tegas mengatur barang yang tujuannya ke Batam dan atau berada di Batam belum berlaku tata nia­ga kepabeanan.

“Alasannya barang yang masuk belum dapa­t dikategorikan impor dan yang keluar dari Batam juga belum dapat dikategorkan ekspor, makanya dibebaskan dari PPn, PPnBM dan cukai,” ujarnya.

Tapi pada kenyataannya, bukan seperti itu yang dilaksanakan di Batam.

“Bahkan lebih sulit masuk barang ke Batam daripada dibandingkan ke daaerah pabean lainnya. Inilah seharusnya yang menjadi core bisnis dari BP Batam,” paparnya.

Ia mengatakan, BP Batam harus fokus pada urusan lalu lintas barang karena kaitannya erat sekali dengan percepatan investasi. Investor tentu membutuhkan barang modalnya bisa sampai dengan tepat waktu agar bisa mulai segera beroperasi sehingga bisa meng­hasilkan laba.

“Hal itu juga jelas diatur dalam Pasal 15 UU 36/2000 yang menyatakan bah-wa BP Batam dengan persetujuan Dewan Kawasan (DK) dapat mengadakan peraturan di bidang lalu lintas barang di pelabuhan dan juga menetapkan tarif,” katanya.

Sebelumnya, DK juga ditarik dari Kepri dan sekarang dipegang oleh pemerintah pusat bertujuan agar kebijakan regulasi yang diterbitkan pemerinah pusat lebih bersahabat dengan Batam.

”Itu tujuannya agar kebijakan regulasi dari pemerintah pusat jangan terlalu mempersulit pelaksanaan dari FTZ di Batam ini,” katanya lagi. Kemudian pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jajaran Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea Cukai mengganti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2/2009 dengan PP Nomor 10/2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai.

“Istilahnya saat itu relaunching FTZ. Tujuannya agar memperlancar arus barang masuk dan keluar dari dan ke Batam. Tapi nyatanya justru makin sulit, karena berlaku hukum tata niaga di Batam,” ungkapnya.

“Dan sekarang setelah DK ditarik ke pusat juga malah peralihan ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan ex-officio yang dibahas. Padahal regulasi dalam FTZ saja belum dijalankan dengan benar,” pungkasnya. (leo)

Update