batampos.co.id – Pemerintah mengajukan skema baru mengenai aturan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan roda empat kepada Komisi XI DPR. Dalam skema baru tersebut, besaran PPnBM yang sebelumnya ditentukan berdasar kapasitas mesin diubah menjadi menurut konsumsi bahan bakar dan tingkat emisi karbon dioksida.
’’Selain itu, jika sebelumnya pengelompokan kendaraan penumpang berdasar sistem penggerak (4×2 dan 4×4) serta jumlah penumpang, aturan baru ini tidak membedakan sistem penggerak. Namun, hanya jumlah penumpang,’’ jelas Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan komisi XI di gedung DPR, Senin (11/3).
Dalam skema baru itu, pengelompokan jenis kendaraan juga makin sederhana.
Sebelumnya, ada pembedaan antara kendaraan jenis sedan dan nonsedan. Dalam aturan baru tersebut, pengelompokan itu dihapus. Pengelompokan kapasitas mesin berubah dari semula tujuh menjadi hanya dua kategori.
“Intinya, makin rendah emisinya, makin rendah tarif pajaknya. Kalau sebelumnya maksimal 125 persen (PPnBM), sekarang maksimal 70 persen,’’ ungkap mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Kemudian, untuk mobil listrik, pemerintah memperluas cakupan kategori dari semula hanya jenis kendaraan bermotor hemat energi dan harga terjangkau (KBH2/LCGC).
’’Kami sampaikan, untuk yang masuk program, bentuk insentif yang listrik bisa (PPnBM-nya) 0 persen,’’ terang Ani, sapaan karib Sri Mulyani.
Namun, kendaraan roda empat dengan kapasitas mesin lebih dari 5.000 cc atau disebut supercar tetap membayar PPnBM 125 persen.
’’Untuk mobil yang sangat mewah ini, tarifnya akan tetap, tidak diturunkan karena masalah persepsi dan keadilan,’’ katanya.
Pengajuan skema pajak barang mewah yang baru itu memang tidak ditargetkan untuk penambahan penerimaan negara. Tetapi memberikan stimulus untuk mendorong industrialisasi di bidang otomotif.
Menperin Airlangga Hartarto menyatakan, arah dari aturan baru tersebut adalah pengembangan industri mobil listrik. Jika tidak ada insentif fiskal, pelaku industri mobil listrik enggan berinvestasi.
’’Karena biaya produksi mobil listrik lebih besar daripada bensin. Negara lain seperti Thailand itu memberikan subsidi Rp 50 juta per kendaraan dan Tiongkok itu Rp 100 juta,’’ paparnya.
Dengan adanya insentif tersebut, sudah ada dua hingga tiga investor yang siap menanamkan modal di Indonesia. Namun, aturan baru itu berlaku pada 2021 atau dua tahun mendatang. Alasannya, pemerintah memberikan waktu bagi industri yang sudah ada (existing) dan yang bakal berinvestasi untuk melakukan penyesuaian.(ken/oki)