Sabtu, 20 April 2024

Pemerintah Beri Libur Panjang, Warga Jepang Justru Bingung

Berita Terkait

KETIKA Seishu Sato mendengar kabar pemerintah memberikan libur nasional 10 hari berturut-turut, dia langsung pusing. Karyawan perusahaan finansial tersebut bingung bagaimana meng-habiskan liburan sepertiga bulan itu.

’’Saya bingung kalau tiba-tiba harus libur selama itu,’’ ujar pria berumur 31 tahun tersebut.

Semua opsi sudah dipikirkan. Namun, tak ada yang menarik. Jika berkunjung ke lokasi wisata, dia pasti harus berdesak-desakan dengan ratusan bahkan ribuan wisatawan. Malas rasanya. Kalau ingin ke luar negeri, ongkos biro travel sudah pasti meroket.

’’Paling mentok saya menginap di rumah orangtua,’’ ucap Sato kepada AFP.

Bagi para pekerja keras di Jepang, libur panjang mungkin bukan kabar yang baik. Namun, pemerintah bersikeras meliburkan warganya mulai 27 April sampai 6 Mei. Itu adalah libur untuk menghormati momen turun takhta Kaisar Akihito, naiknya Pangeran Naruhito, dan libur Golden Week.

Banyak alasan warga Jepang justru menyimpan lara di libur panjang ini.

Pekerja-pekerja sektor jasa seperti restoran dan pusat perbelanjaan justru harus lembur. Mereka sudah pasti kewalahan melayani klien yang meningkat karena liburan.

’’Bukannya bersantai, saya malah harus bekerja keras selama 10 hari itu,’’ ujar Takeru Jo. Dia adalah pekerja di restoran pizza.

Koran terbesar di Jepang, Asahi Shimbun, sempat mengadakan survei soal libur panjang tahun ini. Pertanyaannya adalah apakah rakyat Jepang senang libur 10 hari. Sebanyak 35 persen responden mengiyakan, sedangkan 45 persen lainnya berkata tidak.

Kenyataannya, budaya workaholic atau gila kerja di Jepang sudah mendarah daging. Mereka justru bingung bagaimana beban kerja mereka jika harus meninggalkan kantor selama 10 hari. Pekerjaan pasti akan menumpuk usai liburan. Beberapa perusahaan kecil pun meminta ’’pengertian’’ dari karyawannya untuk tetap bekerja saat libur panjang.

’’Perusahaan kecil tentu saja tidak bisa tutup selama 10 hari. Pemerintah harusnya mengerti itu,’’ ujar seorang akuntan perempuan di Kota Sendai kepada Japan Times.

Tentu saja, pekerja-pekerja itu tak mempermasalahkan waktu libur mereka tersita. Yang mereka permasalahkan adalah anak. Mereka takut anak mereka telantar dalam liburan panjang kali ini.

Sehari-hari, orangtua bisa tenang bekerja karena anak berada di sekolah atau pusat penitipan. Namun, selama liburan, semua fasilitas tersebut bakal tutup. Mereka otomatis harus memeras otak untuk meminta bantuan orang lain untuk menjaga anak.

’’Orangtua pasti pusing karena semua penitipan tutup,’’ ujar salah satu orangtua melalui Twitter.

Memang, tak semua warga melakukan protes. Terbukti, tiket-tiket pesawat sudah habis terjual jauh sebelum tanggal merah ditentukan.

Mereka ingin memanfaatkan momen liburan untuk pergi ke luar negeri.

’’Hampir semua paket tur kami habis terjual sejak tahun lalu. Bahkan, masih ada beberapa klien yang berada di daftar tunggu,’’ ujar Jubir Nippon Travel Agency Hideki Wakamatsu kepada The Guardian.

Banyak yang memperkirakan, Tokyo dan beberapa kota besar lainnya bakal lengang selama masa libur 10 hari itu. Yang tertinggal hanya para orangtua yang pusing karena anak mereka merengek tak bisa liburan bersama.(bil/c5/dos)

Update