Sabtu, 20 April 2024

Mall dan Apartemen, untuk Siapa?

Berita Terkait

TEMAN dari luar Batam, terkagum-kagum setelah membaca berita Batam Pos yang juga dimuat di laman web batampos.co.id. Dia penasaran. Dia kirim pesan WhatsApp.

“Dahsyat Batam! Banyak apartemen dan hotel sedang dibangun. Mall juga. Untuk siapa itu? Penduduk Batam kalau gak salah satu jutaan kan?” — Ya, untuk siapa?
Walaupun mudah menjawabnya, tapi saya ter­diam juga beberapa saat. Padahal tinggal jawab saja untuk pelancong. Turis. Beres. Tapi saya takut dia balik bertanya, “Pelancong dari luar negeri kan bukan cari mall? Di ne­gara mereka lebih lengkap dan lebih modern”. Iya, makanya saya tak menjawab begitu.

Memang, dalam tiga tahun terakhir, tower apartemen seolah saling tumbuh di Batam. Puncaknya (rooftop) berlomba menggapai langit. Seakan tak peduli terhadap ekonomi Batam yang masih slowdown. Bayangkan, tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Kepri secara umum hanya 2,02 persen pertahun. Terbesar kontribusi dari Batam. Tahun 2018, ada perbaikan, namun tak mampu menyentuh 4 persen.

Di kuartal pertama 2019, kabarnya mulai 4 persenan. Targetnya, untuk Batam saja, di akhir 2019, menuju 7 persen. Mampukah? Masih berat. Meskipun pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan hal mustahil bagi Batam. Di paruh waktu 1990-an hingga 2000-an, pertumbuhan ekonomi Batam pernah mencapai dua digit, meski kemudian turun ke 8 persenan, namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional.

Ada yang menduga, bermunculannya gedung-gedung apartemen dan mall baru di Batam, salah satunya disebabkan kebijakan BP Batam (Badan Pengusahaan, penerus Otorita Batam) sejak dipimpin Hatanto Reksodipoetro. Pejabat yang pernah menjadi dubes dan sekjen di Kementerian Perdagangan itu dikenal keras. Bahkan dianggap kaku. Dia menarik, bukan sekadar mengancam, lahan tidur yang tidak dibangun meskipun sudah membayar UWTO (sewa lahan).

Toh, dalam surat perjanjian, BP bisa menarik lahan yang tidak dibangun dalam jangka waktu tertentu. Biasanya 6 bulan. Di Batam, penguasaan lahan ada yang sudah tahunan tanpa dibangun. Tapi ada juga pengusaha yang mengakali dengan membuat usaha temporer, misalnya lesehan, lapak, carwash, atau bangunan semi permanen lainnya.

Daripada ditarik BP?! Belakangan, Hatanto terpental, digantikan Lukita D Tuwo, salah satunya akibat tak kenal kompromi itu. Meskipun kemudian Lukita juga diganti Eddy Putra Irawadi yang disebut sebagai pejabat masa transisi.

Lalu, di mana saja bangunan baru di Batam? Coba telusuri sejak Harbour Bay, Batuampar, di sana sudah berdiri tiga hotel baru yang terkoneksi dengan pelabuhan internasional. Salah duanya dari grup Marriott dan Sahid. Padahal sebelumnya sudah ada Swissbell, Amir Hotel, dan Zest Hotel di sana. Tak jauh, di luar komplek, ada “hotel kapal” Pacific Palace dan Travelodge yang dulunya bernama Novotel. Hotel lama lainnya di sekitar sana ada Planet, Melia Panorama (Allium), dan Harmonie Hotel.

Di kawasan Pelita, sudah selesai pula Aston (hotel dan apartemen). Kamar hotelnya 232, tingginya 10 lantai. Beroperasi akhir 2017. Sementara apartemennya 17 lantai dengan 247 unit (3 tipe). Di seberangnya, sedang on progress sebuah hotel budget. Lalu di Nagoya, ada apartemen Formosa. Hampir finishing. Ground breakingnya 24 Februari 2016. Total unit 390, terbagi dalam empat tipe yakni 37 (studio), 53 (2 bedrooms), 56 (2 bedrooms), dan 92 (2+1 bedrooms). Tingginya 36 lantai. Masih di sekitar Nagoya-Jodoh, sebuah proyek baru juga akan dimulai. Namanya Thamrin City Batam. Luasnya 5 hektare, lokasi di sebelah Masjid Jabal Arafah. Di sini akan dibangun 2 apartemen, 2 office tower, 3 hotel, mulai bintang 2,3 dan bintang 4. Tak jauh sudah ada Harmonie Suite and Resident.

Yang paling baru di kawasan niaga Penuin adalah Grand Batam Mall, bekas Top 100. Mall besutan Tunas Grup ini tampil futuristik. Sejauh ini, inilah mall paling spektakuler konstruksi dan interior di Batam. Warna silver amat dominan. Bangunannya mengikuti lekuk-liuk pertokoan yang pernah ada di sana. Sehingga, jika Anda berada di dalamnya, terasa lebih berbelok-belok. Agak mirip Vivo City Singapura. Anda yang pernah akrab dengan Top 100, sudah tak akan mengenalinya lagi. Tapi sebagai penghuni tua, lokasi Top 100 tetap yang paling accessable di mall itu. Sedikit catatan, belum banyak international branded mengambil tempat di sini. Konsep harus menjadi perhatian di antara banyaknya mall. Lihatlah Kepri Mall sebagai pelajaran tentang lemahnya sebuah konsep.

Hidup, sih, tapi slow.

Bergeser ke Batam Center, ada beberapa mall, hotel, dan apartemen yang sedang dan akan segera dibangun. Ada One Residence di samping Harris Hotel. Inilah apartemen yang paling dekat ke laut di Batam. Persis di sebelah pelabuhan dan dapat dilihat oleh penumpang kapal dari Singapura dan Johor. Topping off sudah dilakukan 29 November 2018, dikembangkan oleh PT Indonesian Paradise Property Tbk. Disainernya Envirotec (Singapura) dan Sonny Sutanto Architects (Indonesia). Tingginya 32 lantai, fasilitas beragam. Berhadapan dengan Mega Mall, sebuah mall dengan kelas tersendiri di sini. Mega Mall juga sudah menyediakan space lahan untuk pengembangan extention mall dan hotel/apartemen.

Tak jauh dari simpang Gelael, sedang dipasarkan Oxley Convention City Batam. Meski sempat terkendala di awal perkenalannya, kini proyek terpadu yang saya yakini akan menjadi paling iconic –karena terletak di persimpangan paling strategis di Batam itu–, memasuki masa konstruksi. Yang paling spektakuler adalah Meisterstadt Pollux Habibie yang berencana membangun 11 tower yang terdiri dari apartemen, mall, rumah sakit, ruko, hotel, hingga perkantoran. Saat ini, sudah menjuang empat tower apartemen masing-masing 41 lantai. Lalu seratusan ruko di sekeliling tower tersebut sudah berdiri juga. Menyusul mall berbentuk aerodinamis. Seluruhnya sedang on progress. Mungkin yang agak lama dibangun adalah hotel, rumah sakit internasional, serta komplek perkantoran modern rencananya 100 tingkat!

Oh ya, satu lagi. Di bekas komplek My Mart, Batam Center, sedang dibina juga bangunan yang luar biasa luasnya. Sudah lama, belum siap juga. Saking luasnya. Entah jadi apa itu kelak. Melihat bentuknya, ada tangga putar di salah satu bangunannya. Ada kabar, akan ada pusat niaga dan beberapa outlet barang-barang branded. Mirip JPO Johor. Entahlah, kita tunggu saja.

Melihat begitu banyaknya proyek apartemen, hotel, mall, perkantoran, yang sedang dikerjakan di Batam saat ini, paling baru adalah grup usaha Trinity, tentu kita dapat menarik kesimpulan bahwa para pelaku pasar sebenarnya masih confident menjalankan usaha mereka di sini. Ekonomi yang melambat adalah satu masalah, namun hidup kan harus tetap bergerak. Tak boleh statis. Pembeli luar banyak diincar saat ini. Mereka banyak pameran di luar Batam, misalnya Sumatera, Jawa, Malaysia, dan Singapura. Kepemilikan rumah dan apartemen oleh orang asing, mau tak mau mesti diperlonggar. Tentu ada syarat yang tak boleh diabaikan jika menyangkut kemanan negara.

Kenyataan lain adalah Batam sudah sejak lama ditunjuk sebagai kota MICE (meeting, incentive, conference, and exhibition). Batam sejajar kota lain seperti Jakarta, Bandung, Bali, Medan, Makassar. Banyak yang berkonferensi di Batam dari berbagai penjuru Indonesia. Kebijakan KemenPAN RB era Yudi Chrisnandi melarang pemda rapat di hotel, beberapa tahun lalu, memukul MICE Batam. Kunjungan pemda untuk rapat menurun. Termasuk banyaknya pertanyaan aparat di exit point saat tamu membawa oleh-oleh ketika kembali ke daerahnya, ikut mengganggu. Aturan dengan oknum aparat masih ada yang tak sinkron.

Kini, tiket pesawat yang mahal ikut memukul Batam. MICE makin terganggu. Pariwisata dari Nusantara melambat. Beruntung masih ada turis reguler dari Singapura dan Malaysia. Target 2,4 juta turis untuk Batam tahun 2019 semoga terpenuhi. Ke depan, karena Pemko Batam makin serius nampaknya menjadikan wisata sebagai andalan, konsep MICE masih bisa diharapkan. Hotel, apartemen, dan mall, akan ada pasarnya. Dari luar Batam, juga di dalam sendiri.

Soal wisata, banyak yang harus dibenahi. Itu tugas Pemko melalui Dinas Pariwisata dan stake holders wisata. Dewan juga harus satu visi dengan Pemko tentang ini. Industri wisata itu sejatinya adalah industri branding, perang promosi. How to promote and how to sale, even its just a packaging itself (promosi, jualan, meski kadang hanya jualan bungkusan). Begitulah perang dunia wisata. Tapi, bagaimana mau perang jika anggaran (promosinya) saja cekak? ***

Update