Kamis, 28 Maret 2024

300 Juta Penduduk Dunia Mengidap Depresi 

Berita Terkait

batampos.co.id – Pada tahun 2017, depresi menduduki peringkat keempat jenis penyakit yang sering diderita masyarakat dunia.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) merilis sekitar 300 juta dari total populasi dunia menderita depresi.

Meski demikian, tingginya angka prevalensi gangguan depresi tidak diikuti dengan meningkatnya pemahaman mengenai gangguan ini di dalam masyarakat.

Depresi adalah suatu kondisi medis yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis gejala.

Gejala terkait suasana hati (suasana hati yang buruk, minat yang rendah, kecemasan, motivasi yang rendah, dsb).
Gejala kognitif (gangguan konsentrasi, kesulitan dalam membuat rencana, pelupa, lambat dalam menanggapi dan bereaksi, dsb), dan gejala fisik (nyeri, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, dsb).

Meskipun manifestasi utama dari gangguan ini berupa suasana hati yang buruk dan perasaan sedih, penting untuk mengingat bahwa gejala-gejala kognitif dan fisik dapat berkontribusi terhadap gangguan fungsi pada pasien dan memengaruhi kualitas hidup mereka.

Ilustrasi

Pada beberapa pasien, depresi dapat memunculkan pikiran bunuh diri hingga tindakan bunuh diri itu sendiri.

WHO pada 2017 memerkirakan bahwa setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri.

Deteksi dini dan perawatan yang tepat dapat meningkatkan remisi, menghindari terjadinya kekambuhan, mengurangi beban emosi dan beban keuangan yang timbul oleh gangguan depresi ini.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr. Eka Viora, SpKJ, menjelaskan, banyaknya stigma yang beredar terhadap depresi menghalangi para penderitanya mendapatkan dukungan yang tepat.

Stigma tersebut menghambat orang dengan depresi untuk mencari dukungan yang mereka butuhkan untuk bisa menjalani kehidupan kembali secara normal.

“Depresi lebih sering dilihat sebagai aib daripada penyakit karena berkenaan dengan kesehatan mental, bukan fisik,” kata Dokter Eka, Sabtu (22/6/2019).

Dia bersama dengan rekan-rekannya sedang berusaha meningkatkan kesadaran bahwa depresi adalah penyakit sebagaimana penyakit lainnya.

Orang dengan gangguan depresi bisa pulih sepenuhnya dan penderitanya juga seharusnya bisa tanpa ragu-ragu mencari dukungan dan pengobatan.

DR. Dr Margarita Maramis, SpKJ (K), Ketua Divisi Mood Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), menambahkan, bahwa stigma ini menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap para orang dengan depresi.

Antara lain asumsi bahwa penderita tidak mau bersosialisasi, tidak bisa dipercaya, dan membuat canggung keadaan.

Akibatnya adalah sebagian dari orang dengan depresi kemudian menjauhkan diri dan menghindari hubungan yang terlalu pribadi dengan orang lain, hingga berhenti bekerja atau berhenti sekolah.

Gangguan depresi juga bisa memengaruhi fungsi kognitif selain suasana hati dan gejala fisik lainnya.

Hal ini bisa berkontribusi terhadap gangguan fungsi pada orang dengan depresi di lingkungan kerja, masyarakat, maupun kehidupan berkeluarga.

Prof. Pratap Chokka (Profesor Klinis & Konsultan Psikiater) dari Kanada menyampaikan hasil penelitian terbarunya (AtWoRC) yang mengamati gejala kognitif pada depresi.
Temuan utama dari penelitian ini menunjukkan bahwa gejala kognitif pada depresi secara signifikan berkontribusi terhadap penurunan produktivitas kerja atau gangguan fungsi dalam kegiatan sehari-hari.

Misalnya gangguan konsentrasi, kesulitan dalam mempertahankan fokus, pelupa, lambat dalam menanggapi percakapan atau mengelola tugas sehari-hari.

Selama dekade terakhir, definisi dari kesuksesan penanganan gangguan depresi telah berubah menjadi pemulihan fungsi sepenuhnya.

Di mana pasien tidak hanya merasa jauh lebih baik tetapi mampu memulihkan fungsi mereka di rumah, di tempat kerja, dan terintegrasi kembali dengan masyarakat.

Ada beberapa pihak yang salah paham dengan beranggapan bahwa antidepresan tidak membawa manfaat bagi pasien dan memiliki banyak efek samping.

Prof Vladimir Maletic, MD, seorang profesor klinis neuropsikiatri di Fakultas Kedokteran, University of South Carolina, Amerika Serikat, menjelaskan, bahwa antidepresan telah mengalami perubahan evolusi selama bertahun-tahun.

Dan saat ini sudah dikembangkan antidepresan baru seperti Vortioxetine yang tidak hanya memperbaiki gejala-gejala terkait suasana hati tetapi juga mengatasi gejala-gejala kognitif sehingga membantu pasien mencapai pemulihan fungsional.

Hal yang lebih penting lagi adalah Vortioxetine juga dilaporkan memiliki efek samping yang lebih minimal.(esy/jpnn)

Update