Sabtu, 20 April 2024

Terkait Perka BP Batam Nomor 10/2019, Pengusaha Ekspor Impor: Jadi Sekarang Maunya BP Apa?

Berita Terkait

batampos.co.id – Tina Lin, 48, tampak duduk di ruangan di lantai dua kantornya.

Dia tampak sibuk mencocokkan dokumen yang berserakan di mejanya ke data yang tertera di komputer di hadapannya. Tiba-tiba ponselnya berdering.

“Barang belum bisa bongkar atau pun muat. Masterlist, statusnya masih diajukan. Sabar saja dulu,” ujar Tina kepada yang menghubunginya di se­berang.

Sesekali mereka berbicara menggunakan Bahasa Hokkian.
Setelah menutup ponselnya, dengan wajah kesal perempuan pemilik perusahaan ekspor impor yang sudah 17 tahun beroperasi di Batam itu, mengaku tak habis pikir dengan kebijakan BP Batam menerbitkan Perka Nomor 10/2019.

Kebijakan itu dinilai mematikan dunia usaha, khususnya bidang ekspor dan impor.

Direktur Lalu Lintas Barang BP Batam, Tri Noviandra Putra, saat mensosialisasikan Perka Nomor 10 Tahun 2019 kepada para pengusaha di lantai 3 gedung IT Centre BP Batam kemarin. Foto: Dokumentasi Humas BP Batam.

“Sudah dua minggu barang ter­tahan di Singapura. Tak bisa ma­­suk Batam. Alasannya, hanya BP yang tahu,” katanya.

“Kita susul, jawabnya selalu status masterlist masih diajukan. Sampai kapan? Biaya ja­lan terus di Singapura. Pemerintah kasihani kitalah,” ungkap Tina dengan nada kesal.

Dia mengungkapkan, sejak barangnya tertahan dan dikembalikan ke Singapura, Bea Cukai (BC) Kota Batam memintanya menanyakan ke BP Batam.

Tina langsung berangkat ke BP Batam. Kala itu, ia diterima seorang staf.

“Staf bilang sekarang memang barang ekspor dan impor diperketat karena Per­ka Nomor 10 itu,” paparnya.

“Saya kaget, sejak kapan ada kebijakan itu?” katanya lagi dengan nada kesal.

Menurut Tina, status Batam adalah kawasan FTZ. Mestinya, semua barang yang keluar dan masuk bebas dari pungutan pajak dan bea masuk.

Kecuali barang-barang tertentu yang memang dilarang. Namun dengan perka tersebut, ada ribuan jenis barang yang sebelumnya bebas pajak, kini akan dikenai pajak dan bea masuk.

“Jadi maunya BP sekarang apa?” Tambahnya.

Tina menyebutkan, setiap hari, ia harus membayar biaya barang yang tertahan di Singapura.

Salah satunya adalah komponen bahan tas yang ia impor dari Tiongkok untuk perusahaan rekanannya di Batam.

Seperti diketahui, Pelabuhan Singapura hanya memberi kebebasan 72 jam barang shipping line.

Lewat dari masa itu, pengusaha akan dikenakan denda keterlambatan (demurrage) yang dihitung sejak hari pertama proses bongkar peti kemas.

Tak main-main, biaya keterlambatan sebesar 50 dolar Singapura per hari per kontainer. Kemudian ada lagi biaya detention storage 40 dolar Singapura per hari.

“Dalam satu hari bayar 900 dolar Singapura. Bangkrut saya. Barang tertahan, pemasukan tak ada, klien marah, importir juga marah? BP mikirlah,” ucapnya.

Hal yang sama diutarakan Marni. Dia mengaku sudah beberapa kali ke kantor BP Batam untuk menanyakan hal itu, tapi jawabannya selalu sama.

“Jawabannya dari minggu lalu sampai kemarin selalu sama. Belum ada keputusan. Masih mencari solusi,” jelasnya.

“Sesak saya dengarnya. Sementara biaya kontainer dan gudang penyimpanan berjalan terus,” katanya lagi.

Marni mengaku mengimpor kacang-kacangan dari beberapa negara. Sudah 10 hari barangnya itu tertahan di Singapura.

“Saya ini bingung sekarang. Bea Cukai menahan, BP cari solusi. Sampai kapan?” paparnya.

Menurut Marni, Perka Nomor 10/2019, jelas bertentangan dengan semangat penerapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) di Batam.

Dulu, kata dia, importer maupun ekporter diberikan kebebasan mengimpor atau megekspor berbagai produk selain yang masuk daftar larangan.

“Sekarang malah dibatasi, dilarang, dan digantung,” tuturnya.

Oleh banyak pihak, Perka Nomor 10 ini dinilai mengubah definisi barang konsumsi menjadi lebih sempit dan mengakibatkan berkurangnya jumlah barang yang mendapatkan fasilitas pembebasan pajak di Batam.(leo)

Update