Jumat, 29 Maret 2024

Stop Alih Fungsi Lahan di Daerah Tangkapan Air

Berita Terkait

Alih fungsi lahan di daerah tangkapan air akan berdampak kepada lingkungan. Kondisi ini jelas membahayakan bagi keberlangsungan air bersih di Batam. Stop alih fungsi lahan di daerah tangkapan air.

Kota Batam harus berkomitmen menjaga keberadaan hutan lindung di daerah tangkapan air seperti yang diamanatkan undang-undang. Komitmen tersebut ditunjukan dengan konsistensi pengelolaan lahan sesuai dengan peruntukan.

“Cilaka kalau sampai ada alih fungsi lahan di daerah tangkapan air menjadi peruntukan lain,” ujar pakar Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Harry Supriyono.

Pemerintah telah mengatur mengenai keberadaan hutan lindung melalui UU Kehutanan. Ada pula PP No 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Kepres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. PP 26 tahun 2008 jo PP 13 tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Aturan-aturan ini tidak hanya mengatur mengenai hutan lindung, tapi juga kawasan lindung yang mencakup reservoar dan waduk. Hutan lindung tak harus daerah pegunungan. Tapi juga termasuk jika lebih dari 15 persen lereng lapangannya digunakan sebagai fungsi kawasan resapan air. Untuk Batam, hutan lindung yang ada seperti itu.

Jika mengacu kepada kebijakan nasional – terutama mengenai tata ruang, pemerintah daerah wajib melanjutkan kebijakan tersebut dalam level daerah. Untuk wilayah Sumatera, termasuk Kepulauan Riau dan Kota Batam, kawasan konservasi atau lindung minimal 40 persen.

Berbeda dengan Jawa yang luas hutan lindung/ konservasinya 30 persen, atau kalimantan yang harus 45 persen. Persentase ini ditetapkan melalui sejumlah pertimbangan, seperti kesesuaian lahan, kondisi topografis, demografis dan kondisi lainnya. Apalagi pulau.

Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Batam harus mewujudkan pembagian tersebut. Bahkan lebih jauh, harus ada pembagian melalui sistem zonasi, yang dituangkan melalui Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

“Di dalam RTRW Kota Batam harus dipastikan bahwa luas hutan lindung harus sesuai standar. Selanjutkan komitmen menjalankan pengelolaan lahan di kota sesuai dengan panduan tersebut. Sehingga tak ada alih fungsi lahan di area hutan lindung,” paparnya.

Saat ini, ada sejumlah lahan di kawasan lindung, terutama di dalam Daerah tangkapan Air (DTA) yang telah beralih fungsi secara ilegal. Sebut saja seperti di DTA Sei Harapan dan Duriangkang. Hutan di salah satu puncak bukit di dalam DTA Sei harapan telah dibakar oleh orang tak bertanggungjawab. Sejumlah bangunan dari kayu didirikan untuk jadi semacam arena wisata selfie.

Dam Duriangkang juga mengalami hal yang sama. Hutan di dalamnya telah berubah menjadi lahan perkebunan warga. Sejumlah pohon juga terlihat gosong terbakar, diduga sengaja dilakukan untuk membuka lahan perkebunan baru.

Kondisi ini jelas membahayakan bagi keberlangsungan air bersih di batam. Seperti diketahui, Batam tak memiliki sumber air baku alami, selain mengandalkan air hujan yang ditampung di waduk. Jika fungsi hutan di DTA rusak, maka keberadaan waduk juga akan terancam percepatan sedimentasi. Sehingga daya tampung waduk akan cepat tergerus. Selain itu hutan juga mendukung proses turunnya hujan. Jika hutan semakin tipis, suhu udara di DTA akan cenderung naik sehingga mendorong turunnya curah hujan di kawasan waduk.

“Jika curah hujan turun, kemudian waduknya juga rusak, maka Batam akan terancam krisis air,” tegasnya.

Ketika dibangun 30 tahun lalu, tata ruang Batam sudah didesain berdasarkan kemampuan lingkungan pada saat itu. Tentu dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Namun dalam perjalanannya, perkembangan penduduk aktifitas ekonomi bisa menyebabkan daya dukung lingkungan menjadi turun.

Sejalan dengan dinamika yang terjadi di Batam sedemikian berat terhadap beban lingkungan, Dr. Harry Supriyono yang sekaligus Ketua Departemen Hukum Lingkungan di Universitas Gadjah Mada, menyarankan tiga langkah. Pertama, Pemerintah Otoritas Kota Batam sudah saatnya melakukan audit lingkungan melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis sebagai dasar evaluasi rencana tata ruang. Kedua, melakukan audit perizinan yang ternyata tidak sesuai kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Ketiga, melakukan penegakan hukum lingkungn baik preventif dan represif sesuai amanat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara konsisten dan berlanjut.

Hal ini harus menjadi perhatian para pengambil kebijakan di daerah. Tentunya kebijakan yang diambil harus sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan dan tidak boleh mengorbankan lingkungan. Harus tetap ada keseimbangan dan keserasian.

Dari segi tata ruang, pengambil kebijakan harus bisa mengukur sampai mana tingkat jenuh pengembangan perumahan, industri dan lain-lain. Itu harus sudah mulai dibatasi.

Misalnya Batam harus mulai hentikan ekspansi perumahan-perumahan. Apalagi kalau sudah masuk ke dalam wilayah-wilayah konservasi.

“Karena pasti akan berdampak kepada lingkungan. Jadi komitmen harus ditunjukan melalui ketegasan,” jelasnya. (*)

 

Update